NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HARI BARU

SETELAH malam itu berakhir mereka tahu bahwa hari mereka tidak akan lagi sama.

Dengan cepat kabar berakhirnya hubungan Yesha dan Nara tersebar ke seantero sekolah hanya sehari setelah itu. Entah siapa yang menyebarkannya. Seperti api yang disulut, merambat dari satu orang, jadi dua, lima, sepuluh, terus tersebar dari mulut ke mulut.

Nara masih ingat betul saat pertama kali ia masuk sekolah setelah hari itu. Ia harus melewati lapangan, lorong, tangga, kantin, kemanapun dibawah tatapan dari para siswa yang menatap penuh tanya kepadanya. Bisik bisik selalu terdengar membuat telinganya rasanya panas, ingin segera hari ini berakhir.

"Eh couple YeshaNara putus?"

"Demi apa? Kata siapa anjir?"

"Iya, putus, belum lama kayaknya."

"Eh tapi kenapa? Kok bisa?"

"Kenapa ya best couple Artaca tuh jarang banget bertahan lama?"

"Tapi bagus dong gak akan ada yang cemburu kalau kita deketin Yesha lagi."

"Menurut lo siapa yang mutusin?"

"Yesha gak sih? Masa Nara? Gak mungkin dia nyia nyiain cowok kayak Yesha."

"Bisa jadi, kan? Dulu Gissele juga, kan—"

"Heh! Ada orangnya!"

Nara kira dirinyalah yang membuat semua bisikan itu berhenti saat pertama kali melintas di lorong lantai tiga. Tapi ternyata bukan.

Adalah Yesha. Dibelakangnya, menatap penuh satu lorong dengan dingin. Untuk kali pertama Yesha tidak suka jadi pusat perhatian, ia tidak suka mendengar bisikan bisikan itu. "Gue sama Nara putus. And yeah, siapapun yang mutusin duluan bukan urusan kalian. Ada yang mau nanya lagi? Kalau ada tanya gue aja, jangan dia."

Hening. Tidak ada yang berani bersuara lagi.

Nara menatap Yesha. Bukankah dulu Yesha bilang Nara akan terbiasa dengan semua ini? Sekarang saat Nara sudah mulai terbiasa menjadi bahan perbincangan, justru Yesha-lah yang terlihat risi dengan semua itu.

Seorang siswi memegang lengan Nara. "Beneran putus, Ra?"

"Gue bilang nanya ke gue aja. Lo nggak denger?" Seru Yesha pada siswi itu, membuatnya segera menarik tangan dengan takut takut. Yesha terlihat serius sekali.

Nara tersenyum segaris nyaris tidak terlihat. "Thanks ya, gue duluan." Katanya pada Yesha.

Yesha mengangguk, membiarkan Nara berlalu lebih dulu menuju kelas.

"Bilangin ke temen temen kalian, gue ngelarang siapapun tanpa kecuali buat nanya tentang ini ke Nara. Dan juga, jangan pernah ada yang ngebahas tentang gue didepan dia. Sengaja ataupun nggak. Kalau sampai gue tahu ada yang ngelakuin itu, kalian berurusan sama gue." Tegas Yesha pada semua orang.

Diam diam Nara mendengar ucapan Yesha dari balik belokan lorong. Gadis itu terdiam lama, tanpa sadar meremas ujung roknya. Ia tahu Yesha selalu mengenalnya dengan baik. Berstatus atau tidak, Nara tahu Yesha tetap peduli padanya.

...***...

Hari hari berlalu.

Pertandingan basket antar kelas dihari sabtu.

Tribun hingga ke sisi lapangan basket penuh oleh penonton. Nara berdiri di sisi kanan lapangan bersama Rania dan Laudy, menonton pertandingan XII Musik 3—kelas Nara—melawan kelas XII Seni 1. Sejujurnya Nara malas, ia lebih baik berdiam diri di kantin, diruang musik, dikelas, atau dimanalah yang penting tidak ditengah kerumunan yang penuh dan berisik.

