Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi
Jarum jam sudah menunjukan pukul 07.45 WIB. Tapi Hail masih betah berlama-lama di rumah Evelyn. Ia bahkan sengaja memesan bubur ayam untuk sarapan, tapi untuk Cala khusus Hail belikan sereal dengan bentuk bintang. Ketiga duduk di ruang tamu, Cala duduk di sisi kanan Evelyn, tempat yang memudahkan dia melihat televisi yang sedang menayangkan kartun kesukaannya. Sementara Hail duduk di sofa singel yang sudah koyak di bagian tepi.
Hail menyuap buburnya ke mulut, tapi fokusnya bukan pada makanan itu. Melainkan pada bidadari yang duduk di sampingnya. Evelyn bukan tidak menyadari tatapan intens Hail padanya, Evelyn hanya berusaha acuh dan bersikap normal, meski dia tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipi.
Siapa yang tidak salah tingkah saat seorang laki-laki tampan duduk begitu dekat, menatap dengan lekat tanpa berkedip, jangan lupakan senyum lebar pria itu. Sekeras apapun Evelyn, dia hanya wanita biasa.
"Ehm ... Eve aku mau bicara sesuatu," Hail berkata dengan ragu, ia menunduk, mengaduk-aduk buburnya dengan malu-malu.
"Apa?" tanya Evelyn terkesan acuh, melirik sekilas saat Hail tidak melihat ke arahnya.
Lalu buru-buru mengalihkan pandangan saat Hail mengangkat wajahnya. Evelyn menyuap sesendok besar bubur untuk menutupi kegugupanya.
"Tadi Pak RT ke sini."
"Hem?"gumam Evelyn dengan mulut penuh.
"Dia tanya kenapa aku di sini, aku jawab kalau aku suami kamu."
"Huk!"
"Pelan-pelan Eve!" pekik Hail panik, ia segera mengambilkan segelas teh hangat untuk Evelyn.
Evelyn segera menenggak cairan hangat dan manis itu perlahan, mendorong bubur yang menyangkut di tengggorokannya. Hail yang khawatir , menepuk pelan punggung Evelyn. Setelah meminum hampir setengah gelas teh yang Hail berikan, ia menaruh gelas itu dengan cukup keras. Wanita itu menoleh, menatap tajam pada Hail yang juga menatapnya dengan wajah cemas.
"Apa yang kamu katakan pada Pak RT?" tanya Evelyn tenang tapi menekan.
"Aku papanya, Cala," jawab Hail tanpa rasa bersalah.
"Hail, kamu ...." Evelyn menoleh sekilas pada Cala yang sedang asik menonton televisi.
"Ya apa?" Hail menopang dagu dengan kedua tangannya, menatap Evelyn dengan senyum lebar tanpa dosa.
"Apa kau gila? Untuk apa kau mengatakan itu pada Pak RT?" Alis Evelyn menukik tajam.
"Lho ada yang salahkah, Sayang. Cala anakku, otomatis kamu adalah istriku."
"Kau gila!"
"Aku memang tergila-gila padamu." Hail mengulum senyum manis, terlihat sangat menyebalkan di mata Evelyn.
"Sudah berapa kali aku harus mengatakan, Cala bukan anak mu!" tegas Evelyn tertahan, meski dia membantah dia juga tidak ingin Cala mendengarnya.
Evelyn paham bagaimana Cala memimpikan, sosok seorang ayah selama ini. Dan gadis kecil itu menemukan Hail. Evelyn akui, Hail juga sosok Ayah yang sempurna, bukan hanya untuk Cala tapi juga untuknya. Tapi, Evelyn tidak mau jika harus bergantung pada laki-laki itu, dia tidak mau menjadi beban hidup Hail.
"Oh ya? Lalu, siapa Papa Cala?" tanya Hail, alisnya naik satu seolah menantang Evelyn untuk menjawab.
