"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Adaptasi dari cerpen Aku Sudah Memaafkan, ©2022, Yu Aotian
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Masih Tak Percaya
Aku membuka mata. Ini adalah ruang kamar kosku. Entah sudah berapa kalinya aku tertidur dan terbangun dalam posisi yang sama. Aku berharap yang kualami kemarin hanyalah sebuah mimpi buruk. Jikalau bukan mimpi, semoga hanya sebuah masalah kecil yang mewarnai hubungan kami. Mungkin saja kemarin dia sedang stress dengan pekerjaannya.
Semarah-marahnya aku padanya kemarin, aku masih berpikir dia pasti akan berbalik padaku lagi dan aku akan menerimanya kembali. Sebab, kami juga tak pernah putus sekali pun selama empat tahun ini. Toh pasangan lain kerap mengalami putus-nyambung. Dia tak mungkin memutuskan aku begitu saja.
Aku memandang ponsel yang kuletakkan begitu saja. Sedari tadi layarnya gelap. Tak ada panggilan maupun pemberitahuan pesan masuk.
Ayo telepon aku! Telepon aku dan katakan maaf. Katakan kalau kau tidak benar-benar serius mengakhiri hubungan ini.
Tak sabar, aku mengambil ponsel itu. Aku mencoba mengintip status unggahannya di salah satu aplikasi chat. Tunggu, kenapa profilnya tak terpasang? Jangan bilang dia sudah memblokir kontakku!
Aku mencoba menelepon nomor ponselnya. Tak terhubung. Mengirim pesan berkali-kali pun tak terkirim. Aku lantas membuka aplikasi sosial media miliknya. Penelusuran namanya tidak ditemukan. Dia benar-benar memblokir semua akses komunikasi kami. Tidak mungkin!
Mataku kembali berkabut. Dia benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Kenapa? Kesalahan besar apa yang aku lakukan sampai dia harus sejauh ini? Ini masih sulit untuk kumengerti. Alasan yang ia berikan belum bisa kuterima.
"Gurita! Gurita!" Teriakan berisik seorang pria di luar sana mendadak terdengar diikuti suara gedoran pintu yang berulang-ulang.
Seketika, aku melebarkan mata.
Arai! Ya, Arai pasti tahu segalanya. Dia orang terdekat kak Evan. Dia pasti tahu alasan sebenarnya yang membuat kak Evan mengakhiri hubungan. Aku lantas segera turun dari tempat tidur dan membuka pintu.
"Arai!" Aku menemuinya dengan mata yang bengkak di mana masih ada sisa-sisa genangan air mata di sana.
"Kau baik-baik saja? Kenapa ndak ke kampus? Sakit?" Arai menatapku dengan penuh perhatian.
Masih mengatupkan bibir, aku memandang sebungkus makanan yang dibawa Arai.
Arai berkata kembali, "Ah, tadi bang Evan SMS aku minta supaya aku jenguk kamu ke sini. Dia juga suruh aku bawain kamu makanan."
Dia meminta Arai menengokku dan membawakan makanan. Bukankah artinya masih ada secuil rasa kekhawatirannya padaku?
Lelehan bening kembali lolos dari mataku. "Arai tolong bantu aku. Kamu pasti bisa bantu aku."
Arai tampak kebingungan melihatku yang mulai berderai.
"K–kau kenapa?"
"Kamu pasti tahu kak Evan putusin aku. Aku gak mau. Aku gak mau putus. Aku gak mau hubunganku ma dia berakhir. Please ... bantu aku ngomong ke dia!"
Arai terbelalak kaget. "Putus? Kamu sama bang Evan putus?"
"Kamu jangan pura-pura gak tahu. Aku tahu kamu selalu dukung dia. Tapi, please ... kali ini aja tolong bantu aku!"
"Sumpah! Aku ndak tahu sama sekali! Ini aja aku kaget dengar dari kau. Bang Evan sama sekali ndak ngomong soal kalian putus."
Aku menatap lamat wajahnya, menelisik kejujuran kejujuran dari bola matanya.
"Kau tahu sendiri, kan, beberapa bulan ini aku dan bang Evan jarang ketemu. Kami sama-sama sibuk. Belum lagi selama nyusun skripsi, aku lebih sering tidur di markas himpunan biar bisa nge-print gratis."
Ya, apa yang dikatakan Arai benar. Itulah kenapa aku masih berpikir positif saat kak Evan jarang menemuiku. Pada dasarnya kami bertiga memang telah terpencar selama beberapa beberapa bulan terakhir karena kesibukan masing-masing.
"Kalo gitu bantu aku temui dia sekarang. Kalo perlu bawa aku ke rumahnya. Aku mau ngomong ma dia. Paling enggak aku harus tahu alasan jelas dia mau mengakhiri hubungan ini." Suaraku bergetar, bercampur dengan tangisan. Kedua tanganku kini berpegangan di lengannya, seakan sedang melakukan permohonan.
"Tenang dulu!" Arai berusaha menenangkan aku dengan mimik wajah kebingungan.
Karena aku terus mendesaknya, Arai pun mau memenuhi permintaanku. Dengan menaiki motor matic-nya, ia membawaku ke rumah kak Evan yang belum pernah sekalipun kulihat. Seperti yang pernah dikatakan Arai sebelumnya, rumah kak Evan sungguh besar dan luas. Dikelilingi pagar tembok yang tertutup, hanya pilar-pilar yang menjulang tinggi bak istana yang dapat terlihat dari luar.
