Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33: TERANG DI BALIK KELAM
Ruangan itu akhirnya sunyi. Tidak ada lagi jeritan, tidak ada lagi tawa menyeramkan, dan kegelapan yang tadi memenuhi setiap sudut telah sirna. Namun, keheningan itu terasa jauh lebih menusuk dibanding suara apa pun yang sebelumnya mereka dengar.
Lando membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa remuk seperti baru dihajar truk berulang kali. Pandangannya buram, tetapi ia bisa melihat pria tua itu duduk bersimpuh di dekatnya, menatap lurus ke depan.
"Kita... menang?" suara Lando serak, seperti baru pulang dari konser metal tanpa minum air.
Pria tua itu tidak menjawab. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya. Di hadapan mereka, puing-puing takhta yang hancur berserakan. Tidak ada tanda-tanda Raka.
Lando berusaha bangkit, tetapi kakinya gemetar. "Hei, Raka! Lo di mana, bro? Jangan bercanda, ini enggak lucu!" serunya, mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai merayap di dadanya.
Namun, yang ia dapatkan hanya gema suaranya sendiri.
---
Perjalanan yang Tersisa
Wanita penjaga yang sebelumnya mereka kira tewas kini mulai bergerak. Ia mengerang pelan, mencoba duduk meski darah masih mengalir dari luka di bahunya.
"Apa... apa yang terjadi?" tanyanya, wajahnya pucat seperti kertas fotokopi habis toner.
Lando menoleh, sedikit lega melihatnya masih hidup. "Lo masih hidup! Gila, gue udah hampir ngira lo nyusul Ilya."
Wanita itu tersenyum pahit. "Raka? Dia... berhasil?"
Lando terdiam. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Dia berhasil... tapi dia juga—"
Pria tua itu akhirnya berbicara, suaranya berat dan penuh kepedihan. "Raka mengorbankan dirinya. Dia tahu tidak akan ada jalan keluar untuknya, tapi dia tetap maju."
Kata-kata itu jatuh seperti bom. Wanita penjaga menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan tangis. Lando, yang biasanya cerewet, hanya duduk di sana dengan pandangan kosong.
"Kenapa harus dia?" gumam Lando akhirnya, matanya mulai basah. "Dia selalu jadi orang yang maju duluan, yang melindungi semua orang. Kenapa harus dia yang pergi?"
Pria tua itu hanya menggeleng. "Kadang, pahlawan sejati adalah mereka yang bersedia menyerahkan segalanya tanpa ragu. Raka... adalah pahlawan sejati."
---
Jejak yang Tertinggal
Ketika mereka akhirnya berdiri, ruangan itu mulai bergetar perlahan. Sepertinya tempat itu tidak akan bertahan lama setelah inti kegelapan dihancurkan.
"Kita harus keluar dari sini," kata wanita penjaga, menggenggam lengan Lando untuk membantunya berdiri. "Jika tidak, kita semua akan terkubur di sini."
Mereka bertiga berjalan tertatih-tatih menuju pintu besar, yang kini mulai runtuh. Di belakang mereka, genangan darah mengering dan retak seperti kaca, sementara dinding-dinding ruangan runtuh satu per satu.
Saat mereka keluar dari ruang bawah tanah itu, udara malam yang dingin menyambut mereka. Untuk pertama kalinya, bintang-bintang tampak bersinar terang, seolah-olah langit ikut merayakan akhir dari kegelapan.
Namun, suasana hati mereka jauh dari lega. Lando duduk di atas batu, menatap ke arah pintu bawah tanah yang kini tertutup rapat oleh reruntuhan.
"Ini enggak adil," katanya pelan, suara penuh kemarahan. "Kenapa kita harus kehilangan dua orang untuk bisa sampai di sini? Ilya... Raka... mereka enggak layak mati."
Wanita penjaga duduk di sampingnya, meletakkan tangannya di bahu Lando. "Kita semua tahu risiko dari awal. Kalau bukan karena mereka, kita semua mungkin sudah mati. Dunia ini masih berdiri karena mereka berdua."
"Iya, gue tahu," balas Lando, menghapus air matanya dengan kasar. "Tapi gue enggak bisa terima aja. Gue pengen marah, pengen nyalahin sesuatu, tapi gue enggak tahu harus ke mana."
---
Sebuah Kejutan
Ketika mereka tenggelam dalam kesedihan, suara aneh terdengar dari reruntuhan. Seperti langkah kaki yang pelan, menyeret-nyeret, mendekati mereka.
"Apa itu?" wanita penjaga segera mengambil senjata, meskipun tenaganya hampir habis.
Lando juga berdiri dengan sigap, meskipun kakinya masih gemetar. "Jangan bilang ini semacam plot twist di mana monster terakhir muncul lagi, ya? Gue udah capek, sumpah!"
Namun, yang muncul dari balik reruntuhan membuat mereka semua terpaku. Sosok yang berjalan pelan itu adalah Raka. Bajunya compang-camping, tubuhnya dipenuhi luka bakar, tetapi ia masih hidup.
"Raka!" Lando berteriak, langsung berlari ke arahnya. "Bro, gue kira lo udah mati!"
Raka tersenyum lemah. "Gue juga kira begitu." Suaranya serak, seperti habis minum air mendidih. "Tapi ternyata... gue enggak bisa mati semudah itu."
Wanita penjaga ikut mendekat, membantu Raka duduk. "Bagaimana bisa? Kami melihat ledakan itu... kami pikir lo udah—"
Raka menggeleng pelan. "Gue enggak tahu juga. Tapi ketika gue pikir gue bakal lenyap, ada sesuatu yang narik gue keluar. Kayak... ada yang bilang gue masih punya tugas yang harus diselesaikan."
Pria tua itu mendekat, menatap Raka dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Kau membawa sesuatu bersamamu, bukan? Apa yang kau temukan di sana?"
Raka merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil—sebuah batu kristal berwarna merah terang, yang tampaknya memancarkan energi yang sangat kuat.
"Gue enggak tahu apa ini," katanya, memandangi batu itu. "Tapi ini kayaknya penting. Dan kalau gue harus mati lagi buat ngejaga ini, gue bakal ngelakuin apa pun."
---
Awal yang Baru
Malam itu, mereka duduk di bawah bintang-bintang, merencanakan langkah berikutnya. Dunia mungkin sudah aman untuk sementara, tetapi ancaman yang lebih besar tampaknya masih mengintai.
Raka, meskipun lelah, menatap ke arah batu kristal itu dengan tatapan penuh tekad. "Gue enggak tahu apa yang bakal datang setelah ini. Tapi gue tahu satu hal. Gue enggak bakal lari. Kalau mereka mau perang, gue bakal kasih perang."
Lando tersenyum kecil, menepuk bahu Raka. "Itu dia, bro. Kalau lo enggak takut, gue juga enggak takut. Kita hadapin apa pun yang bakal datang, bareng-bareng."
Wanita penjaga juga tersenyum. "Kita sudah kehilangan terlalu banyak. Tapi gue percaya, selama kita tetap bersama, kita bisa ngalahin apa pun."
Pria tua itu hanya tertawa kecil. "Kalian anak muda memang punya nyali yang besar. Tapi jangan lupa, perjalanan ini belum berakhir. Batu itu... adalah kunci untuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kalian bayangkan."
Mereka bertiga saling pandang, menyadari bahwa ini baru permulaan.
"Kalau gitu, kita siap," kata Raka akhirnya. "Karena gue enggak mau ada lagi yang mati sia-sia. Kita bakal selamatin dunia ini, apa pun caranya."
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka bertiga bersumpah untuk melanjutkan perjuangan mereka—dengan Raka, batu kristal, dan keberanian yang tidak akan pernah pudar