Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan Damar
Gara-gara sibuk dengan jadwal kunjungan hari ini. Damar tidak menyentuh handphonenya kecuali menerima panggilan masuk yang dianggapnya penting.
Baru dalam perjalanan pulang usai kunjungan proyek terakhir, iseng-iseng Damar memeriksa pesan masuk dan betapa terkejutnya melihat nama Mirna di urutan kelima.
Tanpa menunda Damar langsung menghubungi Mirna tapi sampai beberapa kali panggilan Damar hanya dijawab mesin otomatis dan pesan terkirim namun tidak dibaca oleh istrinya.
“Sepertinya ibu masih menunggu di ruangan, Pak,” tutur Budi yang langsung paham membaca kegelisahan Damar.
“Kamu sudah tahu kalau istri saya datang ke kantor ?” tanya Damar dengan nada kesal.
“Ulfa yang memberitahu dan mewanti-wanti supaya tidak memberitahu Bapak atas perintah ibu. Baru saja saya memeriksa CCTV, tidak terlihat ibu pergi meninggalkan kantor sejak jam setengah lima sore.”
“Kalau begitu cari jalan tercepat untuk sampai di kantor.”
“Baik Pak.”
**
Mendekati pukul delapan mobil baru tiba di kantor. Damar langsung melesat masuk, hanya menganggukkan kepala pada seorang sekuriti yang menyapanya.
Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu Mirna setelah seminggu terakhir mereka bagaikan musuh meski tetap tidur di satu kamar.
Sampai di depan pintu, Damar berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan hatinya yang berdebar karena cemas menerka-nerka apa yang ingin dibicarakan Mirna sampai mengajaknya bertemu di kantor.
Dengan hati-hati akhirnya Damar menggerakan gagang pintu dan mengintip sebelum membukanya lebar-lebar. Damar pikir Mirna pasti tertidur karena panggilannya tidak ditanggapi tertanya wanita itu sedang menikmati makan malam sendirian.
“Maaf aku…”
“Makanlah dulu ! Aku sudah menyiapkannya untuk Mas Damar.”
Damar tersenyum namun wajah Mirna masih saja terlihat datar dan dingin, meski begitu ia tetap menyiapkan makanan untuk suaminya yang disajikan dalam wadah rantang plastik.
“Kenapa kamu tidak menghubungi Budi supaya aku langsung membaca pesanmu.”
“Mas Damar makan dulu aja, ngobrolnya nanti kalau sudah selesai.”
Melihat tatapan Mirna yang tidak menerima bantahan, Damar pun menurut dan menikmati makan malam yang sudah disiapkan Mirna.
“Kamu masak sendiri.”
“Hhhhmmm.”
“Rasanya belum berubah,” puji Damar tulus namun tidak membuat Mirna tersenyum sedikit pun malah beranjak dari tempat duduknya.
“Mau kemana ?” tanya Damar.
“Toilet.”
“Pakai yang di dalam sini aja.”
Seakan tidak mendengar ucapan Damar, Mirna memilih keluar ruangan membuat Damar hanya bisa menghela nafas.
**
Kurang dari 30 menit, meja sudah bersih lagi dan Mirna mengeluarkan barang-barang dari dalam tas kainnya. Mata Damar langsung membola saat melihat botol vitamin putih yang diletakkan di atas meja,
“Darimana kamu dapatkan botol ini ?” tanya Damar sambil meraih benda itu.
“Kenapa ? Mas Damar mencarinya untuk menghilangkan bukti ?” sindir Mirna dengan senyuman sinis.
“Bukti apa maksudmu Mirna ? Waktu kamu pindah rumah sakit dan dokter memastikan hasil tes darahmu, aku mencari segala macam supplemen yang kamu konsumsi sebelum dan saat hamil. Aku ingat pernah memberimu vitamin ini tapi sayangnya aku tidak pernah menemukannya untuk memastikan kandungan di dalamnya.”
“Sebelum kita membahas semuanya lebih jauh, aku punya satu permintaan pada mas Damar.”
“Aku akan memenuhinya.”
“Tolong Mas Damar jujur padaku, jangan ada yang ditutupi lagi.”
“Aku sudah menceritakan semuanya padamu, Mirna, tidak ada yang….”
Mirna mengangkat telapak tangannya membuat Damar tidak lanjut berbicara.
“Mas Damar pasti sudah mengenal baik sifatku. Aku yakin pertengkaran yang sering terjadi belakangan ini bukan sekedar karena orang ketiga seperti Marsha, mbak Nita atau siapapun tapi karena aku tahu kalau Mas Damar tidak sepenuhnya jujur padaku.”
Damar menghela nafas dan meletakkan kembali botol vitamin yang sejak tadi dipegangnya.