Evelyn mendengus, mengalihkan pandangannya kearah lain. Enggan menjawab pertanyaan Hail.
"Kenapa diam? Tidak bisa menjawab kan? Dari sikapmu yang seperti ini saja sudah menunjukan kalau Cala, adalah hasil kita bercocok tanam kita malam itu, akui saja Eve." Hail menyandarkan tubuhnya, meliat tangan menatap Evelyn dengan penuh kemenangan
"Jaga bicara mu Hail, Cala bisa mendengarnya," tukas Evelyn dengan melemparkan tatapan tajam pada laki-laki tengil yang super menyebalkan ini. Padahal dulu Hail, tidak setengil ini.
Dulu Hail yang Evelyn kenal adalah sosok yang tenang dan tegas. Kakak kelas yang suka membantu sesama mahasiswa rantau, termasuk dia. Evelyn masih ingat dengan baik, bagaimana Hail membantunya membawa koper menaiki tangga saat pertama kali ia datang ke apartemen itu. Senyum pertama Hail untuknya, senyum yang seolah memberi tahu Evelyn bahwa dia tidak akan sendiri di sana.
"Hari ini kau banyak menyebut namaku Eve, tapi ada yang aneh?" Hail mencubit dagunya dengan telunjuk dan ibu jari, keningnya berkerut seolah sedang berpikir keras.
Tak ada kata. Hanya sendok yang bergerak pelan, seolah memaksa dirinya menelan rasa yang lebih pahit dari bubur di mangkuk. Sejujurnya perut Evelyn belum bisa menerima makanan terlalu banyak. Sekarang saja dia sudah merasa mual, tapi dia tetap pura-pura makan, demi menghindari perbincangan yang lebih panjang dengan Hail.
"Eve ... kau dulu memanggilku Kakak Hail kan, kenapa sekarang cuma Hail saja?"
"Uhuk!" lagi-lagi Evelyn tersedak, kenapa Hail mengatakan hal itu saat dia sedang memikirkan masa lalu. Apa pria ini bisa membaca pikirannya, gila.
"Hobi banget tersedak, kalau kamu salting emang gini ya?" Hail memberikan teh hangat Evelyn yang tersisa separuh.
Evelyn mendelik tajam, sambil memukul pelan dadanya. Lalu meminum tehnya.
"Lebih baik kamu pulang," tukas Evelyn, yang tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi menghadapi ketengilan Hail.
"Duh teganya, aku berasa batang tebu. Habis manis sepah di buang," tuturnya dengan bibit melengkung kecewa.
Evelyn menggeleng pelan, matanya berotasi malas mendengar keluhan Hail.
"Tapi tak apa, besok aku kesini lagi." Hail melihat jam yang melingkar di tanganya, ia bangkit lalu berjalan menghampiri Cala.
Hail memunduk mengusap rambut wangi sang buah hati, lalu mengecupnya.
"Papa berangkat kerja dulu ya, Sayang. Jagain Mama, Cala telpon Papa kalau Mama nakal nggak mau makan," tutur Hail berbisisk.
Cala mengangguk, menatap Hai dengan tidak rela. Cala masih mengingat benar apa yang terjadi semalam. Bagaimana takutnya dia melihat sang mama tergeletak dalam kegelapan.
"Papa tapan pulan kelja na?" tangan kecil Cala memeluk erat mangkok serealnya.
Hail tersenyum, mengecup puncak kepala Cala lagi. Menatap wajah sendu yang menunduk menyembunyikan harap.
"Nanti sore Papa pulang," jawab Hail, ia tahu apa yang ditakutkan malaikat kecilnya.
"Benel, Papa pulan cole?" Seketika Cala mengangkat kepala, menatap Hail dengan mata berbinar menyala.
Hail hanya mengangguk dengan senyum lebarnya. Semua itu tentu tak lepas dari mata Evelyn. Seulas senyum getir tersungging di bibirnya yang masih pucat.