Tapi, alasan yang tetap membuatnya berdiri dibarisan paling depan ini adalah seorang lelaki dengan kaus basket bernomor punggung tujuh ditengah lapangan. Keringat bercucuran membasahi kaus basketnya, rambutnya berantakan, tapi justru semakin menambah kadar ketampanannya. Nara tidak tahu dia cukup jago bermain basket. Alasan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Nara bertahan nyaris dua jam ditengah kerumunan penonton.

"YESHAA!"

"AAA YESHA SEMANGAT!"

Begitulah. Hampir dari ujung ke ujung gimnasium penuh oleh murid perempuan yang berteriak menyemangatinya. Sorak sorakan semakin kencang saat Yesha menyentuh bola, men-drible bola dengan kedua tangannya seperti seorang profesional. Berkelit kesana kemari menghindari lawan, terus merangsek maju menuju ring. Dua orang mengadangnya, Yesha memainkan bola untuk mengecoh lawan, melangkah ke kiri, tapi itu hanya tipuan. Tangan Yesha mengoper bola pada Ryan yang berdiri di sisi sebelah kanannya.

Tepat sasaran. Ryan membawa bola menuju ring. Pertahanan lawan kosong. Shooting, bola masuk tepat pada ring lawan, menambah poin untuk kelas mereka. Skor sementara 40-16. Yesha dan kawan kawannya unggul banyak.

Sorak sorakan terdengar semakin berisik.

"RYAANN!"

"YESHAAA!"

Nara bertepuk tangan. Rania dan Laudy bahkan sudah mengangkat balon tepuk mereka tinggi tinggi. Semangat penuh.

Permainan berlanjut. Bola kembali dikuasai kelas lawan. Sepertinya mereka meniru taktik tipuan yang sejak awal diterapkan Yesha. Tapi melawan kelas yang sudah menggunakan trik itu sejak lama, Yesha dan kawan kawannya dengan mudah melakukan tipuan balik. Lebih dari mereka. Dalam sepuluh menit, bola kembali dikuasai oleh Yesha dan kawan kawannya.

Tidak terima pergerakan mereka dibaca dengan mudah. Dan jangan lupakan skor yang tertinggal jauh, ide ide licik mulai melintas dikepala lawan.

Ryan men-drible bola, merangsek maju, meneriaki Yesha dan satu dua teman lainnya untuk berjaga di sekitar ring lawan. Ia bersiap mengoper bola, saat salah seorang dari tim lawan tiba tiba menyenggol Ryan dengan sengaja, membuat tubuhnya yang jauh lebih kecil bergulingan di lantai. Peluit dibunyikan sesaat.

"WOY COWOK GUE! PELANGGARAN ITU!" Laudy berteriak marah disamping lapangan. Hampir protes langsung ketengah lapangan sana.

"CURANG! CURANG!" Teriak belasan murid lain.

Pertandingan kembali berlanjut. Ryan bangkit dibantu seorang temannya, berusaha mengabaikan kejadian barusan dan kembali mencari bola yang sudah dikuasai lawan.

Yesha terlihat kesal. Ia mengejar salah seorang lawan yang tengah berusaha menembus pertahanan tim Yesha. Lelaki itu mengerahkan semua kemampuannya, berusaha kembali merebut bola. Dan pada dasarnya memang kemampuannya lebih unggul dibanding lawan, Yesha berhasil mengambil kembali bola dalam waktu kurang dari lima menit. Ia berbalik arah menuju ring lawan, maju secepat mungkin.

"Yes!" Nara bersorak diam diam. Semakin antusias menonton pertandingan.

Penonton menaikkan volume sorakan melihat Yesha berkelit lihai dengan bola ditangannya. Ia berkelit melewati dua pemain lawan, terus merangsek maju bersama tiga orang lainnya. Telinga Nara rasanya pekak mendengar sorakan yang semakin lama semakin kencang.

