Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 — Antara Doa dan Rencana
Beberapa hari berlalu. Nadira dan Rakha tampak seolah telah melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka, meski sebenarnya tidak satu pun dari mereka benar-benar melupakannya.
Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka nyaris tidak pernah berpapasan di kantor, meskipun berada di gedung dan lantai yang sama.
"Mengapa tidak kamu antarkan langsung?" tanya Tuan Mahendra saat Nadira berniat menitipkan undangan pernikahan untuk Rakha kepada sang atasan.
"Tidak apa-apa," jawab Nadira cepat, khawatir sang atasan tersinggung karena ia tak ingin memberikan undangan secara langsung dan bertemu Rakha.
"Kalau begitu, lebih baik kamu antarkan saja langsung kepada Rakha," saran Pak Mahendra.
Bukan karena ia tersinggung Nadira hendak menitipkan undangan kepadanya, melainkan karena ia tahu Rakha pasti menginginkan undangan itu disampaikan langsung oleh Nadira.
"Antarkan apa?" Suara itu membuat Nadira, yang baru akan membuka mulut, kembali menutupnya.
Entah sejak kapan Rakha sudah berdiri di ambang pintu, menatap ke arahnya dengan satu tangan terselip di dalam saku.
Nadira tidak siap untuk pertemuan ini. Terlebih dalam situasi seperti ini. Ia merasa seperti terkena serangan jantung mendadak melihat Rakha di depannya.
"Undangan pernikahan," Pak Mahendra membantu menjawab, melihat Nadira yang tampak ragu untuk mengatakannya.
"Kamu tahu, kan, Nadira akan menikah tiga minggu dari sekarang?" lanjutnya.
Rakha melangkah mendekat, lalu mengambil undangan dari tangan Nadira. Undangan itu tampak sederhana, tetapi memberikan dampak luar biasa—sebab nama yang tertera di sana bukanlah namanya.
"Jadi?" tanya Rakha kepada Nadira. Ada maksud tersirat dalam pertanyaan itu. Ia masih menyimpan harapan bahwa pernikahan Nadira dengan lelaki lain akan batal, dan bahwa ia sendirilah yang akan berdiri di sisi Nadira kelak.
"Bicara apa kamu? Tentu saja jadi," sahut Pak Mahendra, menjawab mewakili Nadira.
Rakha memang putra tunggalnya, tetapi Nadira sudah ia anggap seperti anak sendiri. Bukan hanya karena dedikasi dan kerja kerasnya selama ini, tetapi juga karena ia tahu luka yang dibawa Nadira sejak lama.
Tuan Mahendra masih mengingat saat Nadira tiba-tiba mengajukan cuti panjang karena kondisinya memburuk. Nadira pernah kehilangan seluruh tabungannya—hasil kerja kerasnya—karena disalahgunakan oleh ayah kandungnya sendiri. Pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber luka. Dengan penghasilan yang tidak seberapa, ayah Nadira berselingkuh dengan banyak wanita dan membiayai mereka dengan uang Nadira. Ia bahkan tidak segan menggunakan kekerasan terhadap istri dan anaknya.
Tuan Mahendra mengetahui semua itu karena Nadira pernah bercerita masalahnya saat meminta untuk mengambil cuti sementara dari pekerjaannya akibat kondisi mental yang terganggu. Namun kini, akhirnya trauma itu mulai pulih, dan bahkan Nadira sudah akan menikah.
"Oke," Rakha mengangguk seolah mengerti. Ia sengaja menjaga jarak dari Nadira karena khawatir kehadirannya justru memberi tekanan, mengingat hubungan terlarang yang pernah terjadi di antara mereka. Namun kini, Nadira justru datang menyerahkan undangan pernikahan.
"Semoga pernikahanmu berjalan lancar," ucap Rakha, lalu memasukkan undangan pernikahan Nadira ke dalam saku jasnya.
Itu hanyalah doa yang terucap dari mulutnya. Dalam hatinya, ia justru berharap benih yang telah ia tanam tumbuh menjadi janin.
"Ada hal yang ingin saya dibicarakan dengan Papah," ucap Rakha, secara tidak langsung menyuruh Nadira pergi.
Nadira yang memahami maksud itu tentu tak tinggal diam. "Kalau begitu, saya permisi," ujarnya, lalu melangkah keluar dari ruangan Pak Mahendra.