'Tuhan, aku harus apa sekarang? Bagaimana aku harus bersikap? Cala begitu nyaman dengan Hail ... bagaimana aku memisahkan mereka. Kenapa Engkau pertemukan kami, aku ... tidak sanggup jika harus menghadapi perpisahan lagi ....' Tangan Evelyn meremas kuat, menggenggam udara yang sama seperti harapnya bersatu denga Hail.
Sebuah ruang hampa kosong yang tidak mungkin, harapan yang tidak akan pernah bisa terwujud untuk bersama.
"Aku pergi dulu Eve."
Tangan hangat Hail mengusap pucuk kepala Evelyn yang menunduk. Evelyn mengangguk tanpa kata, mungkin Hail menangkap nya dingin, tapi dibalik itu Evelyn sedang mati-matian menahan air mata yang mau tumpah. Derap langkah Hail terdengar menjauh, perlahan derit pintu terdengar di tarik kemudian di tutup.
Evelyn menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar. Raganya tak mampu menyembunyikan sakit yang selama ini dia kubur dalam-dalam. Berjarak dengan Hail adalah sesuatu yang paling tidak ia inginkan, tapi bersama Hail adalah hal yang mustahil. Perlahan wanita itu menyusutkan air matanya, dia tidak boleh menangis di depan Cala.Tidak boleh.
"Cala sudah selesai sayang?" tanya Evelyn dengan lembut.
"Cudah Mama ... Cele na enak, Cala cuka," tutur Cala sambil mengangsurkan mangkok kosong pada Evelyn.
"Nanti Cala mintak lagi ama Papa," imbuh Cala dengan senyum lebar.
Evelyn mengangguk. Cala sudah benar-benar bergantung pada Hail. Sejak masuknya Hail dalam kehidupan mereka, Cala tidak pernah lagi meminta apapun pada Evelyn. Meski Cala memang bukan anak yang suka minta ini itu, atau lebih tepatnya gadis kecil itu tidak tega meminta pada sang Mama. Tapi sekarang, kepada Hail, Cala seolah menunjukkan sisi manjanya, sisi yang memang butuh sosok untuk bergantung.
Tok
Tok
Evelyn yang tadinya akan ke dapur berhenti, ia lalau berbalik arah berjalan ke arah pintu. Mata Evelyn membeliak lebar saat membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di depan rumahnya.
"Kau membuatku menunggu Evelyn!" suaranya tegas, kedua matanya menatap tajam pada Evelyn.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
......
Dinding penghalang bukan lagi antara kasta dan tahta, akan tetapi antara sujud dan juga Atheis.
Min Yoon-gi Diandre, artis ternama yang tidak mengganut agama apapun. Tiba-tiba jatuh cinta kepada salah satu gadis muslim. Gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta saat pertama kali bertemu.
Di saat semua orang tergila-gila, dan berhalusinasi menjadi pasangannya, gadis itu malah tidak meliriknya sama sekali.
Mampukah Yoon-gi mendekati gadis itu di saat dinding yang begitu tinggi telah menjadi jarak di antara mereka?
dan kalau kamu ragu, mending kamu bicara jujur saja sama hail. apalagi kalau ada sangkut pautnya sama cala. mending bicara in baik2
minimal di sah akan dulu dong omm..
iket Evelyn nya, jangan sampai lepas
mau pergi lagi ?
ga kasihan emang sama cala ?
hail sedang mencari keadilan untuk kamu dan papa kamu
jangan mikir mau pergi dari Hail lagi Eve. sekali lagi egois demi kebahagiaan kamu boleh koq .
tapi jujur penasaran bgt sma maksud Evelyn yg bilang siapa Cala sebenarnya??/Grievance//Grievance/ apa Cala sebenarnya emang bukan anak Hail??duh jangan ya jangan,,/Frown//Frown/
Eve,, sekali lagi,, Egois z dulu,, tahan Hail,miliki dia seutuhnya,dan jangan pernah biarkan Hail pergi,,,