Kelincahan Yesha menguntungkannya. Dengan posisi strategis untuk menembak dua poin langsung kedalam ring, Yesha tidak menyia nyiakan kesempatan itu. Ia loncat dan menembak dengan dramatis. Bola melenting menuju ring siap menambah skor lagi.

Tapi, entah datang darimana. Seorang pemain tim lawan mencegat gerakan bola itu saat masih berada di udara. Bola basket yang mengenai tangannya memantul, meleset keluar lapangan dengan kencang.

BUGH!

Bola basket itu tepat mengenai kepala seseorang di sisi kanan lapangan. Kencang. Tubuhnya terjatuh ke lantai gimnasium. Sorak sorakan penonton tersumpal, digantikan seru seruan kaget sekaligus cemas.

"WOY! MAIN YANG BENER, BANGSAT!" Yesha berteriak, menarik kaus pemain lawan yang telah membuat bola melenceng. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, ia marah sekali—tidak, Yesha murka. "BERANTEM LO SINI!"

Wasit menghampiri Yesha, berusaha menengahi pertengkaran.

"G-gue gak sengaja, Sha, s-sorry—"

"CEWEK GUE KENA, SIALAN!"

"Hei, sudah, sudah!" Wasit menarik Yesha, berusaha memisahkannya dari lawan. "Dia, kan, tidak sengaja, Yesha, kamu gak usah berlebihan!"

Yesha menarik lengannya kasar, mengabaikan wasit dan lawannya, segera berlari ke sisi lapangan dengan panik dan cemas yang bercampur memenuhi setiap sudut wajahnya.

Dengan kepala yang berputar sekaligus sakit dan tubuh yang dipegangi oleh Rania dan Laudy, dari kejauhan, diantara pandangannya yang berputar, Nara melihat seseorang dengan kaus basket mendekat, duduk jongkok didepan Nara, mengecek kondisinya dengan panik.

"Hei, Kei, are you okay? Mana yang sakit? Tadi apanya yang kena? Kepalanya ya? Ck, sorry, Dy, biar gue bawa ke UKS."

Ditengah sakitnya Nara tersenyum dalam hati. Itu suara Yesha. Lelaki itu terdengar panik sekaligus cemas. Tapi Nara tidak sanggup mengatakan bahwa ia baik baik saja. Kepalanya terasa berputar. Lalu Nara merasakan tubuhnya diangkat oleh seseorang, sambil terus menanyainya apakah dia baik baik saja atau tidak.

Setelah itu semuanya berubah gelap.

...***...

Nara termenung di atas kasurnya. Mengingat kejadian siang tadi.

Kata Laudy dan Rania, Yesha yang membawa dan menungguinya di UKS hingga Nara sadar. Tapi saat membuka mata, Nara tidak melihat Yesha ada disekitarnya. Katanya, Yesha pergi begitu sadar Nara akan segera siuman. Lelaki itu tidak mau Nara melihatnya panik dan cemas. Tapi setidaknya Nara tahu bahwa dia masih peduli. Entah itu kabar baik atau kabar buruk. Bagaimana Nara akan belajar melupakannya kalau Yesha masih berlaku seperti itu pada Nara?

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Jean. Nara membacanya malas malasan, sudah tahu apa yang hendak Jean sampaikan. Lelaki itu sudah rutin menanyakan hal ini hampir setiap hari semenjak tahu kabar bahwa Nara dan Yesha putus.

Nara menghela napas. Dasar keras kepala. Ia mengetik balasan dengan cepat.

Nara terdiam lama. Jean sungguhan menyukainya? Bagaimana bisa? Nara tahu tidak ada yang bisa mengatur mau jatuh cinta pada siapa, kapan, atau dimana. Tapi diantara sekian banyak manusia yang ada didunia ini, kenapa harus Jean? Sahabat Yesha?

Dan Yesha. Nara lupa belum berterima kasih pada lelaki itu soal kejadian tadi. Haruskah Nara berterima kasih sekarang? Atau nanti saja kalau bertemu?

