Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.
Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.
Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.
Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.
***
Cover by Canva Premium
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Nover ini belum rampung. Disarankan untuk membacanya setelah TAMAT.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
032. Sebuah Tempat Aman
Tawa kecil Bu Gendis usai bicara membuat Harris spontan melihat sekelilingnya. Tidak ada orang lain selain ia sendiri dan wanita itu. Dengan kata lain pembicaraan itu aman. Ia tidak perlu khawatir bawahannya mendengar ‘ejekan’ tersebut.
Benar-benar percakapan absurd sekali, pikirnya. Sepanjang hidup, selama menjabat sebagai Dirut menggantikan orang tuanya, Harris tidak pernah bertukar percakapan dengan orang tua wanita yang meragukan kemampuan dirinya. Biasanya, orang tua wanita lain akan antusias saat ia menyebut namanya. Termasuk orang tua mendiang istrinya dulu. Ia hanya perlu datang sekali ke rumah orang tua mendiang istrinya, lalu restu pun datang seperti kilat menyambar.
Namun kali ini berbeda. Ibu Gita terkekeh-kekeh.
“Saya tidak merendahkan Anda dari Rama. Tapi Gita itu … sangat mencintai Rama. Cinta buta,” tambah Bu Gendis. “Ditambah … Gita mungkin akan mengingat bahwa kami dikecewakan oleh seorang yang mengaku duda.”
Harris berjalan mengitari kandang besar itu dan berhenti di depan rumah-rumahan kecil yang tersangkut di sebuah ranting pohon. Telunjuknya masuk ke ambang pintu rumah pohon dan disambut oleh seekor lovebird berwarna kuning terang. “Lalu … bagaimana kalau pria bernama Rama itu mengecewakan Gita? Menyakiti Gita sampai di titik yang paling menyakitkan. Bagaimana kalau begitu?”
Bu Gendis lanjut memoles kuasnya. “Kesehatan saya tidak begitu baik, Pak Harris. Saya tau meski Anda bukan orang pemerintahan, tapi Anda punya kuasa karena relasi dan uang. Saya tidak terlalu tertarik dengan itu. Bagi saya kebahagiaan Gita adalah segalanya dan kalau Gita cukup dengan sosok Rama yang hanya seorang dokter, saya tidak masalah. Yang penting Gita bahagia. Tapi … kalau Rama menyakiti Gita …. Kira-kira apa yang bisa saya perbuat? Saya cuma wanita tua yang menyayangi anak perempuannya.”
“Orang tua yang menyayangi anak perempuannya?” Harris mengulangi itu. Ia merasakan apa yang dirasakan Bu Gendis. Wanita itu tidak salah karena ia sendiri pun menyayangi Chika seperti itu. Ia tidak akan membiarkan seorang pun menyakiti putrinya. “Jadi … bagaimana kalau Gita yang jatuh cinta pada saya lebih dulu?” Harris membiarkan lovebird kuning terbang dari jarinya. Ia berbalik menatap Bu Gendis yang berhenti memoles warna biru di belakang gambar bunga peony-nya.
“Kalau Gita yang jatuh cinta pada Anda lebih dulu … saya akan meminta Gita memikirkannya karena Gita adalah wanita impulsif yang meledak-ledak. Gita terlalu baik dan sering tidak pikir panjang.”
“Kalau Gita sudah berpikir panjang dan mengatakan tetap jatuh cinta pada saya?” Harris mulai menguasai percakapan itu.
Di mata Harris, Bu Gendis adalah seniman yang pasti akan mengutamakan nurani dan intuisi lebih dulu. Baginya hidup adalah untuk mencapai kebahagiaan paling sederhana yang bisa mereka dapat secepatnya. Seperti Gita yang berpikir terlalu sederhana bahwa dengan memberikan kemudahan pada seorang pria maka ia bisa memiliki hati dan ketulusan pria itu.
“Kalau Gita benar-benar jatuh cinta pada Anda berarti sosok Rama sudah mengecewakannya.” Bu Gendis bicara setengah menerawang.
“Kalau Gita benar-benar jatuh cinta pada saya, saya akan memberi pelajaran pada pria yang mengecewakannya.” Harris kemudian beradu pandang pada Bu Gendis. “Atas persetujuan Gita tentunya,” tambah Harris.
Bu Gendis terlihat menghela napas panjang. “Tapi … Gita baik-baik aja, kan? Tidak ada terjadi sesuatu pada Gita?” Bu Gendis kembali memijat kepalanya.
“Kalau Ibu kurang sehat saya bisa mengirim orang untuk memeriksakan kesehatan—”
“Saya tidak apa-apa, Pak Harris. Selama Gita baik-baik aja, tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan soal saya. Terima kasih penawarannya,” sahut Bu Gendis dengan sopan. “Saya selalu berharap Gita bahagia.” Bu Gendis bergumam pelan. Berusaha menekan keinginannya untuk khawatir akan sikap Gita yang selalu menghindar tiap diajak melakukan panggilan video.
Harris keluar dari rumah Bu Gendis setelah berbasa-basi cukup lama demi menghindarkan dirinya dari ajakan makan malam. Sesaat sebelum masuk ke mobil Yunita mendatangi Harris dengan raut penasaran.
“Mau bertanya sesuatu?” Harris menahan pintu mobilnya.
“Bukan bermaksud lancang. Saya hanya bersimpati pada Mbak Gita. Yang saya mau tanyakan … apa ibunya tau kalau anak perempuannya ….”
“Tidak. Tidak tau. Sebelum saya pulang ke rumah. Saya mau mengunjungi Gita di rumah sakit. Oh, ya, Yun …. Sepertinya Bu Gendis tidak terlalu sehat. Bantu pantau kesehatannya. Jangan sampai terjadi apa-apa pada ibunya sementara anaknya sedang di ICU.” Harris bicara sambil memandang rumah mungil di belakangnya. Melihat Yunita mengangguk mantap, “Sudah malam. Kamu bisa pulang bersama supir kantor. Saya ke rumah sakit sekarang,” ujarnya.
Sudah hampir pukul sembilan malam saat Harris tiba di rumah sakit. Waktu besuk sudah berakhir, tapi karena ia seorang Harris Gunawan tak ada yang bisa menghalanginya masuk atau sekedar bertanya. Harris melewati lorong rumah sakit yang terang dan sunyi.
Di rumah sakit, koridor ruang ICU adalah koridor paling sepi kedua selain koridor kamar mayat. Harris bisa mendengar suara sepatunya memantul di lantai saat melewati lorong panjang sebelum tiba di ruangan paling pojok.
Dalam keheningan langkah kakinya Harris tiba-tiba berhenti. Telinganya menangkap suara asing yang tidak cocok berada di rumah sakit. Langkah kaki berat dengan sol sepatu karet yang ditujukan agar jejaknya tidak terdengar.
Karena kecurigaan tidak biasa yang dirasakannya, gantian Harris yang berjalan mengendap. Tiba di sudut ruangan ia melihat sosok pria menatap Gita dari dinding kaca. Harris kembali mundur tanpa suara.
Dengan sigap menghampiri meja perawat yang perawatnya entah ke mana. Menghubungi nomor ekstensi nol; nomor paling umum yang biasa digunakan untuk menyambungkan ke mana saja. “Saya Harris Gunawan keluarga pasien atas nama Gita. Kirim keamanan ke lorong ruang ICU. Ada penyusup.” Harris kembali meletakkan pesawat telepon.
Teringat akan cerita Mar sebelumnya, Harris mendekati ruangan Gita. “Ada yang bisa saya bantu?” Harris berdiri sepuluh langkah dari pria yang langsung tersentak dan menjauhkan wajahnya dari pintu kaca. Harris teringat perkataan Mar tempo hari dan keselamatan Gita akan terancam kalau ia salah bicara.
“Pak Harris?” Samsul menjauhkan wajah dari dinding kaca.
“Ada keperluan apa ke sini?” Harris pura-pura tidak tahu.
“Saya mencari saudara saya. Katanya dirawat di rumah sakit ini. Pak Harris sendiri … sedang apa di sini?” Samsul mengerling Gita yang tertidur di balik dinding kaca.
“Oh, saya kebetulan baru selesai bertemu direktur rumah sakit. Kalau kam—”
Suara derap langkah kaki berapa pasang kaki terdengar mendekati lorong. Samsul terlihat panik.
“Sepertinya saya lupa di mana ruangannya. Saya permisi sekarang. Samsul tiba-tiba berjalan melewati Harris dan menerobos dua orang keamanan dan dua orang perawat yang datang ke depan ruangan.