Arai menghentikan motornya tepat di samping pagar. Terdapat dua pagar yang saling bersebelahan, yaitu pagar utama dan pagar kecil. Di pagar kecil itu terdapat lubang kotak yang menampakkan isi halaman. Pekarangan rumahnya sungguh luas.
"Ayo masuk!"
Bukannya mengikuti langkah Arai, aku justru terpaku seolah kakiku tertancap. "Aku nunggu di sini aja. Suruh dia keluar nemuin aku di sini," ucapku sambil kembali memandang rumah megah itu dari lubang kotak.
"Baiklah. Semoga bang Evan ada di rumah."
Di waktu yang sama, aku melihat kak Evan yang baru saja keluar dari rumahnya, menuruni anak tangga teras menuju tempat parkir mobil.
"Arai, itu kak Evan!" Aku menepuk lengan Arai dengan cepat sambil mendekatkan wajahku ke lubang itu agar bisa melihatnya dengan jelas.
Sunggingan di bibirku memudar secara bertahap, saat seorang perempuan menyusulnya dari arah belakang dan langsung menggandeng tangannya. Mereka sama-sama menuju mobil yang sering kak Evan gunakan bersamaku.
"Arai, siapa perempuan yang bersama kak Evan?" tanyaku pelan.
"Perempuan mana?"
Pintu pagar utama mendadak terbuka. Sehingga aku dan Arai dapat melihat kak Evan bersama perempuan itu lebih jelas. Mereka kini telah masuk ke mobil. Seorang satpam terkejut melihat aku dan Arai yang berdiri di tepi pagar kecil
"Mas Arai?" tegur satpam tersebut.
"Bang, siapa perempuan yang barengan sama bang Evan?" tanya Arai pada satpam tersebut.
"Loh, masa Mas Arai gak tahu? Dia kan pacar mas Evan. Akhir-akhir ini sering ke sini. Mas Arai, sih, udah jarang kelihatan."
Terpukul! Seperti ada yang mengoyak hatiku saat ini juga.
"Pacarnya kak Evan?" gumamku tak percaya. Tanpa kusadari, setetes lelehan bening jatuh dari sudut mataku.
Bersamaan dengan itu, mobil kak Evan kini menuju ke arah kami. Di saat itu juga aku hendak menghadangnya dan berusaha berteriak memanggil namanya, tapi lebih dulu dicegat oleh Arai. Dia memelukku dengan erat, membawaku menepi dan sengaja membalikkan badanku agar tak melihat mereka.
Aku meronta dan bersikeras mengejar mobil yang telah pergi berlawanan arah dengan posisi kami saat ini. Arai menahanku dengan sekuat tenaga. Kucengkram punggungnya dengan kuat-kuat, sekuat rasa sakitku saat ini.
"Kak Evan!" teriakku lirih dan bergelombang.
Aku ambruk dalam posisi terduduk sambil memandang mobilnya berangsur-angsur menjauh. Air mataku terjun bebas dari mata dan hidung. Pada akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah menangis di pelukan Arai seraya menggigit pundaknya kuat-kuat.
"Gurita! Jangan seperti ini! Jangan buat diri kau kelihatan menyedihkan seperti ini!"
"Aku dicampakkan! Ternyata dia udah punya yang baru! Dia selingkuhin aku!" Aku meraung di pelukan Arai.
"Tenanglah, aku bakal cari tahu yang sebenarnya!" Arai semakin mempererat pelukannya di tubuhku.
Tenggelam dalam air mata. Terbenam dalam patah. Tersungkur dalam impian yang fana. Terhempas dalam harapan tinggi. Terombang-ambing dalam rasa sakit yang berlipat-lipat. Itulah diriku saat ini.
Empat tahun bukan waktu yang sebentar! Telah banyak kenangan manis yang kami torehkan bersama. Aku sangat percaya diri sehingga menganggap dia pasti akan berubah pikiran dan meminta kembali bersamaku. Kenyataannya, dia sudah memiliki penggantiku. Perempuan yang jauh melebihiku. Aku tak bisa membayangkan hangat senyum yang sering dia berikan padaku, ternyata dia bagikan juga pada perempuan itu. Aku yang selama empat tahun bersamanya, bahkan baru pertama kali ini berdiri di gerbang rumahnya. Hanya di sudut gerbang.
Sayang, diakah yang kau sebut masa depanmu? Diakah yang membuatmu berubah? Ternyata rasa kita memang sudah tak sama. Kaitannya sudah terlepas. Mungkin sejak awal aku hanyalah sekelebat bayangan yang mencoba mengekori derap kakimu. Sementara dia yang di sana, memang tercipta untuk mengiringi langkahmu. Terima kasih atas pusara yang kau buatkan di hatiku hari ini.
.
.
.
Like dan komeng
lagi lagi arai yg jdi penolongnya
Arai > Wong yibo
Dion > Dikta wicaksono mimik mukanya kayak gambarin Dion menurutku sih. dari pemikiran aku sih
tp aneh, kenapa ada jempol nakal yg rate jeblok, mau drama atau mau diperhatiin penulisnya dia lakuin itu
mangkanya jangan asal cemburuu
senja memang selalu memberikan arti tersendiri utk evan