Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 : Filosofi Bodoh
Emilia terpaku. Dia tertunduk sejenak, sebelum kembali mengangkat wajah.
Itulah, saat di mana Emilia dan Hardin benar-benar bertemu. Untuk sejenak, keduanya saling menyapa dengan cara berbeda. Makin lama makin dalam dan mulai menikmati kebisuan itu.
Malam kian larut. Suara hewan-hewan di sekitar danau bersahutan. Musim semi tak hanya disambut gembira oleh bunga-bunga yang bermekaran, tetapi juga seluruh makhluk yang ikut menikmati keindahannya.
“Jika kau mau, kita bisa berbicara lebih tenang dan …. Bagaimana bila minum teh bersama?” tawar Hardin, yang berusaha menyembunyikan harapan besar dalam sikap serta ekspresi teramat tenang. Dia begitu pandai membawa diri sehingga tidak terlihat berlebihan di depan Emilia.
“Aku menyukai roti buatanmu. Jika kau dan Nyonya Meredith bersedia pindah ke dekat peternakan, itu akan memudahkanku untuk memesannya. Aku juga akan memesan untuk seluruh pekerja peternakan sebanyak dua kali dalam seminggu. Bagaimana?” Dalam suasana seperti itu, Hardin masih berusaha membujuk Emilia dengan segala penawaran menarik, yang dirasa menguntungkan.
“Aku tidak akan bersikap egois terhadap ibu mertuaku. Dia sangat mencintai tanah ini karena merupakan peninggalan mendiang suaminya. Tolong mengertilah, Tuan Rogers. Jika kau ingin membangun sesuatu di sini, silakan. Namun, jangan mengusik kami,” balas Emilia cukup tegas.
“Pada akhirnya, kalian akan merasa terusik. Setelah kubangun penginapan dan segala akses penunjangnya di sini, belum tentu kau, Nyonya Meredith dan Blossom, masih bisa menikmati siang dan malam yang sama seperti malam ini atau malam-malam sebelumnya. Itulah kenapa aku lebih menyarankan agar kalian melepas tanah ini dan pindah.”
Hardin mengembuskan napas berat dan dalam. Entah dengan cara apa lagi harus membujuk Emilia dan Meredith, agar bersedia pindah dari sana.
“Tanah itu gratis untuk kalian tempati. Aku berjanji tidak akan mengusiknya sama sekali. Akan kubuatkan perjanjian hitam di atas putih agar ada kekuatan hukum, meski tanpa melakukan itu pun kupastikan kalian tetap aman."
Hardin meraih kedua tangan Emilia. Memegang erat jemari wanita itu, seakan ingin membuatnya memahami apa yang dia pikirkan.
“Pertimbangkan baik-baik, Emilia. Jelaskan ini pada ibu mertuamu. Buatlah dia mengerti dengan maksudku,” ucap Hardin sungguh-sungguh, tanpa mengalihkan pandangan dari wanita cantik berambut panjang itu.
Bukannya menanggapi permintaan Hardin, Emilia justru terpaku dengan tatapan tak percaya. Sepasang mata hijau zamrudnya menatap lekat, merasakan hangat tangan Hardin di tangannya.
Sesaat kemudian, Emilia tersadar. Dia segera menarik tangan, lalu mundur beberapa langkah. Ibunda Blossom tersebut tampak resah. Tanpa mengatakan apa pun, Emilia langsung berbalik hendak meninggalkan Hardin.
“Emilia!”
Hardin bergerak cepat meraih tangan Emilia, menahan si pemilik rambut cokelat terang itu agar tidak pergi. “Pembicaraan kita belum selesai.”
“Apa lagi, Tuan Rogers? Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu yang terlalu ….” Emilia tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena Hardin lebih dulu menarik sehingga tubuhnya langsung berbalik.
“Kenapa kalian begitu keras kepala?” Hardin tak melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan Emilia. Dia justru makin mendekat ke hadapan ibunda Blossom tersebut sehingga hanya menyisakan sedikit jarak di antara keduanya.
“Ini bukan keras kepala, Tuan Rogers. Ibu mertuaku hanya mempertahankan hak serta rasa cintanya terhadap mendiang suami. Kurasa, semua wanita yang dicintai dengan benar oleh pasangannya, pasti akan melakukan hal serupa atau bahkan lebih dari itu,” sanggah Emilia cukup tegas.
