Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Arka duduk di sudut cafe, dengan tatapan yang tak pernah lepas dari sosok wanita yang selalu berhasil menarik perhatiannya. Sejak kemarin, ia menghabiskan waktu membantu Siera dan para pegawai lainnya mempersiapkan studio untuk workshop hari ini.
Dari tempatnya duduk, Arka bisa melihat dengan jelas bagaimana Siera memimpin workshop dengan penuh semangat. Wanita itu tampak antusias memandu peserta yang sedang meronce, senyum lebar menghiasi wajahnya. Sorot mata Siera begitu hidup, memancarkan kebahagiaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Workshop itu sendiri dipenuhi dengan canda tawa yang riuh, menciptakan suasana yang begitu menyenangkan. Meja-meja penuh dengan peralatan kerajinan, sementara para peserta sibuk menciptakan karya mereka masing-masing.
Arka merasa lega melihat Siera tersenyum selebar itu. Wajah yang sebelumnya tampak lesu dan penuh beban kini bersinar penuh kebahagiaan. Ada sesuatu yang menenangkan di hatinya saat menyaksikan pemandangan ini. Baginya, momen ini adalah bukti bahwa kerja keras Siera selama ini tidak sia-sia.
Ia menyandarkan punggungnya pada kursi, menarik napas dalam-dalam sambil tetap memperhatikan Siera. Sesekali, tatapan mereka bertemu, meski hanya sesaat. Siera melambaikan tangan kecil ke arah Arka, dan pria itu membalas dengan senyuman tipis yang penuh makna.
Di tengah hiruk-pikuk peserta workshop, bagi Arka, satu hal yang menjadi pusat dunianya saat ini hanyalah Siera. Senyum lebar wanita itu, gelak tawa ringan yang sesekali terdengar dari arahnya, membuat Arka merasa semua usahanya membantu Siera tak sia-sia.
Namun, fokus Arka terusik ketika suara langkah seseorang mendekat. Seorang wanita memasuki kafe dengan langkah cepat dan percaya diri, langsung menghampiri meja tempat Arka duduk.
“Lo ngapain di sini?” Cindy bertanya tanpa basa-basi, tatapannya tajam menelisik pria di depannya.
Arka menoleh perlahan, dan dengan santai menjawab, “Nungguin Siera selesai kerjanya.”
Tanpa diundang, Cindy menarik kursi di hadapan Arka dan duduk di sana, tatapannya tidak beranjak dari wajah pria itu.
“Arka, tujuan lo sebenarnya apa?” Cindy bertanya lagi, kali ini nada suaranya lebih serius, hampir menantang.
Arka mengerutkan keningnya, bingung dengan arah pembicaraan ini. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Cindy melanjutkan dengan nada lebih tajam.
“Lo pasti ngerti maksud gue. Alasan lo balik lagi ke sini tuh apa?” ucapnya tegas.
Arka terdiam sejenak, mencoba merangkai kata yang tepat. Ia tahu apa yang Cindy maksud, dan ia tak ingin mengelak. Dengan pandangan yang kembali tertuju pada Siera di kejauhan, ia menjawab dengan tenang.
“Siera,” ucapnya singkat, tetapi penuh makna.
Cindy mengangkat alisnya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Alasan gue balik ke sini karena Siera. Tujuan utama gue ya dia,” lanjut Arka, kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Cindy menatapnya dengan ekspresi campur aduk, antara heran dan skeptis. “Tapi kenapa Ka? Setelah sekian lama lo ninggalin dia?”
Arka menarik napas panjang, matanya tetap terpaku pada Siera yang sedang tersenyum kepada peserta workshop. “Karena gue nggak bisa ngelihat Siera bareng orang lain lagi,” katanya, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan emosi yang ia coba tahan.
“Gue akuin, keputusan gue sebelumnya salah besar. Gue terlalu pengecut buat ngelindungi Siera, nyatanya gue nyakitin dia. Tapi gue bakal menebus semua itu, Cindy. Gue nggak peduli berapa lama atau seberapa sulit, gue bakal bikin Siera percaya lagi sama gue.”
Cindy terdiam, melihat kesungguhan di wajah Arka. Meski masih ada keraguan dalam dirinya, ia tak bisa menyangkal bahwa Arka benar-benar serius dengan ucapannya.
“Ya udah, Ka,” Cindy akhirnya berkata, nada suaranya lebih lembut. “Tapi gue cuma mau lo tahu satu hal. Kalau lo nyakitin Siera lagi, gue nggak bakal tinggal diam.”
Arka tersenyum kecil, menghargai kekhawatiran Cindy. “Gue janji, gue nggak bakal nyakitin dia lagi. Siera adalah alasan gue balik, dan gue nggak akan sia-siain kesempatan ini.”
Cindy menghela napas pelan, lalu berdiri dari kursinya. “Gue percaya lo untuk sekarang, Ka. Tapi jangan bikin gue nyesel, ya.”
