“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Risa berdiri, langkahnya mantap ke tengah ruang sidang.
Ia membuka berkas di tangannya, lalu menatap hakim dan seluruh ruangan dengan sorot percaya diri.
“Yang Mulia Hakim,” ucapnya tegas, suaranya menggema di ruang sidang yang hening,
“Perkenalkan, saya Risa. Pengacara dari Tuan Aditya Wardhana mantan kapten pilot penerbangan 7401 dan satu-satunya korban selamat dari tragedi yang memilukan itu.”
Ia berhenti sejenak, menatap pihak maskapai yang terlihat mulai gelisah.
“Saya berdiri di sini bukan hanya sebagai istrinya, tetapi sebagai kuasa hukumnya. Kami hadir bukan untuk mencari simpati, tapi untuk mencari keadilan. Bukan hanya untuk Tuan Aditya, tetapi juga untuk puluhan nyawa yang melayang karena kelalaian sistem dan keserakahan perusahaan.”
Beberapa anggota keluarga korban yang hadir mulai menundukkan kepala, ada yang meneteskan air mata.
“Dan hari ini,” lanjut Risa, “kami akan membuktikan bahwa bukan klien saya yang bersalah, melainkan mereka yang tahu bahwa pesawat itu rusak dan tetap memaksakan untuk terbang.”
Ia kembali ke tempat duduknya, disambut anggukan kecil dari Pak Wibowo.
Di kursi roda, Aditya menunduk, menggenggam tangan istrinya erat untuk pertama kalinya merasa tak sendirian.
Seorang pria berdasi rapi berdiri dari kursi pengacara tergugat.
Namanya Mr. Charles Denton, kepala tim hukum maskapai penerbangan.
Ia melangkah ke tengah ruang sidang, lalu membungkukkan badan kecil sebagai bentuk penghormatan.
“Yang Mulia, dan seluruh hadirin,” katanya dengan suara berat dan nada formal,
“Saya Charles Denton, mewakili pihak maskapai penerbangan AvianSky Airlines.”
Ia membuka berkas tipis dan melanjutkan,
“Pertama-tama, kami turut berduka cita atas tragedi yang terjadi. Sebuah peristiwa menyedihkan yang meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi para keluarga korban, tetapi juga bagi perusahaan kami.”
Beberapa orang di bangku korban mendengus kecil, sinis.
Mr. Denton melirik ke arah Risa sebelum melanjutkan,
“Namun, dalam tragedi ini, kami juga wajib menjalankan tanggung jawab hukum dan etika. Berdasarkan hasil investigasi internal sementara dan log data penerbangan, kami mengindikasikan adanya pelanggaran prosedur penerbangan yang dilakukan oleh kapten pilot Aditya Wardhana.”
Ruangan mulai bergemuruh pelan.
“Kami tidak berdiri di sini untuk menyudutkan pihak mana pun,” lanjutnya, “tetapi untuk mencari kebenaran. Bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh kapten Aditya di detik-detik terakhir dan sebelum keberangkatan menjadi faktor krusial dalam kecelakaan ini. Kami menghormati proses hukum, namun kami juga akan membela kehormatan maskapai kami.”
Ia menutup berkasnya dan kembali duduk, ekspresinya tetap tenang meski tatapan dari Risa tajam mengarah padanya.
Risa berdiri dari kursinya, tubuhnya tegap, wajahnya tenang namun sorot matanya tajam penuh tekad. Ia melangkah ke depan dengan penuh keyakinan.
“Yang Mulia,” ucapnya, “izinkan saya memanggil saksi pertama dari pihak kami, Kapten Hugo Sinclair, pensiunan pilot senior dan ahli keselamatan penerbangan internasional.”
Seorang pria paruh baya, berambut perak dan berseragam pilot yang lengkap, melangkah masuk ke ruang sidang.
Ia memberikan penghormatan singkat kepada hakim, lalu duduk di kursi saksi.
Risa mendekat dan memulai, “Kapten Sinclair, Anda telah menganalisis rekaman data penerbangan serta laporan teknis dari pesawat yang jatuh. Bisa Anda jelaskan kepada pengadilan apa temuan Anda?”
Kapten Sinclair membuka berkas dan berkata dengan suara mantap,
“Saya telah menelaah black box, catatan komunikasi, serta laporan teknis pesawat. Temuan saya sederhana: pesawat tidak laik terbang saat itu. Mesin kanan sudah menunjukkan gejala kerusakan sejak dua hari sebelum penerbangan.”
Ruangan menjadi hening.
“Dan,” lanjutnya, “maskapai telah menerima notifikasi teknis dari teknisi darat, tetapi tetap memberi izin terbang kemungkinan karena tekanan operasional atau tuntutan efisiensi.”
Kemudian Risa bertanya lagi kepada Kapten Sinclair.
“Apakah keputusan Aditya Wardhana menerbangkan pesawat dapat disebut sebagai bentuk kelalaian pribadi?”