Tuan Mahendra merasa tidak enak dengan sikap Rakha terhadap Nadira, namun ia juga tidak bisa berbuat banyak. Ia tahu, sikap itu muncul karena Rakha tidak terima Nadira akan menikah dengan lelaki lain.
"Kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu," tegur Tuan Mahendra setelah memastikan Nadira telah keluar dari ruangannya.
Rakha mengangkat bahu dengan sikap acuh. Ia merasa sudah cukup sabar karena tidak memaksa Nadira membatalkan pernikahannya.
"Kapan terakhir Nadira bekerja di sini?" tanya Rakha, mengalihkan pembicaraan.
Ia sama sekali tidak ingin Nadira pergi dari perusahaan—ia hanya ingin memastikan kapan tepatnya Nadira akan mengakhiri masa kerjanya.
Tuan Mahendra menghela napas. Memang tidak mudah berbicara dengan putranya yang sejak kecil sering dimanjakan.
"Seharusnya satu minggu sebelum pernikahan. Tapi tadi Nadira meminta agar dipercepat. Mungkin besok lusa, maksimal empat hari dari sekarang," jawab Tuan Mahendra.
Rakha mendesis pelan. Ia tidak menyangka Nadira akan pergi secepat itu. Namun, masih ada waktu untuk memastikan Nadira meminum ramuan darinya.
Ia belum benar-benar menyerah. Kali ini, ia memilih cara yang lebih halus—atau mungkin lebih licik. Ia kembali menyuruh seseorang mencampurkan ramuan penyubur rahim ke dalam minuman Nadira. Ia ingin memastikan segalanya berjalan sesuai rencana.
"Baiklah, kalau begitu aku ke ruanganku," ucap Rakha, seolah melupakan bahwa tadi ia mengaku ingin berbicara dengan ayahnya. Atau mungkin, ia memang tidak benar-benar berniat bicara—hanya mencari alasan untuk bertemu Nadira.
"Bukannya kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Tuan Mahendra sebelum putranya benar-benar melangkah pergi.
Namun, Rakha hanya mengangkat tangannya dan menjawab singkat tanpa menatap sang ayah.
"Lupa," ucapnya enteng, lalu keluar begitu saja dari ruangan itu.
Tuan Mahendra yang melihat sikap itu hanya bisa mendengus pelan. Rakha masih saja bersikap kekanak-kanakan, meskipun kini menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan mereka.
***
Saat melewati ruangan Nadira, Rakha diam-diam melirik ke dalam. Perempuan itu tampak tenang, sibuk dengan pekerjaannya, lalu sesekali menikmati minuman yang ada di genggamannya. Sebuah senyum tipis terukir di wajah Rakha.
"Kamu harus menjaga calon anak kita," bisiknya dalam hati, seolah berharap Nadira bisa mendengar doa yang tidak pernah benar-benar ia ucapkan.
Tepat ketika Nadira menoleh ke arahnya, Rakha sudah lebih dulu mengalihkan pandangan dan melangkah lurus ke depan. Tatapan mereka tak sempat bersirobok, namun satu hal yang pasti—Nadira tahu Rakha sempat memperhatikannya.
"Aku seharusnya senang... tapi kenapa yang kurasakan justru sebaliknya?" gumamnya lirih, menatap kosong ke arah tempat Rakha berdiri beberapa detik lalu.
Nadira berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang sempat terjadi di antara mereka tidak mengubah kenyataan bahwa status sosial mereka berbeda. Rakha adalah calon pewaris Mahendra Grup, calon pemimpin utama perusahaan besar, sementara dirinya hanyalah perempuan biasa yang harus bertatih-tatih untuk berada di posisinya sekarang.
"Sadar, Nadira. Kamu seharusnya sudah cukup bersyukur memiliki Galen. Tidak perlu bermimpi untuk menggapai sesuatu yang lebih tinggi dari itu," gumamnya pelan.
Nadira tetap melanjutkan rencana pernikahannya dengan Galendra bukan karena nekat. Ia sudah berbicara dengan Galendra bahwa dirinya tidak sesuci seperti yang mungkin Galendra bayangkan, dan Galendra tidak mempermasalahkan hal itu karena ia pun memiliki kesalahan di masa lalu.
Seharusnya, sekarang Nadira fokus pada pernikahannya, bukan malah memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan.
“Semua sudah siap, Nadira. Kamu akan menjadi istri Galen dalam waktu dekat,” ucapnya, mencoba mengingatkan dirinya sendiri.