Lily: Rahasia Gadis Kampung.

“Lily…” Bagas mencoba lagi.

“Ada apa? Cepat katakan. Aku sudah muak melihat wajahmu,” balas Lily dengan nada dingin.

Bagas berusaha menahan amarahnya, menggenggam tangannya dengan erat.

“Lily, jangan terburu-buru. Aku ingin berbincang denganmu. Mungkin kau akan tertarik dengan apa yang akan kukatakan,” ucap Bagas dengan senyum penuh arti.

Lily melirik ke arah sebuah kursi di tempat yang sepi, kemudian berjalan ke sana dan duduk. Bagas mengikuti langkah Lily dan duduk di sebelahnya. Dia mulai menjelaskan bahwa Bagas ingin melakukan kontrak kerja sama dengan Lily.

Bagas memperbaiki kacamatanya, kemudian menatap Lily dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu siapa yang mencelakai nyonya Helsi, ibumu—itu adalah Sera. Bahkan kematian nenek Ina pun adalah ulahnya. Aku tidak terlibat sama sekali dalam hal itu,” ujarnya dengan nada tegas dan penuh penekanan.

Lily, yang sudah cukup menahan kemarahan, meledak. “Jadi dengan diam dan membiarkan semuanya terjadi, apakah itu bukan bentuk keterlibatan? Kau tahu dan tidak melakukan apa-apa, apakah itu berarti kau sama sekali tidak terlibat?” tanyanya dengan suara geram, menuntut penjelasan.

Bagas hanya tersenyum sinis, sikapnya penuh dengan ketidakpedulian. “Aku bisa melakukan apa yang kau inginkan, memberikan bukti yang lebih kuat, asalkan kau mau bekerja sama denganku,” jawab Bagas dengan nada penuh pengertian yang manipulatif.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Lily, berusaha mencari tahu rencana tersembunyi Bagas.

Bagas berdiri dan duduk di hadapan Lily dengan ekspresi iblis yang terpaksa. “Lily, aku hanya memiliki satu permintaan: menikahlah denganku,” ucap Bagas dengan senyum licik.

Lily tertawa sinis, lalu menekan pundak Bagas dengan telunjuknya. “Jangan mimpi!” jawabnya dengan nada tegas dan menantang.

“Ha ha ha, jangan buru-buru menolak. Kita hanya perlu menikah kontrak. Setelah waktu yang ditentukan habis, kita bisa cerai,” ucap Bagas dengan mengedipkan matanya, berusaha menenangkan situasi dengan tawaran yang tampaknya ringan.

“Kau menikahiku demi kekayaan keluarga Barata dan untuk mengalahkan Agam, bukan?” Lily bertanya dengan tajam, menyoroti motif sebenarnya.

Bagas mengangguk santai, tanpa merasa perlu menyembunyikan niatnya. “Benar. Aku tidak menutup-nutupi apa pun lagi,” ujarnya.

Lily tertawa sinis dan menjelaskan bahwa jika saham Barata berpindah tangan kepada Bagas dengan sukarela suatu hari nanti, Bagas tidak akan bisa mengalahkan Agam. “Jadi, pikirkan baik-baik. Lebih baik kau mundur dari pertarungan ini. Kau tidak akan pernah bisa menang melawan Agam,” ucapnya, kemudian berbalik dan meninggalkan Bagas.

Bagas menggenggam tangannya dengan amarah, mengeraskan suaranya sedikit. “Sebelum identitasku yang sebenarnya terbongkar, aku akan merebut semua yang Agam miliki,” gumamnya dengan penuh tekad.

----------------

Malam hari di Restauran Miyami, suasana terasa hangat meskipun restoran tersebut sederhana. Agam yakin bahwa Lily akan sangat menyukai tempat ini. Dengan nyonya Helsi yang dijaga oleh Daren, Agam memiliki kesempatan untuk mengajak Lily makan malam.

Lily selalu menjadi pusat perhatian setiap kali dia memasuki suatu tempat, dengan aura dan kecantikannya yang menonjol. Gaun yang dikenakannya tampak elegan, sangat serasi dengan kulitnya yang putih bersih.

Agam menatap tajam semua pria yang menatap Lily, rasa cemburu dan marah membara di dalam dirinya. Rasanya, dia ingin menyingkirkan semua pria yang berani melirik Lily.

“Ada apa?” tanya Lily, melihat wajah Agam yang tampak kusam dan tidak nyaman.

“Hmm, aku tidak ingin mereka melihatmu,” jawab Agam, menunjukkan betapa cemburunya dia terhadap perhatian yang diterima Lily.

“Kenapa? Mereka punya mata,” balas Lily dengan nada acuh tak acuh.

Agam terdiam, lalu segera menarik kursi untuk Lily, menegaskan kepada semua orang di sekitar bahwa gadis cantik itu adalah miliknya. Mereka berbincang santai, membahas makanan yang tersaji dan sedikit memuji hidangan. Namun, pikiran Lily tiba-tiba melayang pada kejadian sebelumnya dengan Bagas yang meminta menikah dengannya. Agam tersendak mendengar hal itu.

“Hok... Hok... Hok...” Agam terbatuk dan Lily segera menyodorkan segelas minuman untuk menetralkan perasaannya.

“Berani sekali dia melakukannya,” ucap Agam dengan nada marah, merasa tertipu dan tertekan.

Lily hanya tersenyum mendengar kemarahan Agam, dengan wajahnya yang datar. “Dulu, aku pikir dia adalah pria lembut, ternyata sebaliknya. Dia adalah orang paling jahat di keluargamu,” ucap Lily, mengungkapkan ketidakpercayaannya.

Lily merasa Bagas mungkin memiliki gangguan jiwa yang sulit dijelaskan. Agam terdiam, mencerna ucapan Lily. Dia memegang tangan Lily, menebak bahwa setelah pernyataan Bagas, kemungkinan dia mengancam Lily dan berusaha menghalangi pengeluaran bukti terkait kasus nenek Ina dan nyonya Helsi—terutama mencegah nyonya Helsi untuk sadar.

Lily mengangguk, menunjukkan persetujuannya.

Agam kembali terdiam dan sedikit menunduk. Melihat itu, Lily mengeratkan genggaman tangan Agam dan memintanya untuk bersabar. Dia yakin ibunya akan segera sadar. “Kau hanya perlu teliti memeriksa obatnya. Setelah itu, semuanya akan baik-baik saja setelah kita menemukan dokter yang hebat,” kata Lily dengan keyakinan.

“Lily, kenapa kau masih baik setelah ibuku sering jahat kepadamu dan melukai hatimu?” tanya Agam dengan rasa ingin tahu.

Lily menjelaskan, meskipun nyonya Helsi sering berlaku buruk, dia tetap ibu Agam. Dia tidak ingin Agam merasakan kehilangan orang yang sangat dicintainya di dunia ini. “Seorang ibu tidak bisa tergantikan posisinya di hati seorang anak,” ujar Lily dengan penuh empati.

Agam mengangguk, merasa terharu. Dia pindah duduk di sebelah Lily dan sangat dekat, memegang pundaknya. Mereka saling menatap dalam-dalam, merasakan kedekatan emosional yang mendalam.

“Lily, aku ingin mengatakan sesuatu,” ucap Agam, penuh harapan.

Lily mengangguk pelan, menunggu dengan sabar.

“Setelah semua masalah ini selesai, maukah kau menjadi pacarku?” tanya Agam, mengungkapkan perasaannya dengan tulus.