JANGAN BOOM LIKE 🙏🏻
Di tengah kehancuran yang ditinggalkan oleh amukan Liora Ravenscroft, putri bungsu dari Grand Duke Dimitri Ravenscroft, ruangan berantakan dan pelayan-pelayan yang ketakutan menggambarkan betapa dahsyatnya kemarahan Liora. Namun, ketika ia terbangun di tengah kekacauan tersebut, ia menemukan dirinya dalam keadaan bingung dan tak ingat apa pun, termasuk identitas dirinya.
Liora yang dulunya dikenal sebagai wanita dengan temperamental yang sangat buruk, kini terkejut saat menyadari perubahan pada dirinya, termasuk wajahnya yang kini berbeda dan fakta bahwa ia telah meracuni kekasih Putra Mahkota. Dengan mengandalkan pelayan bernama Saina untuk mengungkap semua informasi yang hilang, Liora mulai menggali kembali ingatannya yang tersembunyi dan mencari tahu alasan di balik amukannya yang mengakibatkan hukuman skors.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosalyn., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DENDAM FINNIAN
...31...
Namun, perasaan Finnian yang semakin dalam terhadap Felix tidak luput dari pengamatan seorang elf pria yang diam-diam memperhatikan mereka.
Elf itu adalah seseorang yang telah lama mencintai Finnian, meskipun cintanya tak terbalas. Ia sering mengaku sebagai murid Finnian, meskipun kenyataannya Finnian tidak pernah secara resmi mengajarinya.
Hal ini hanya ilusi dari perasaan cintanya yang begitu kuat, hingga membuatnya berhalusinasi.
Elf pria ini mulai merasa cemburu melihat Finnian begitu dekat dengan Felix. Awalnya, ia berniat membocorkan rahasia itu kepada para elf lainnya.
Namun, ia takut jika Finnian, perempuan yang ia cintai, akan dihukum berat karena menyembunyikan manusia di wilayah mereka. Ia memilih untuk memantau dari jauh, berharap situasinya tidak memburuk.
Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan antara Finnian dan Felix semakin erat. Finnian semakin sering menunjukkan kekuatannya kepada Felix, karena pria itu terus-menerus memintanya.
Awalnya, elf pria itu hanya menonton dengan penuh kekhawatiran. Namun lama-kelamaan, ia mulai merasa ada yang salah. Terlebih, ia melihat bahwa setiap kali Felix menyaksikan kekuatan Finnian, pria itu tersenyum licik, seolah memikirkan sesuatu yang berbahaya.
Tanpa disadari oleh Finnian, Felix mulai terobsesi dengan kekuatannya. Ia bukan lagi pria yang lemah dan terluka seperti pertama kali ditemukan oleh Finnian.
Perlahan, niat jahat Felix terkuak. Dia mulai merencanakan cara untuk menyedot kekuatan murni Finnian, mengambil semua yang ia miliki untuk dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Felix berhasil melaksanakan rencananya. Dalam satu momen yang mengerikan, dia menyerap seluruh kekuatan murni Finnian, menghisapnya hingga tak tersisa.
Finnian yang lemah tidak mampu melawan. Tubuhnya perlahan menyusut menjadi kecil, hanya tinggal cangkang dari kekuatannya yang dulu luar biasa. Ia pun jatuh dalam hibernasi, sebuah kondisi yang memaksa tubuhnya beristirahat selama berabad-abad untuk mencoba memulihkan diri.
Setelah mendapatkan semua yang ia inginkan, Felix mengkhianati Finnian tanpa ampun. Dengan kekuatan baru yang ia curi, Felix menyerang perkampungan elf.
Para elf, yang tidak berdaya melawan kekuatan murni yang dulu dimiliki oleh Finnian, segera tunduk di bawah perintah Felix. Sang Ratu Elf, demi melindungi rakyatnya, akhirnya membuat perjanjian dengan Felix.
Kaum elf menjadi budak Felix, menyerahkan segala yang mereka miliki agar tidak dimusnahkan.
Elf pria yang menyaksikan semua kejadian ini merasa hancur. Perasaannya terhadap Finnian membuatnya putus asa, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal diam.
Dengan nekat, ia memotong telinganya sendiri, agar bisa menyamar sebagai manusia. Ia membawa tubuh kecil Finnian yang tidak berdaya ke dunia manusia, meninggalkan dunia elf yang kini dikuasai oleh Felix.
Namun, perjalanannya tidak mudah. Di sepanjang perjalanan, pandangan gelap dan rasa putus asanya membuatnya terobsesi pada Finnian dengan cara yang aneh.
Ia melihat tubuh mungil Finnian dengan tatapan yang tidak sehat, seperti pria yang gila akan rasa cinta yang telah berubah menjadi obsesi. Di dalam dirinya, ia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari perasaan itu.
Terjebak dalam cinta yang tak terbalas dan rasa bersalah, ia membawa Finnian menuju nasib yang tak pasti di dunia manusia.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Finnian duduk diam di sudut ruangan, isak tangisnya tak terdengar, namun air mata yang jatuh berulang kali ke lantai mengisyaratkan betapa dalam luka di hatinya.
Kebodohan-kebodohan masa lalu berputar di benaknya, menyiksa pikirannya tanpa ampun. Frustrasi mulai melumpuhkan pikirannya, namun ia tahu, tenggelam dalam perasaan ini hanya akan membuatnya semakin lemah.
