Khalisa yang sudah remaja tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik. Setiap hari ada saja yang membuat suasana di rumah itu menjadi ramai. Tentu saja semua itu karena ulah Dhafi yang selalu mengganggu adiknya, dan Daffa yang akan selalu membela Khalisa. Akan tetapi, walaupun begitu Khalisa menyayangi mereka berdua.
Seiring mereka tumbuh dewasa bersama, salah satu dari si kembar menyukai Khalisa, bukan sebagai adik, melainkan sebagai wanita. Namun Ia berusaha untuk menutupi perasaannya itu, karena ia anggap perasaannya tentu saja salah.
Hingga seorang wanita muslimah bercadar hadir di antara mereka, dengan kelembutan dan kedewasaannya membuat si kembar jatuh hati kepada wanita tersebut. Tentu saja Khalisa cemburu kepada wanita itu. Karena Abang yang selama ini selalu bersamanya malah terlihat menyukai gadis lain.
Ingin tahu bagaimana kelanjutannya? yuk nantikan bab selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Ayah Taqa
Ayah Taqa terbangun dari tidurnya. Ia menggenggam tangan mungil sang putri yang tengah memegang tangannya saat ayah Taqa tertidur. Ayah Taqa tersenyum lembut menatap putrinya itu.
"Maaf ayah, ayah terbangun karena Khalisa ya. Apa yang sakit ayah?"
"Tidak nak, memang ayah merasa sudah cukup untuk berisitirahat. Ayah hanya kelelahan saja."
Khalisa memijat tangan sang ayah. Ayah Taqa menikmati pijatan ringan dari tangan mungil sang putri. Ia bersyukur karena memiliki putri yang begitu perhatian kepada dirinya. Tak hanya Khalisa, sikembar juga anak-anak yang perhatian kepada ke dua orang tua. Tak lama Dhafi juga mendatangi kamar sang ayah, sedangkan Daffa membantu bunda Balqis menyiapkan untuk berbuka puasa.
"Assalamu'alaikum, ayah sudah bangun? bagaimana keadaan ayah sekarang?"
"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah baik nak. Senangnya jadi ayah, mendapat perhatian dari anak-anak ayah yang tampan dan cantik ini."
Khalisa dan Dhafi tersenyum mendengar perkataan ayahnya. Walaupun ayahnya kurang sehat, tetap saja ayahnya selalu bersikap seperti biasanya. Ayah Taqa memang tidak ingin anak-anak dan istrinya terlalu mengkhawatirkan dirinya.
Ayah Taqa bangun dari tidurnya dan mendudukkan dirinya di bantu Dhafi untuk bersandar di ranjang berukuran besar itu.
"Ayah mau kemana?"
"Ayah belum shalat ashar nak."
"Ayo ayah, Dhafi bantu ke kamar mandi."
Ayah Taqa malah terkekeh kala mendapat perhatian dari salah satu putranya itu. Ia menepuk pelan bahu Dhafi. Dhafi malah nyengir kuda karena mendapat tatapan senang dari sang ayah karena sikap tulusnya.
Khalisa membiarkan ayahnya melaksanakan kewajibannya. Ia pamit keluar menuju di mana bunda dan Daffa berada. Ternyata Daffa dan bunda Balqis tengah mengobrol di meja makan setelah menyelesaikan semua makanan untuk berbuka puasa. Terlihat tawa bahagia di wajah ibu dan anak itu.
"Seru sekali sepertinya obrolan bunda dan Abang. Khalisa bisa mendengar tawa bunda dan Abang dari atas."
"Ini loh sayang, Abang kamu menceritakan saat mereka mengantarkan kamu ke kampus pertama kali bersama Dhafi. Mereka sampai di kerumuni para mahasiswi. Bunda tidak menyangka ternyata anak-anak bunda sangat populer. Apa jangan-jangan adek juga banyak di kagumi para kaum Adam?"
"Hais, bunda ada-ada saja pertanyaannya. Wwuuaahhh... banyak banget makanannya Bun. Bunda memang terbaik deh."
Khalisa memeluk bundanya yang ada di sampingnya. Bunda Balqis tersenyum dan membalas pelukan sang putri. Daffa menatap dalam dua wanita yang ada di hadapannya. Sungguh ia beruntung menjadi bagian dari keluarganya ini. Andaikan ia dan Dhafi tidak menjadi anak-anak dari ayah Taqa dan bunda Balqis, entah ia bisa merasakan kebahagiaan seperti saat ini.
"Jadi bunda saja yang di puji. Abangkan juga ikut membantu bunda memasak dek."
Daffa pura-pura cemberut. Ia memasang tampang sedih karena tidak di puji oleh sang adik. Khalisa terkekeh geli. Sejak kapan Abangnya yang satu ini seperti sekarang. Biasanya Dhafi yang dramatis.
"Tentu saja Abang juga terbaik. Adek sayang abang."