"Ra! Turun, Nak! Makan malamnya udah siap!" Suara Varida terdengar sampai ke kamar Nara.

Baiklah. Nanti saja kalau sempat. Atau Nara bisa menyampaikan terima kasih itu lewat siapa saja supaya tidak usah ia sampaikan langsung. Ia menoleh pada sebuah boneka besar yang masih selalu ada di atas kasurnya, memeluk boneka yang sudah diberi kalung bernama 'Kea' sejak lama itu.

"Kea, bilangin ke Yesha makasih banyak, makasih udah khawatir dan nolong aku tadi..." Nara menjeda ucapannya, menghela napas, menatap boneka itu dengan sedih. Ingatan saat Yesha memberikannya kala itu melintas. Nara tidak akan bisa melupakannya selama Kea masih ada bersamanya disini.

"Bilangin juga aku kangen dia...Yesha lagi apa ya, Kea? Dia udah makan malam belum ya?" Nara menyeka pipi. Menghela napas. Astaga, tentang Yesha kenapa Nara cengeng sekali?

...***...

Suasana tidak jauh berbeda di balkon kamar Yesha.

Ia menatap tanpa minat sebuah lembaran yang disodorkan Edwin di atas meja. Tepatnya sebuah lembar panggilan belajar dari sebuah universitas di Kanada. Setelah Edwin ternyata diam diam mengirimkan semua karya dan prestasi Yesha, juga melalui koneksi temannya yang berada disana, surat panggilan untuk Yesha ini akhirnya tiba.

"Kenapa kamu kelihatannya tidak senang begitu?" Tanya Edwin melihat ekspresi Yesha. "Kamu dengar, kan, saran ayah? Bukan hanya ada jurusan musik disana, Yesha. Kalau kamu mau, ayah bisa ikut sertakan Nara supaya dia juga bisa kuliah disana, menemani kamu. Dulu ayah pernah tawarkan dia beasiswa, ayah masih ingat."

Jika situasinya berbeda mungkin Yesha sudah bersorak senang, tertawa lebar, dan segera menghubungi Nara untuk menyampaikan kabar luar biasa ini. Tapi sekarang? Hati dan pikiran Yesha beradu perang antara mengambil panggilan belajar itu atau tidak. Bukankah itu berarti Yesha harus pergi meninggalkan negara ini selama bertahun tahun? Bukan masalah kalau Nara ikut bersamanya. Tapi tanpa gadis itu? Yesha yakin sekali dia tidak akan mau ikut.

"Yesha udah putus, Yah." Kata Yesha lesu.

"Putus? Putus apa?"

Yesha menghela napas. "Putus sama Nara. Yesha udah putus sama Nara, gak pacaran lagi." Ulangnya.

Edwin terdiam sesaat. "Tapi mungkin melihat beasiswa ini dia bisa jadi mau ikut, kamu bisa ajak dia balikan, kan, kalau gitu?"

"Gak segampang itu, Yah," Yesha menggeleng, sedikit tersinggung. "Nara bukan cewek kayak gitu."

"Maksud ayah—"

"Biar nanti Yesha pikirin lagi baik baik. Lagipula kuliahnya masih lama, kan? Yesha rasa masih bisa dipikir nanti apa Yesha mau ngambil ini atau nggak. Yesha nggak mau buru buru." Kata Yesha final.

Mendengar keputusan putra sulungnya, Edwin menghela napas. Baiklah, ia tidak akan memaksa Yesha memutuskan saat ini juga. Lagipula surat ini belum ada satu jam tiba dirumah mereka. "Yasudah kalau gitu, kamu pikirkan dulu baik baik, nanti kasih tahu ayah kalau kamu sudah ada keputusan."

Yesha mengangguk.

Edwin beranjak dari bangku balkon, membawa pergi surat panggilan itu keluar kamar Yesha.