“Cinta tidak membuat seseorang terkurung, Emilia. Cinta adalah keikhlasan, merelakan dan menerima.”
“Filosofi macam apa itu? Aku tidak pernah mendengar pendapat orang bijak, yang mengatakan seperti ucapanmu barusan, Tuan Rogers.”
Hardin tersenyum kecil. “Itu hanya pendapatku. Kau pasti tidak akan menemukannya dalam buku filsafat manapun,” ucap sang pemilik Rogers Farm tersebut enteng. “Namun, pahamilah baik-baik tentang seseorang yang terpenjara dalam kenangan. Sebesar apa pun rasa cintanya terhadap yang telah tiada, kupastikan dia tak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah kenapa kukatakan bahwa cinta adalah menerima dan merelakan.”
“Aku tidak yakin kau pernah mencintai seseorang secara mendalam. Bukankah kau masih melajang hingga saat ini?”
“Kau pikir, cinta mendalam itu hanya untuk pasangan? Aku terlahir dari rahim seorang ibu. Cinta seperti apa yang bisa mengalahkan perasaan terhadap ibu kandung?”
Emilia langsung terdiam, tak tahu harus bagaimana dalam menanggapi pertanyaan Hardin.
“Kau tidak mengenalku, Emilia Patricia Parker.”
“Olsen,” ralat Emilia segera.
“Di mana suamimu? Apakah benar di Yorkshire? Lalu, kenapa Blossom mengatakan bahwa dia tidak memiliki ayah?” Hardin memberondong Emilia dengan pertanyaan yang terlalu berat untuk dijawab.
“Kenapa kau ingin sekali mengetahui tentang hal itu?”
“Kau yang memaksaku. Kau menarikku dalam rasa penasaran tentang kehidupanmu. Andai kau tidak muncul dengan membawa sikap keras kepala yang membuatku muak, aku pasti tak akan mengorek apa pun tentang rahasia hidupmu.”
“Jika kau merasa muak, kenapa terus memaksa untuk berurusan denganku?”
“Karena sikap keras kepalamu dan Nyonya Meredith, telah menghambat sesuatu yang seharusnya sudah dimulai sejak kemarin-kemarin!” balas Hardin lugas.
“Sudah kukatakan berkali-kali, Emilia. Mari buat semuanya jadi lebih mudah. Aku menawarkan harga lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang lain, sekaligus sebidang tanah gratis untuk kalian tempati di dekat peternakan. Aku memberikan kemudahan untukmu dan Nyonya Meredith. Astaga! Kenapa sulit sekali berkomunikasi dengan wanita!”
Hardin mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang tak boleh diluapkan di hadapan Emilia. Dia tak akan bertindak bodoh dan gegabah karena itu hanya akan membuatnya makin kesulitan, dalam melakukan pembebasan tanah.
Sesaat kemudian, Hardin sudah berhasil meredam kekesalannya. Raut wajah pria itu kembali seperti semula, tampan dan memancarkan karisma luar biasa. “Aku memberimu waktu 2 hari untuk berdiskusi serius dengan Nyonya Meredith. Jika kau tidak berhasil meyakinkan ibu mertuamu, aku akan melakukan segala cara untuk membuatnya setuju.”
“Apa yang akan kau lakukan?” Emilia menatap lekat pria di hadapannya.
Hardin maju beberapa langkah sehingga makin mendekat ke hadapan Emilia. Dibalasnya tatapan lekat wanita itu. Harus diakui, Hardin terpesona dengan sepasang warna hijau zamrud yang membuatnya kesulitan berkonsentrasi. Namun, dia tetap berusaha fokus pada tujuan utama.
“Aku mempunyai uang dan kekuasaan. Ada banyak hal yang bisa kulakukan. Sangat mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Kau akan melihatnya sendiri, Emilia. Aku bukan hanya sekadar bicara,” ucap Hardin dalam dan penuh penekanan.
“Lakukan apa pun yang kau inginkan,” balas Emilia, kemudian berbalik.
“Pasti! Akan kulakukan, Emilia!” tegas Hardin.
Emilia tidak peduli. Dia bergegas masuk ke rumah. Namun, ketika membuka pintu, wanita itu terkejut mendapati Meredith yang sedang berdiri dekat jendela.
"Kalian bertemu diam-diam?" tanya Meredith, diiringi tatapan penuh selidik.
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..