Membunuh istri seorang Mafia???
Begitulah yang terjadi pada Disha si reporter Indonesia saat berada di kapal pesiar. Dia terjebak dalam situasi sulit ketika dia terpergok memegang sebuah pistol dengan jasad wanita di depannya yang merupakan istri tercinta dari seorang mafia bernama Noir Mortelev.
Mafia Rusia yang terkenal akan hati dingin, dan kejam. Mortelev adalah salah satu diantara para Mafia yang berdarah dingin, dan Noir merupakan keturunan dari Mortelev sendiri.
Kejadian di kapal pesiar sungguh membuat Disha hampir mati di tangan Noir saat pria itu ingin membunuhnya setelah mengetahui kematian istrinya, namun dia bersumpah akan membunuhnya secara perlahan lewat siksaan batin dan jeratan pernikahan.
“Akan aku berikan neraka untukmu sebagai balasan kematian istri dan anakku yang belum lahir. You understand!”
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AM'sLL — BAB 33
SELAGI BERSIKAP BAIK
“Kau bisa pergi bersama pelayan kan? Maafkan Ibu, aku sudah berjanji akan datang menemui wanita sialan itu untuk emasnya!” ujar Sofiya dengan sedikit kesal.
Yelena tersenyum dan mengerti, ya! Yoanna sudah menyampaikan seperti apa yang Noir perintahkan tadi. Namun sayangnya, Sofiya tidak bisa mengantar putrinya untuk berjalan-jalan di luar sekedar menghirup udara segar agar Yelena tak terlalu tertekan.
“Aku baik-baik saja! Ibu bisa pergi.” Ujar Yelena sama sekali tidak keberatan.
Sofiya menyentuh pipi putrinya dan menatapnya penuh tekanan. “Ibu akan selalu bersamamu! Sesuatu seperti ini tidak akan menggoyahkan mu.” Ujar Sofiya merasa sedih bila harus mengingat putrinya yang dulu masih bisa berjalan hingga selalu membantu Noir dalam urusan bisnisnya seperti Yoanna saat ini.
Yelena yang tahu perbincangan mereka akan sampai kemana, akhirnya wanita itu memilih menyudahinya sebelum ibunya itu melantur menyalahkan Noir lagi dan lagi.
Di sisi lain, Disha yang selesai mandi, wanita itu berjalan mencari dapur. Tentu saja untuk makan, dia harus makan karena harus bertahan hidup dan melawan Noir.
Langkah Disha berhenti setelah ia melihat keberadaan Noir di meja makan sendirian dengan para pelayan berjajar di sana tanpa bergerak.
“Kenapa dia tidak pergi saja." Gerutu Disha yang hendak berbalik namun Nevi sudah berdiri di belakangnya.
“Tuan Noir menunggu Anda. Mari!” Ucap Nevi dengan tatapan tegas.
Disha benar-benar malas bila harus di dekat pria itu. Namun jika dia menolak, maka Noir akan menggunakan nyawa seseorang untuk timbal baliknya.
Dengan pasrah, Disha berbalik menghampiri Noir yang masih menatap ke arahnya dengan tajam.
“Kalian pergilah.” Pinta Noir kepada para pelayan di sana sehingga kini di ruangan tersebut hanya ada Disha dan Noir.
“Apa yang kamu butuhkan?” tanya Disha langsung ke intinya saja.
Cukup lama pria itu menatapnya, hingga akhirnya Noir beralih ke gelasnya, meraihnya. “Duduklah.” Pinta Noir lalu meneguk segelas beer di siang bolong.
Wanita itu berkerut alis, namun Disha tak ingin berdebat sehingga dia duduk di salah satu kursi yang ada di ujung meja, sehingga jaraknya dengan Noir sangat jauh.
“Nevi!” panggil Noir sehingga wanita paruh baya itu mengangguk kecil dan segera menyuruh para pelayan untuk bergegas menata makanan di atas meja.
Tentu saja Disha terkejut melihat banyaknya makanan yang dihidangkan hanya untuk dua orang saja. “Aku tidak lapar.” Tolak Disha bertentangan dengan perutnya yang keroncongan.
Seketika Noir meletakkan gelasnya, menatap ke arah istrinya dengan tegas namun santai.
“Jadilah penurut selagi aku masih bersikap baik.” Ancam Noir sungguh membuat siapapun yang mendengarnya ikut bergidik, bahkan para pelayan yang mendengarnya pun ikut terkejut.
Disha hanya menatap Noir dengan kesal lalu menunduk melihat ke meja makan yang sudah penuh oleh makanan di sana.
Wanita itu segera melahap makanan seadanya dengan tenang, namun Disha tidak merasa bahwa Noir memperhatikannya, menatapnya tanpa berpaling.
Sadar akan keberadaan Noir yang hanya sibuk meneguk beer. Disha beralih menatapnya. “Kenapa kamu tidak makan? Aku tidak mungkin menghabiskan semuanya.” Ujar Disha tanpa senyuman.
“Aku tidak terbiasa makan di sini.” Jawab Noir datar sehingga Disha melirik ke arah Nevi yang mengangguk kecil seolah menyuruh Disha untuk diam saja.