"Adeknya abang ini memang pandai kalau ambil hati, hem."
Khalisa kembali terkekeh. Bunda Balqis menatap ke dua anaknya. Apa mereka akan selalu seperti ini? Bunda Balqis tidak ingin membuat suasana hatinya yang tengah baik menjadi buruk karena pikirannya sendiri.
"Oh iya, bagaimana keadaan ayah dek?"
"Alhamdulillah ayah sudah mendingan. Ayah di temani bang Dhafi di kamar. Adek ke bawah karena ayah mau shalat katanya. Bun, apa adek kuliah di sini saja ya. Adek bisa membatalkan kuliah adek di Jakarta. Toh baru semester awal, adek siap belajar bisnis untuk membantu ayah. Adek tidak tega melihat ayah sampai sakit karena kelelahan mengurus bisnis keluarga kita."
Bunda Balqis dan Daffa terkejut dan menatap Khalisa dengan perasaan yang entah. Mana mungkin mereka membiarkan Khalisa menggantikan ayahnya di sini. Sedangkan mereka tahu jika Khalisa memiliki cita-cita seperti sang ayah. Menjadi seorang pendakwah yang membawa kebaikan untuk umat.
Sebenarnya tidak masalah jika Khalisa belajar bisnis seperti ke dua abangnya. Namun mereka yakin Khalisa akan melepaskan cita-citanya. Dan mereka tidak akan membiarkan Khalisa melepaskan cita-citanya begitu saja.
"Adek ngomong apa sih? Jangan pikirkan yang di sini, tugas adek itu belajar. Adek baru saja masuk kuliah, jangan berfikiran aneh-aneh deh."
Khalisa hanya menunduk sedih. Ia tahu ibu dan abangnya tidak ingin melibatkan dirinya dalam mengemban tanggung jawab besar itu. Tapi ia tidak ingin melihat orang tuanya sampai kelelahan dan jatuh sakit. Walaupun bunda Balqis juga ikut membantu mengurus bisnis keluarga bersama ayah Taqa. Tentu saja banyak membantu mengurangi beban ayah Taqa.
"Tapi bun, bang!"
"No adek, tugas adek itu belajar. Selesaikan kuliah adek tepat waktu seperti keinginan adek. Raih cita-cita adek sebagai seorang pendakwah. Jika adek mau belajar bisnis tidak sekarang. Adek paham kan perkataan Abang?"
"Terimakasih sudah memikirkan adek. Adek janji akan kuliah sungguh-sungguh dan menyelesaikan kuliah tepat waktu."
Bunda Balqis mengelus kepala sang putri. Ia bangga putrinya tumbuh semakin dewasa. Di balik semua yang menimpa kehidupan mereka terdahulu, namun Allah menyiapkan semuanya untuk mereka. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya sudah ada dalam porsinya masing-masing.
Suara beduk terdengar nyaring, menandakan waktu berbuka puasa telah tiba. Ayah Taqa dan Dhafi sudah bergabung di meja makan. Bunda Balqis langsung berdiri membantu suaminya duduk di kursinya. Mereka berbuka puasa setelah menggumamkan do'a.
Buka puasa kali ini sudah sangat lama tidak mereka rasakan. Karena ketiga anak mereka berada di Jakarta. Biasanya bunda Balqis dan ayah Taqa hanya berbuka berdua saja, kali ini mereka kembali bisa merasakan berbuka dengan anggota keluarga lengkap.
"Ayah merasa langsung sehat karena bisa berkumpul dengan anak-anak ayah. Ayah harap lebaran nanti kita akan tetap berkumpul seperti ini ya nak."
"Tentu saja ayah. Kami pasti akan pulang sebelum malam takbir. Dan kita akan merayakan hari raya idul fitri bersama-sama seperti tahun-tahun sebelumnya."
Ayah Taqa menganggukkan kepalanya. Walaupun ayah Taqa kurang sehat, seharian ia mampu menjalankan ibadah puasanya hingga berbuka. Walaupun Bunda Balqis meminta suaminya itu untuk membatalkan puasanya, namun ayah Taqa merasa masih sanggup hingga menjelang berbuka.
"Oh iya nak, sebenarnya ayah punya permintaan kepada kalian."
"Apa itu ayah, katakanlah ayah."
"Sebenarnya ayah sudah membicarakannya dengan Bunda kalian. Biar bunda kalian saja yang menjelaskan nantinya. Permintaan ayah ini boleh kalian tolak jika kalian merasa keberatan. Tapi tidak sekarang untuk di katakan. Kalian masih sabar bukan?"
Ketiga anak-anak ayah Taqa dan Bunda Balqis saling bertatapan satu sama lain. Sebenarnya apa permintaan ayah mereka. Kenapa tidak di katakan sekarang saja? namun mereka menghargai keputusan ayah mereka.
...💜💜°°°💜💜...
...To Be Continued ...
dan lebih tua yg mana?