“Tidak. Berdasarkan laporan yang saya pelajari, Kapten Wardhana sempat mengajukan pertanyaan soal kesiapan mesin kepada teknisi sebelum penerbangan, namun ia diberi jaminan bahwa semuanya baik. Pilot hanya bisa sejauh mempercayai laporan teknis. Dia bukan insinyur pesawat.” jawab Kapten sambil menggelengkan kepalanya
Risa menatap hakim dan berkata lantang,
“Jadi, berdasarkan pengalaman Anda sebagai ahli, tanggung jawab jatuh kepada...?”
“Manajemen maskapai, Yang Mulia. Bukan pada pilot.”
Suara gemuruh pelan terdengar dari hadirin sidang. Risa mengangguk dan berkata,
“Terima kasih, Kapten Sinclair. Tidak ada pertanyaan lebih lanjut.”
Pengacara dari pihak maskapai bangkit, langkahnya cepat dan ekspresinya dingin. Ia menghampiri saksi, Kapten Sinclair, dengan nada suara yang tajam.
“Kapten Sinclair, bukankah benar bahwa keputusan terakhir untuk menerbangkan pesawat ada di tangan pilot?”
Kapten Sinclair menjawab tenang, “Secara teori, ya. Namun—”
Pengacara memotong, “Berarti jika pesawat itu tidak laik terbang, Tuan Aditya seharusnya menolak menerbangkannya. Apakah itu benar atau tidak?”
“Benar, jika dan hanya jika dia tahu kondisi sebenarnya. Tapi dalam kasus ini—”
“Kami tidak bicara ‘jika’,” potong sang jaksa lagi.
“Apakah ia terbangkan pesawat itu?”
“Ya.”
“Dan hasilnya? Semua penumpang tewas.”
Seketika suasana ruang sidang menjadi tegang. Risa mengepalkan tangannya, sementara Aditya tertunduk diam di kursi rodanya.
Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tetapi matanya berkaca-kaca.
Pengacara melanjutkan dengan suara dingin,
“Tidak peduli siapa yang memberi izin, Tuan Aditya seharusnya bisa mencegah tragedi ini. Ia gagal. Dan ia harus bertanggung jawab.”
Hakim mengangkat tangannya, menghentikan argumen.
“Cukup. Mengingat emosi yang memanas dan tekanan mental terdakwa, saya memutuskan untuk menunda persidangan hingga esok hari pukul sembilan pagi.”
Ketukan palu menggema. Risa menarik napas panjang, lalu mendorong kursi roda Aditya keluar dari ruang sidang dengan sorot mata penuh tekad.
Malam itu, di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, Aditya duduk di kursi rodanya dengan wajah serius.
Di depannya duduk beberapa perwakilan keluarga korban, wajah mereka menyimpan luka, namun juga rasa ingin mendengar.
Aditya membuka suara, suaranya berat namun tulus,
“Saya tahu, tidak ada yang bisa saya katakan yang bisa mengembalikan orang yang kalian cintai. Tapi dari hati yang paling dalam… saya minta maaf.”
Beberapa dari mereka menundukkan kepala, ada yang menangis pelan.
“Saya tidak pernah ingin tragedi itu terjadi. Dan saya tidak pernah diberi tahu bahwa pesawat yang saya terbangkan sudah dalam kondisi rusak. Saya hanya ingin semua penumpang tiba dengan selamat.”
Sejenak hening.
Seorang ibu paruh baya maju, matanya sembab. Ia menatap Aditya dalam-dalam, lalu menepuk pelan tangan Aditya yang terkulai di atas roda kursi.
“Terima kasih karena sudah bertahan, Nak. Kami tahu siapa yang harusnya disalahkan. Bukan kamu.”
Satu per satu keluarga korban maju dan menunjukkan dukungan. Mereka tidak hanya datang untuk mendengar, tapi untuk berdiri bersama Aditya.
“Kami akan bersaksi,” ucap salah satu dari mereka.
“Kami akan berdiri di pengadilan, dan memastikan nama kamu tidak dihancurkan oleh kebohongan.”
Risa berdiri di belakang Aditya. Air matanya mengalir diam-diam. Malam itu, kekuatan mereka bertambah.
Kini, mereka bukan hanya pasangan yang melawan, tapi simbol kebenaran yang didukung oleh hati-hati yang pernah terluka.
Tengah malam yang sunyi di rumah sakit, hanya terdengar detak jarum jam dan suara mesin infus yang mengalir perlahan.
Risa duduk di sofa kecil di sudut ruang perawatan, tubuhnya membungkuk, mata menatap kosong ke arah layar laptop yang menyala.
Di sebelahnya, secangkir kopi dingin yang tak sempat diminum.
Pikiran Risa berputar cepat. Ia membuka berkas-berkas, membaca kembali laporan teknis kecelakaan, mencocokkan dengan kesaksian teknisi dan rekaman komunikasi terakhir dari menara pengawas.
Tangannya gemetar saat menulis catatan kecil: “Indikasi sabotase dari internal. Bisa tarik saksi teknisi maintenance malam itu.”
Ia tahu pertarungan belum selesai. Ia tahu pihak maskapai akan berbuat apa saja agar nama mereka bersih.
Tapi dia juga tahu, ia tidak sendirian. Stefanus, ayah mertua, keluarga korban, dan yang terpenting. Aditya, suaminya, yang telah bertahan demi bisa didengar.
Risa memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan menangkan ini, Mas. Aku janji.”
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending