Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Pengakuan yang Terselip
Hari itu cuaca tampak sedikit mendung, dengan awan yang menggelayut di langit, memberikan kesan sedikit suram di sekitar sekolah. Rina sedang duduk di bangku taman bersama Sari, sambil menikmati angin sore yang agak sejuk. Di tangan, Rina memegang sebuah kaset mix-tape yang diberikan Danu minggu lalu. Ia baru saja selesai mendengarkan lagu-lagu dalam kaset itu, dan entah mengapa, setiap liriknya seolah berbicara langsung kepadanya. Lagu-lagu itu seakan memberikan jawaban atas pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hatinya.
"Rina," Sari memulai percakapan, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Aku tahu kamu udah lama bingung soal Danu. Jadi, gimana sekarang? Apa kamu mulai merasa ada yang berbeda?"
Rina menatap kaset itu, sedikit bingung, lalu menghela napas. "Entahlah, Sar. Semua perasaan ini semakin rumit. Kaset itu... semuanya terasa seperti kode, tapi aku nggak tahu apakah itu benar-benar berarti apa-apa." Rina memutar kaset itu di tangannya, seolah mencari jawaban dari benda kecil yang menyimpan banyak kenangan itu.
Sari terkekeh. "Rina, kamu ini selalu suka banget berpikir terlalu dalam. Coba deh, kamu bilang saja ke Danu apa yang sebenarnya kamu rasakan. Coba pikirkan, kalau dia juga ngerasain yang sama, kenapa nggak langsung ngomong aja?"
Rina hanya menggelengkan kepala. "Nggak bisa, Sar. Itu terlalu mendalam. Aku masih bingung. Aku nggak mau merasa terburu-buru."
"Jadi kamu mau menunggu terus sampai dia ngomong dulu?" tanya Sari dengan nada sedikit menggoda.
Rina terdiam, seolah merenungkan kata-kata Sari. "Aku nggak tahu, Sar. Mungkin, ya." Ia menatap langit yang mulai menggelap. "Tapi aku juga mulai merasa takut kalau aku nggak pernah tahu perasaannya yang sebenarnya."
Sari mendekat dan menepuk bahu Rina. "Lihat deh, kamu ini terlalu banyak berpikir. Danu tuh orangnya nggak suka main-main. Kalau dia kasih kamu kaset dan surat, pasti dia serius. Jadi, jangan ragu buat bilang apa yang kamu rasakan juga. Kalau nggak, kalian bisa terus-terusan muter di tempat."
"Ya, aku tahu," jawab Rina pelan. "Tapi aku nggak bisa langsung begitu aja. Ini soal perasaan, Sar. Aku nggak mau salah langkah."
Percakapan mereka terhenti sejenak, dan Rina menatap tasnya, seolah mencari alasan untuk tidak merasa cemas. Di kejauhan, dia melihat Danu sedang berjalan menuju taman. Rina merasa gugup, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba untuk bersikap santai, namun pandangannya tetap tertuju pada Danu.
Sari menatap Rina dengan cermat, lalu tersenyum lebar. "Kamu nggak sadar ya, Rina? Danu udah ngelihat kamu dari tadi."
Rina menoleh dengan gugup dan, seperti yang Sari katakan, Danu memang sudah ada di sana, berdiri beberapa meter dari tempat mereka. Danu tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan ke arah mereka.
Rina merasa pipinya memanas, tapi ia mencoba menahan rasa canggung itu. "Ah, itu Danu," ujarnya sambil berusaha tersenyum, meskipun hatinya masih berdebar.
Sari membisikkan, "Sekarang atau nggak sama sekali, Rina. Kamu harus ngomong apa yang kamu rasain. Gak bisa terus-terusan kayak gini."
Dengan sedikit ketegangan, Rina beranjak dari bangkunya dan berjalan mendekati Danu. Sari tersenyum simpul dan memberi isyarat agar Rina segera melangkah.
Danu melihat Rina mendekat dan tersenyum. "Helo, Rina," sapanya, suaranya terdengar hangat dan santai. "Gimana, udah selesai dengerin semua lagunya?"
Rina mengangguk pelan, masih sedikit canggung. "Iya, semua lagu itu bagus, Danu. Makasih ya, aku suka banget. Tapi... kenapa semua lagu-lagu itu kayak nyeritain tentang... perasaan, ya?"
Danu tersenyum kecil, terlihat agak malu. "Ya, mungkin... karena itu memang maksudnya. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku... nggak cuma pengen jadi teman biasa buat kamu."
Rina menatap Danu dengan penuh perhatian, hatinya tiba-tiba terasa lebih berat. "Kamu ngomong gitu... berarti, kamu juga punya perasaan yang sama kan?"
Danu terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Aku kira kamu udah tahu, Rina. Sejak lama, aku udah coba kasih tanda, tapi aku nggak tahu gimana cara ngomong yang lebih jelas."
Rina merasa sedikit terkejut. "Jadi... kamu memang suka sama aku?" tanyanya dengan suara pelan, meskipun hatinya sudah mulai merasa lega.
Danu mengangguk, wajahnya sedikit merah. "Iya, Rina. Aku suka sama kamu. Tapi aku nggak pernah berani ngomong langsung, takut kamu nggak ngerasain hal yang sama."
Rina menundukkan kepala sejenak, mencoba mencerna kata-kata Danu. Jantungnya berdebar, perasaan yang tadi cemas kini berubah menjadi kebahagiaan yang mengalir pelan. "Danu," katanya pelan, "Aku juga suka sama kamu."
Danu terkejut, tetapi kemudian senyum lebar muncul di wajahnya. "Serius?"
"Iya," jawab Rina, "Sejak lama."
Mereka berdua saling menatap, dan sejenak dunia terasa seperti berhenti berputar. Semua perasaan yang mereka simpan akhirnya terungkap dalam satu kalimat sederhana, dan keduanya tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Tidak ada lagi kebingungannya, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada mereka berdua, dan perasaan yang saling mengisi.
Sari yang sedari tadi memperhatikan dari jauh, akhirnya mendekat dengan senyum nakal. "Wah, akhirnya, ya! Akhirnya kalian berdua ngomong juga."
Rina dan Danu sama-sama tertawa kecil, merasa sedikit canggung, namun bahagia. "Sari, kamu udah tahu dari tadi ya?" tanya Rina.
Sari hanya tertawa. "Tahu banget! Tapi, kan, kalian perlu waktu buat sampai ke titik ini. Nah, sekarang udah jelas, kan?"
Rina dan Danu saling pandang, lalu tersenyum. "Iya," jawab Rina sambil menggenggam tangan Danu. "Sekarang sudah jelas."
Di bawah langit yang semakin gelap, di tengah-tengah taman yang penuh dengan kenangan, Rina dan Danu merasa bahwa semuanya akhirnya mulai terasa benar. Surat cinta, kaset, dan segala hal yang mereka alami akhirnya menemukan jawabannya—bahwa perasaan itu, meskipun terkadang terselip dan samar, pada akhirnya akan terungkap dengan cara yang paling sederhana: dengan saling mengakui.
Dan di situlah kisah mereka mulai menulis bab-bab baru yang lebih indah.