“Maaf, Pak Harris. Maaf. Saya cek dulu.” Salah seorang perawat buru-buru masuk ke ruangan Gita dan mengecek semua peralatan yang tersambung ke tubuh wanita itu.
“Tadi memang ada telepon yang memanggil saya ke ruang Kepala Setelah saya ke sana malah enggak ada siapa-siapa. Saya juga nggak tau kenapa Bapak yang tadi bisa ada di sini. Memangnya Bapak itu siapa?” Perawat lainnya berusaha menjelaskan karena melihat wajah Harris yang kaku dan kesal.
“Sebegini aja keamanan rumah sakit kalian? Kalau saya tidak datang sesuatu yang buruk bisa terjadi pada pasien.”
“Memangnya Bapak yang tadi siapa? Mungkin aja Bapak yang tadi cuma keluarga pasien yang nyasar ke sini. Belum tentu berniat jahat.” Perawat yang baru selesai mengecek Gita ikut menimpali.
Harris semakin terlihat berang. “Siapa nama kamu? Sudah lama bekerja di rumah sakit ini? Kata mungkin, bisa jadi dan belum tentu adalah kata-kata yang paling tidak saya sukai. Kamu menentukan keselamatan pasien berdasar kemungkinan-kemungkinan? Panggil dokter yang bertanggung jawab untuk memeriksa keadaan pasien.”
“Dokter yang bertanggung jawab baru aja pulang. Apa perlu….”
“Sepertinya kamu memang belum mengerti duduk persoalan sekarang ini. Telepon Kepala Perawat dan bilang kalau Bapak Harris Gunawan akan memindahkan pasien atas nama Gita sekarang juga. Saya mau dipersiapkan secepat mungkin. Dan untuk kamu … saya pastikan kamu akan mengerti prosedur rumah sakit yang sebenarnya.” Harris menunjuk Perawat yang menjadi lawan bicara Harris tadi.
Sepertinya Kepala Perawat memahami betul siapa sosok nama yang disebutkan oleh salah seorang perawat itu. Buktinya Kepala Perawat langsung menghubungi dokter yang bertanggung jawab dan tidak ada penyangkalan untuk kembali memutar arah.
Lima belas menit kemudian seorang dokter tergopoh-gopoh di lorong. Cepat-cepat mengecek keadaan Gita seperti yang diminta Harris. “Keadaannya stabil tapi tidak baik kalau pasien begini lebih dari satu minggu. Tidak bisa dilakukan pengobatan kalau kondisi pasien begini. Sebenarnya besok bisa saya beri….”
“Tidak perlu. Terlambat. Selama di sini pasien tidak mendapat perawatan apa pun. Tanda tangani saja dokumen bahwa Anda mengizinkan pasien ini dipindahkan.” Harris mengambil papan jalan dari perawat dan menyodorkannya pada dokter yang bertanggung jawab untuk Gita. “Tanda tangani saja,” kata Harris.
“Dipindahkan ke rumah sakit mana kalau boleh tau? Apa ambulans kita sudah siap di depan?” Dokter tadi bertanya pada Perawat.
“Ambulans rumah sakit swasta sudah standby di depan.” Harris menoleh ke belakang. Tiga orang wanita berseragam putih mendekat ke belakang Harris. “Kalau dokumen itu sudah ditandatangani saya akan membawa pasien sekarang.”
Dokter penanggung jawab menandatangani dokumen dan tiga orang wanita berseragam putih masuk ke ruang ICU.
“Kalian siapkan mesin CPAP, oximetry meters dan hospital bed saja." Harris menunjuk dua orang petugas rumah sakit yang baru datang. "Kamu bereskan ventilator. Biar saya yang gendong Gita.” Harris melepaskan jas dan membuka kancing lengan kemejanya. Sejurus kemudian Harris sudah memandang Gita dari dekat. “Sejak saya menandatangani surat pertanggungjawaban pasien, sejak saat itu juga kamu sudah menjadi tanggung jawab saya. Ayo, Gita …. Saya nggak akan tidur nyenyak kalau kamu masih berada di sini.” Harris menyelipkan tangannya ke balik punggung Gita dan bergeser perlahan-lahan.
To be continued
siapa ya yg datang
yang di tunggu2 akirnya ada hilal jg 😍