“Apa yang mau kamu tanyakan padaku ?”
“Kenapa Mas Damar tidak menceritakan siapa Marsha yang sebenarnya ? Dia bukan sekedar tenaga profesional yang Mas rekrut untuk membantu di kantor kan ?”
Mirna mengambil amplop yang disimpannya dalam map plastik dan mengeluarkan isinya lalu disusun di atas meja. Mata Damar langsung membola saat melihat sederetan foto-fotonya bersama Marsha.
“Sepertinya ada orang yang sengaja mengirimkan foto ini padaku jauh sebelum kecelakaan tapi dari semuanya, foto ini yang membuatku sangat kecewa termasuk saat ini karena Mas Damar tidak mau memberitahu kalau Marsha adalah keponakan pak Tomi yang ingin dijodohkan dengan Mas Damar.”
Mirna menggeser foto di depan panti ke hadapan Damar yang kembali menghela nafas tanpa menyentuhnya.
“Apakah Marsha yang memberikan vitamin ini pada Mas Damar ? Kenapa waktu itu Mas Damar bersikukuh menutupinya ?”
“Maafkan aku.”
“Beberapa hari yang lalu aku sempat menemui dokter Steven untuk memastikan kandungan kapsul-kapsul yang ada di dalamnya. Ternyata Steven sudah pernah melakukan uji lab atas permintaanku sebelum kecelakaan bahkan aku juga sempat curhat padanya soal bagaimana marahnya aku karena Mas Damar bersikeras menyangkal bukti yang aku miliki dan tidak mau memberitahu darimana vitamin ini berasal.”
“Maafkan aku yang tidak percaya padamu waktu itu dan kamu benar kalau vitamin itu aku dapatkan dari Marsha dan maminya ?”
Alis Mirna sempat menaut tapi ia tetap fokus pada topik yang ingin dibahas malam ini.
“Bagaimana Mas Damar bisa bertemu dengan Marsha lagi ?”
“Dia menghubungiku dan minta waktu bertemu karena sudah lama kami tidak pernah bertukar kabar. Karena sibuk dengan masalah-masalah di kantor, aku selalu menolaknya sampai suatu hari kami tidak sengaja bertemu di salah satu restoran usai aku bertemu klien. Aku tidak bisa menghindar lagi dan akhirnya kami sempat ngobrol sekitar 1 jam.”
“Mas Damar sendiri ?”
“Iya. Budi harus kembali ke kantor karena ada dokumen perjanjian yang harus diperbaiki dan semua datanya tersimpan di komputer yang ada di meja kerjanya.”
“Apa setelah pertemuan itu Mas Damar langsung meminta Marsha bekerja di kantor ?”
“Tidak,” Damar menggelengkan kepala. “Masih ada 2 pertemuan lagi. Di pertemuan terakhir Marsha mengajak tante Lilia yang baru saja datang ke Jakarta. Di saat ituah Marsha baru menitipkan vitamin itu untukmu. Aku percaya saja karena botol itu masih tersegel dengan baik dan tante Lilia bilang mereka berdua juga sudah lama mengkonsumsinya.”
“Di saat aku membawakan bukti dari dokter Steven kenapa Mas Damar masih meragukan aku dan menutupi fakta soal pemberian Marsha ?”
“Masalah di kantor yang datang seperti air bah membuatku sangat stres dan hampir depresi. Kedatangan Marsha yang bisa membuat masalah itu mulai terurai bahkan satu persatu dapat diselesaikan dengan baik membuat pikiranku sedikit membaik tapi karena saat itu masih banyak persoalan yang perlu dibereskan, aku tidak mau kamu menemui Marsha dan membuatnya hengkang dari perusahaan. Saat itu akal sehatku sudah tidak mampu lagi berpikir jernih apalagi aku melihat selain mudah emosi, tidak ada tanda-tanda yang membahayakan jiwamu.”
Mirna berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala, wajahnya kelihatan kecewa dengan pernyataan Damar.
“Jadi nilai perusahaan ini lebih berharga daripada nyawa istri sendiri ?” tanya Mirna sambil menghela nafas.
“Maafkan aku Mirna. Kecelakaan yang menimpamu membuat aku sangat menyesal dan sadar akan kesalahan terbesarku yang telah mengabaikanmu, ditambah lagi aku baru tahu kalau Marsha memiliki hubungan bisnis dengan Firman.”
Damar menjeda, menatap Mirna yang sedang memainkan jemarinya dengan kepala sedikit menunduk.
“Aku tidak bisa memutar balik waktu tapi aku percaya saat kamu terbangun dari koma, Tuhan memberikan aku kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya.”