Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Menghindar
Terang-terangan menghindari Alfindra bukanlah solusi yang tepat. Apalagi setelah percintaan mereka tadi. Namun, yang membuat Almira tak habis fikir adalah suaminya begitu egois, berhubungan beberapa kali bahkan tak bisa membuat rasa cinta tumbuh di hati laki-laki itu.
"Mir?" panggil Alfindra.
Almira yang sedari tadi pura-pura sibuk berponsel pun tak bisa untuk mengacuhkannya langsung. Mungkin, Almira akan melakukannya secara perlahan hingga Alfindra sendiri yang akan melepasnya.
"Ya?" Almira membeo membuat Alfindra sedikit mengernyit dengan sikap istrinya yang biasa pake Mas-mas. Terbiasa dengan kebawelan Almira mendadak Alfindra merasa aneh saat hening seperti ini.
"Bagaimana denganmu, besok aku ke luar kota?"
"Bukannya lusa?" lagi tanpa embel-embel mas di belakang.
"Hm, dimajukan!"
"Ya sudah," jawab singkat Almira kemudian masuk ke dalam kamar.
Alfindra menggeleng perlahan, "gak beres ini, dia marah kah?" gumamnya kemudian menyusul ke kamar.
Langkahnya terhenti saat melihat Almira membuka lemari dan memilih pakaian mana yang akan dibawa suaminya.
"Berapa hari disana, Mas?" tanyanya tanpa menoleh ke Alfindra.
"Dua hari, bisa lebih." Alfindra duduk memperhatikan istrinya yang cekatan memasukan perlengkapan mulai dari hal kecil sekalipun. Mendadak hatinya diliputi perasaan entah, seperti tidak rela meninggalkan Almira barang sedikitpun.
"Oh! Sudah beres, aku sudah masukkan beberapa baju yang biasa Mas pakai kerja, juga dalaman, sama perlengkapan mandi," ujar Almira memberitahu.
Alfindra mengangguk, lalu menepuk ranjang sebelahnya agar Almira duduk.
"Aku mau ke toilet sebentar!" kekeh Almira.
Memperhatikan punggung sang istri menghilang membuatnya ingin menyusul.
Lantas yang Alfin lakukan justru mengikutinya masuk ke toilet.
Ruangan toilet yang lumayan besar, ternyata istrinya sedang mencuci wajah di wastafel dan memakai skin care.
"Sejak kapan kamu pake skin care?" tanya Alfindra membuat Almira yang sedang fokus memakai serum terkejut.
"Sudah lama, tapi kadang lupa!"
"Oh, tapi kenapa aku gak pernah lihat kamu beli? Pakai uangku, pakai apapun untuk keperluanmu. Tiap tanggal lima pasti aku transfer, kalau kamu butuh apa-apa," ujar Alfindra hanya diangguki Almira.
Selesai dengan ritualnya, Almira gegas mengganti baju dengan piyama tidur kemudian kembali ke kamar, tanpa menunggu Alfindra yang malah mengikutinya seperti bocah.
"Almira, kalau kamu nggak mau sendirian disini pulang aja ke mansion papa," seru Alfindra memandangi punggung istrinya.
Posisi Almira membelakanginya bahkan cenderung tak mendengarkannya sebab setelah satu menit bicara tak ada sahutan.
"Kamu sudah tidur, Mir?" surai hitam sebahu lebih panjang dikit itu digapainya, diusap pelan seolah sedang meresapi kebersamaan mereka sebelum besok Alfindra pergi.
Almira memejamkan matanya, bukan tidur tapi lebih tepatnya pura-pura. Almira lelah, ditambah mendengar kalau Alfindra masih tak tertarik dengannya membuat mood Almira anjlok ke dasar jurang paling dalam.
Memang benar, yang sulit itu adalah mencintai laki-laki yang sama sekali tak pernah melihat cintamu.
Jika mereka tidak hidup bersama mungkin Almira tak akan masalah, akan tetapi mereka menikah bahkan...
Pagi yang seperti biasa, Almira bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Setelahnya baru membangunkan Alfindra, membantu mengecek kembali perlengkapan yang akan dibawa.
Madel sudah ada di depan, Almira memintanya masuk untuk sarapan bersama. Namun, ada yang berbeda hari ini menurut Alfindra. Istrinya itu mendadak dingin, sedingin kulkas dua pintu.
"Tuan, apa tidak sebaiknya Nona Almira ikut ke Bandung?" tanya Madel dengan hati-hati.
"Aku sibuk," jawab Almira langsung, membuat suasana pagi yang tadinya santai menjadi canggung.