Ya! Nevi juga cukup lama bekerja di sana, sehingga dia tahu gerak-gerik tuannya.
“Terserah.” Gumam Disha dengan malas.
.
.
.
Selang beberapa menit, Sofiya menyempatkan diri pergi ke perusahaan, ada sesuatu yang harus dia bicarakan kepada suaminya itu. Sesuatu yang mendadak.
“Dimana Alon?” tanya Sofiya sedikit ketus kepada Ganev yang menjadi manager di sana.
“Dia ada di ruangannya.” Jawab pria itu yang memang tak banyak bicara namun cukup licik dan berbahaya.
Ganev menyeringai saat Sofiya mulai pergi ke ruangan Alon, dimana kini pria tua itu sedang bersama sang sekretaris cantik dan mudanya itu.
Ceklek! Pintu terbuka bersamaan dengan kepergian seorang wanita cantik dengan pakaian kerja yang minim. Tentu saja Sofiya mengamatinya dengan tak suka.
“Kenapa kau datang tanpa menghubungi ku Sofiya?” tegas Alon sehingga pandangan wanita itu teralihkan dari Margot si sekretaris nya tadi.
“Aku tidak perlu izin darimu. Aku hanya ingin tahu, apa saja yang kalian bicarakan? Aku tahu kau menemui Todor. Kau tidak bisa berbohong kepadaku Alon, apa kau lupa itu.” Jelas Sofiya yang kini duduk di kursi yang ada di dekan meja kerja Alon dengan kaki bersilang anggun.
Tentu saja Alon mendengus kesal. Sofiya selalu mengamatinya dan hampir seperti mengekangnya. Alon sadar diri bahwa istrinya itu keturunan Mortelev yang disegani.
“Sudah kubilang jangan ikut campur lagi Sofiya, kau sudah banyak menghancurkan rencana, dan kini biarkan aku yang memutuskan.” Kesal Alon bangkit dari duduknya dan berdiri membelakangi istrinya sambil berkacak pinggang.
Wanita pirang itu berkerut alis kesal hingga menyeringai kecil.
“Oh iya, jadi begitu! Kau terlalu lama memutuskan Alon, dan aku melihat bagaimana Noir dan wanita itu semakin dekat.” Jelas Sofiya benar-benar memancing emosi Alon.
Alon memejamkan matanya, hingga akhirnya Ganev masuk dan semuanya menjadi hening.
Pria itu menatap wajah kesal Sofiya dan Alon yang nampak bertengkar, namun dengan lugunya, Ganev berpura-pura tidak tahu apapun.
“Maaf menyela, ada klien yang ingin bertemu dengan mu, Tuan Alon." Ucap Ganev sehingga Alon sekilas menatap ke istrinya yang juga menatapnya tajam, lalu bergegas pergi begitu saja.
Tentu saja Ganev mengikuti Alon, kini Sofiya sendirian di ruangan itu dengan perasaan kesalnya.
...***...
“Aku selesai. Terima kasih makanannya.” Ucap Disha sedikit ketus dan bangkit dari duduknya di saat Noir masih duduk di sana.
Namun wanita itu menoleh saat melihat kedatangan Yelena di sana. Dengan cepat Disha memanggilnya tanpa memperdulikan keberadaan Noir disana.
“Kemarilah, ada banyak makanan di sini!” ucap Disha dengan ramah.
Yelena membalas senyumannya, tapi melihat keberadaan Noir di sana, tentu saja dia sudah tahu bahwa pria itu tak pernah mau makan satu meja dengan siapapun terkecuali.
“Aku sudah makan— ”
“Aku tahu, tapi tadi. Sekarang makan siang!" Jelas Disha hingga pria yang kini bangkit dari duduknya membuat kedua wanita tadi menoleh.
“Tetaplah di sini, kau bisa menemaninya." Ujar Noir dalam bahasa Rusia dan itu membuat Disha tidak tahu.
“Ya! Tidak usah takut, dia hanya manusia!” sindir Disha membuat Yelena cukup terkejut.
“Terima kasih, tapi aku harus keluar. Kau tahu, aku merasa bosan!” tolak Yelena dengan halus.
Mendengar itu, Noir jadi ingat akan perintahnya kepada Yoanna. Adiknya sudah memberitahu tapi kenapa Sofiya tidak membawa pergi putrinya.
Disha terdiam mendengar kata keluar dan bosan. Dia juga merasakan hal yang sama. Tapi saat wanita itu menoleh ke arah Noir dengan tatapan tajam membuatnya ragu-ragu.
Yelena sebenarnya ingin mengajak, tapi dia tahu Noir akan marah besar nanti. Dan kini, ia hanya bisa berpamitan saja sehingga meninggalkan Disha dan Noir di sana.
“Andai saja aku bisa kabur.” Gumam Disha dalam bahasa Indonesia.
“Jangan pernah berpikir bahwa kamu bisa keluar dari Mansion ini. Itu hanya sia-sia.” Ucap Noir yang rupanya lebih faham akan pemikiran Disha.
Melihat kepergian Noir, Disha menggerutu hingga mencaci makinya dengan kesal.
ini ngga hamidun kan ya?