Sepeninggal Edwin, Yesha berdiri di ujung balkon, mencengkram pembatas kuat kuat. Kenapa memutuskan sesuatu dalam hidupnya menjadi sesulit ini sekarang? Tapi meninggalkan negara ini juga berarti meninggalkan Nara. Dengan kata lain Yesha tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Tidak melihat gadis itu sehari saja rasanya bisa membuat Yesha gila. Akan seperti apa keadaan Yesha jika harus terpisah bertahun tahun dengan jarak sejauh itu dengan Nara?

Juga Gissele. Dia bukan sesuatu yang bisa Yesha tinggalkan begitu saja. Jika tahu Yesha akan pergi kurang dari setahun lagi, akan sesedih apa gadis itu? Yesha tidak mau memperburuk kondisinya. Yesha tidak mau membuatnya semakin sakit.

"Kenapa harus putus kalau masih saling peduli?"

Tanpa menoleh pun Yesha tahu bahwa itu suara Zara. Gadis itu masih suka keluar masuk kamar Yesha semaunya walaupun sudah dilarang ribuan kali.

"Aku liat tadi pas Nara gak sengaja kena bola basket Kak Sha sepanik apa. Dia juga nyariin Kak Sha pas keluar dari UKS." Zara berjalan mendekat, berdiri tiga langkah disamping Yesha.

"Bukannya itu mau lo?" Yesha terkekeh dingin. "Gue udah putus sama Nara. Puas lo? Ngerasa menang sekarang?"

Zara diam. Matanya ikut memandang ke kejauhan sama seperti yang Yesha lakukan. "Kak Sha, kita itu kembar. Identik dengan kesamaan, kan? Tapi kenapa kayaknya kita selalu beda? Dari cara kita hidup, kesukaan kita, sifat kita, bahkan dari cara kita mencintai sesuatu."

"Karena gue normal." Sahut Yesha cepat.

"Iya, aku tahu," Zara tersenyum pahit, masih sulit baginya menerima kenyataan bahwa dirinya dan Yesha tidak bisa bersatu. "Sesuka itu ya sama Nara?"

Yesha mengangguk, menatap gemintang. "Gue gak pernah ngerasa sesuka ini sama seseorang. More than everyone knows. Dia jatuh cinta terindah buat gue."

"Tapi tetep aja ngorbanin masa depan demi dia bukan sesuatu yang masuk akal, Kak Sha." Zara menggeleng.

Yesha tertegun. Itu benar. Tapi Zara tahu apa?

"Kak Sha," Zara menatap Yesha dari samping. Wajah lelaki itu, saat melihat Yesha Zara seperti melihat dirinya sendiri dengan versi yang lain. Yesha, kakak kembarnya yang selalu mengagumkan. Lancang sekali Zara menaruh hati padanya. "Diantara rasa benci itu sekarang, apa masih ada rasa sayang buat aku sebagai adik kembar kamu?"

"Lo kapan berangkat ke Australia?" Yesha justru bertanya lain.

Zara sedikit terhenyak. "Minggu depan."

Yesha menatap Zara sekilas, gadis itu nyaris menangis. Memang dasarnya dia cengeng dan manja. Yesha tahu itu sejak mereka kecil. "Hati hati. Belajar yang bener disana, jangan pikirin gue, sibuk aja urusin hidup lo. Jangan lupa pamit dan minta maaf sama bunda, minta maaf juga sama diri lo sendiri, Zar. Gue pribadi, dan mungkin Nara bahkan Gissele akan mencoba buat maafin lo. Semua juga akan mengecewakan pada waktunya, Zar. Lo salah bukan karena lo jahat, tapi karena lo juga manusia."

Zara menunduk, menyeka pipi, lantas kembali menatap Yesha. "Kenapa bilang gitu? Kenapa mau coba maafin aku?"

Yesha menatap Zara. "Karena gue kakak lo. Seburuk apapun lo tetep adik gue."

Zara tersenyum, sekarang ia tahu kenapa tuhan membuat Yesha lahir sepuluh menit lebih awal darinya.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!