"Almira harus menghadiri pernikahan kakaknya," tolak Alfindra tak setuju.
Madel mengangguk pelan.
Tanpa senyum Almira melepas kepergian Alfindra bersama Madel. Namun, matanya memicing kala melihat mobil hitam yang berada di belakang tak jauh dari mobil suaminya.
Meski kemungkinan terbesar itu adalah keluarga Alfindra sendiri, entah kenapa perasaan Almira sangat tidak enak.
Lantas yang bisa ia lakukan adalah mengirim pesan pada Madel.
"Madel, ada mobil hitam mengikuti kalian dengan plat 25xxxx, kamu harus hati-hati. Titip mas Alfindra," pesan Almira.
Namun, hal tak terduga lainnya adalah mobil itu kembali. Si pemilik turun dan menghampiri dirinya yang masih berada di lobi apartemen bawah.
"Nona?" sapanya membuat Almira menelan saliva berat.
"Kamu siapa?" tanya Almira membuat Zion seketika mengukir senyumnya.
"Zi mode on panggil saja Zion!" kelakarnya basa-basi.
Almira diam menatapnya tanpa ekspresi membuat Zion langsung menghentikan aksi candanya.
"Maaf Nona, tidakkah kau mengenali wajahku. Kalau wajahku yang tampan ini rada-rada mirip laki-laki yang kau lepas kepergiannya tadi?" Zion menaikkan alisnya.
"Saya tahu, tapi kita tidak ada kepentingan apapun. Suamiku tidak ada jadi lebih baik kamu segera pergi," seru Almira membuat Zion semakin tertantang.
Menarik, pantas Alfindra sampai rela meninggalkan Salma...
"Suami? Apa kau tidak berencana meminta restu pada kami, keluarga Dominic?" seringai tipis terbit di wajah Zion. Benar saja, hanya menyinggung soal restu, wanita di hadapannya ini sudah berubah ekspresi. Yang tadinya dingin mendadak menyendu.
"Mungkin, suatu hari nanti." Almira berbalik, ia meninggalkan Zion begitu saja dan masuk ke dalam lift. Akan tetapi terlambat, karena Zion bisa dengan segera ikut masuk ke dalam lift bersamanya.
Zion mendekati Almira hingga tersudut lantas mencolek dagunya pelan.
"Kamu! Jauhkan tanganmu, aku bisa berteriak sekarang!" ancam Almira menghadapi sikap Zion yang tak sopan.
"Sungguh menarik, sedari dulu kenapa Alfindra selalu mendapatkan hal menarik dari yang ku temukan. Sungguh wanita yang menggemaskan!"
Almira mendorong tubuh Zion, akan tetapi badan kekar itu menguncinya.
Beruntung, pintu lift terbuka. Almira menendang lutut Zion dan menginjak kakinya hingga berhasil melepaskan diri. Dengan segera berlari ke arah apartemennya dan menekan sandi.
Bernapas lega saat Almira berhasil masuk tanpa diikuti Zion di belakangnya.
"Mas Alfindra, aku takut," cicitnya merosot dibalik pintu apartemen.
Sementara Zion yang tak melihat kemana Almira masuk berdecak pelan.
"Sia lan, dia tadi masuk ke dalam mana?" umpatnya kala tak menemukan wanita yang jadi simpanan adiknya.
Simpanan? Mungkin seperti itu pemikiran gila Zion. Awalnya dia berniat mengejar Salma dengan mudah setelah mendapatkan kabar kalau adiknya sudah menikahi anak gadis orang diam-diam. Namun, dari kemarin Zion tertarik dengan apa yang dilakukan adiknya hingga memutuskan diam-diam mengamati kemanapun Alfindra pergi. Saat isengnya mengecek apartemen Madel, Zion cukup sabar hingga akhirnya menemukan informasi kalau Alfindra dan wanitanya tinggal di gedung yang sama dengan Madel.
Zion kembali ke mobil dan menghubungi seseorang, "aku sudah menemukan wanita itu, jadi apa imbalanku, Nona Salma?" Zion menyeringai lebar.
"Apapun yang abang minta," lirih Salma di seberang membuat Zion tersenyum seketika.
"Apapun!" batinnya seraya mematikan panggilan.
Almira terduduk lemas, dengan sisa tenaga berusaha bangkit dan ke dapur untuk minum agar debaran jantungnya kembali normal. Andai ia tak melawan tadi entah bagaimana nasibnya. Ternyata selain mama Alfindra yang galak, Alfindra yang tidak cinta, Almira juga harus menghadapi kakak ipar yang gila, sungguh miris!