Perlahan, Finnian mendongak, menatap Liora dengan mata yang masih berkaca-kaca, namun kali ini dipenuhi oleh tekad yang membara. "Aku... Aku ingin balas dendam!" suaranya bergetar namun penuh dengan kebencian yang mendidih. "Felix harus hancur! Aku akan menghancurkannya, menjadikannya tak lebih dari debu!" Tubuh Finnian bergetar hebat, tangannya terkepal kuat, seolah menahan rasa sakit yang begitu mendalam.
Liora mematung, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Namun dalam keheningan itu, ia memahami betul perasaan Finnian. Amarah, dendam, keputusasaan, semua itu pernah ia rasakan sendiri.
Sebuah senyuman tipis tersungging di wajahnya, senyum yang tak sepenuhnya menggambarkan simpati, melainkan rasa saling mengerti.
“Finnian...” Liora mengulurkan tangannya dengan tenang, tatapannya tajam namun penuh kepastian. “Dendam ini belum usai. Belum terlambat untuk membalaskan semua yang sudah dia perbuat. Kau ingin menghancurkannya? Aku akan berada di sisimu.”
Finnian menatap tangan yang terulur itu, tatapannya masih dipenuhi keputusasaan. Namun di balik mata yang sendu itu, terselip secercah harapan, harapan untuk menuntaskan semuanya.
Perlahan, jemarinya yang gemetar meraih tangan Liora. Begitu dingin namun menenangkan, seolah membawa kekuatan yang tak terucapkan.
Liora menarik Finnian lebih dekat, hingga kening mereka saling menyentuh. “Kau tak lagi sendiri,” bisik Liora pelan namun penuh tekad. “Aku akan bersamamu, kita akan membalaskan semuanya. Felix tidak akan luput dari keadilan yang kita berikan.”
Air mata kembali jatuh dari mata Finnian, tapi kali ini, bukan sekadar air mata kesedihan. Ini adalah air mata pelepasan, air mata untuk semua rasa sakit yang perlahan memudar. “Terima kasih... manusia,” ucap Finnian dengan senyum yang kini lembut namun tetap dipenuhi rasa sakit.
Saat itu, sesuatu yang aneh terjadi. Cahaya putih mulai merembes dari celah-celah udara di sekitar mereka, menerangi ruangan dengan terang yang lembut namun semakin menyilaukan.
Cahaya itu seakan membungkus tubuh mereka berdua, hingga tak ada lagi yang terlihat selain sinar putih yang memudar, menelan keberadaan mereka dalam sekejap.
“Ahhh!” Liora tersentak dari tidurnya. Napasnya tersengal-sengal, keringat mengucur deras di pelipisnya. Ia terbangun di atas ranjangnya sendiri, namun rasanya masih terjebak di dalam mimpi. “Finnian…” gumamnya, menoleh ke samping, dan melihat Finnian yang masih terbaring tak sadarkan diri. Ia menggigit bibirnya, teringat mimpi aneh itu yang terasa begitu nyata.
Liora bangkit dengan cepat, berjalan ke arah jendela yang tertutup rapat. Dengan satu gerakan, ia membuka tirai itu, membiarkan cahaya matahari pagi menyeruak masuk, memenuhi ruangan dengan sinar hangat.
Ia menutupi matanya sesaat, tersentak oleh cahaya yang terlalu terang. “Sudah pagi…” gumamnya lemah. Kepalanya masih penuh dengan pikiran tentang mimpi itu, seolah sebuah pesan sedang dikirimkan padanya.
Namun, sebelum ia sempat merenungkan lebih jauh, terdengar ketukan dari arah pintu.
Tok, tok, tok.
“My Lady, ini Saina,” terdengar suara lembut dari balik pintu.
“Masuk,” jawab Liora, nadanya lemah, masih dibayangi mimpi yang mengguncangnya.
Pintu terbuka perlahan, dan Saina masuk dengan beberapa pelayan yang mengikuti di belakangnya. Liora mengangkat alis, sedikit terkejut melihat begitu banyak pelayan datang. Ini bukan hal yang biasa terjadi di hari-hari biasa.
"My Lady," kata Saina dengan nada khawatir yang tersembunyi di balik ketenangannya, "Putra Mahkota telah mengundang Anda untuk minum teh pagi ini. Undangan ini langsung dari beliau."
Liora merasakan tubuhnya menegang. "A-apa? Kenapa mendadak sekali?" Ia mundur satu langkah, berusaha mencerna kata-kata Saina yang mengejutkannya.
“Ini surat resminya,” ujar Saina sambil menyerahkan surat tersebut. Wajahnya tampak cemas, seolah tahu bahwa undangan ini tak bisa ditolak begitu saja.
Liora menghela napas panjang, kesal dan lelah bergulung jadi satu. Perlahan, ia berjalan menuju meja rias, matanya terpaku pada pantulan dirinya di cermin. “Dasar bajingan!” desisnya pelan, terlalu lelah untuk berteriak lebih keras. “Kenapa aku harus minum teh dengan pria menjengkelkan itu?”
Di dalam hatinya, amarah dan kelelahan membaur menjadi satu, tapi ia tahu satu hal: ini hanya permulaan dari segala kekacauan yang akan terjadi.
...^^To be Continued^^...