Namun, ketika ia baru akan melangkah pergi, suara Arka menghentikan langkahnya. “Cindy, Rey sepupu lo kan?” tanyanya tiba-tiba, membuat Cindy kembali menoleh dengan ekspresi heran.
“Lo tahu dari mana tentang Rey?” Cindy bertanya dengan nada terkejut, alisnya terangkat seiring dengan rasa ingin tahunya.
Arka menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, sorot matanya tajam. “Gue pernah ketemu dia, waktu gue bareng Siera,” ucapnya santai, tetapi dengan nada yang sarat makna.
Cindy menatap Arka dengan mata menyipit, mencoba menebak maksud sebenarnya dari ucapan pria itu. “Terus kenapa emangnya?” tanyanya, separuh menyelidik.
Arka mengalihkan pandangannya sejenak, lalu kembali menatap Cindy dengan serius. “Tolong peringatin dia buat jaga jarak sama Siera. Gue tahu intensi dia ke Siera.”
Cindy mendengar itu dan langsung tertawa kecil, suara tawanya mengandung nada menggoda. “Takut, ya, lo punya saingan?” ucapnya dengan senyum jahil, mencoba menguji Arka.
Arka tetap tenang, tetapi nada bicaranya mulai mengeras, menunjukkan bahwa ia tak sedang bercanda. “Gue nggak pernah takut sama apapun, Cindy,” jawabnya tegas. “Tapi gue juga nggak akan biarin dia ngedeketin seseorang yang akan jadu milik gue.”
Cindy terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Arka. Senyumnya memudar, berganti dengan ekspresi serius. “Milik lo, Ka? Lo sadar kan, lo belum sepenuhnya dapat kepercayaan Siera lagi?”
Arka mengangguk pelan, tatapannya tetap mantap. “Gue sadar. Tapi gue juga tahu, Siera adalah tujuan gue. Dan gue bakal lakuin apa aja buat jaga dia, termasuk ngusir Rey kalau dia macem-macem.”
Cindy menghela napas panjang, kali ini tanpa senyuman. “Baiklah, Ka. Gue bakal ngomong sama Rey. Tapi ingat, gue masih perlu lihat bukti nyata dari lo. Jangan cuma ngomong besar.”
Arka hanya mengangguk lagi, kali ini dengan senyum tipis. “Lo bakal lihat, Cindy. Gue nggak main-main soal ini.”
Setelah itu, Cindy benar-benar pergi meninggalkan Arka, sementara pria itu kembali memusatkan perhatian pada Siera. Dalam hatinya, Arka tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia akan memastikan Siera akan tetap bersamanya, bahkan dari bayang-bayang yang berusaha mengusiknya.
Siera, yang berjalan dari kejauhan, sempat menghampiri Cindy lebih dulu yang sedang memesan makanan. Setelah berbincang singkat, ia melanjutkan langkahnya menuju Arka yang masih duduk santai di sudut café.
“Ka, lo ngomongin apa sama Cindy tadi?” tanya Siera, penasaran.
Arka menatapnya dengan santai, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Ngomongin apa? Nggak ngomongin apa-apa kok,” jawabnya ringan.
Siera mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. “Yakin lo?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada menggoda.
“Yakin,” jawab Arka tegas, menatap langsung ke matanya. “Kamu dari tadi merhatiin aku, ya?” tambahnya dengan nada menggoda, senyumnya semakin lebar.
Wajah Siera langsung memerah. Ia tersipu, jelas-jelas tidak siap dengan pertanyaan itu. Pipinya memanas, dan ia segera mencoba menutupi rasa malunya. “Apasih, nggak ada. Tadi aku kira kamu ngobrol sama siapa, ternyata sama Cindy,” jawabnya asal, pura-pura tidak peduli.
Arka tertawa kecil melihat ekspresi Siera yang berusaha terlihat cuek. Ia tahu betul bagaimana cara membuatnya salah tingkah. “Cemburu, ya, kalau aku ngobrol bareng orang lain?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menggoda.
“Apasih, Ka. Nggak, yah!” jawab Siera cepat, meski nada suaranya sedikit lebih tinggi, tanda ia gugup. Ia segera membalikkan badan, berniat kembali ke tempat workshop. “Udah ah, aku mau balik ke sana lagi.”
Namun sebelum ia sempat melangkah pergi, Arka memanggilnya. “Sie,” panggilnya pelan, membuat Siera berhenti dan menoleh.
“Apa lagi?” tanyanya, masih mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Arka tersenyum, kali ini dengan tatapan yang lebih serius. “Pulang nanti ikut aku dulu, ya. Ada yang mau aku obrolin sama kamu,” ucapnya, nada suaranya lembut namun penuh keyakinan.
Siera mengerutkan kening, bingung sekaligus penasaran. “Ngomongin apa?” tanyanya pelan.
“Nanti juga kamu tahu,” jawab Arka singkat, memberikan senyum misterius.
walah sipa yah...