Suamiku Pria Lumpuh

"Gas... Loe ngga sedih kan, ditinggal Luna?" tanya Reza, dan Bagas menggelengkan kepalanya.

"Baguslah... Loe cepet move on, dan lebih baik mempertahankan Syifa. Dia baik, dia tulus banget. Ngga seperti istri kontrak." jawab Reza.

Mereka menarik nafas panjang bersamaan. Menghirup segar nya angin di pagi hari. Begitu lega dan menyenangkan, setelah sebulan Bagas terbaring di Rumah sakit.

Syifa yang telah selesai mandi, lalu mencari Bagas di sekitar rumah. Ia sempat nyasar, karena belum faham tentang isi dalam rumah besar itu. Untung saja, Ia bertemu Pak Paijo di di persimpangan ruang.

"Non, mau kemana?" tanya Pak Paijo, supir Mama Ayu yang pulang untuk mengambil File.

"Cari Bagas, Pak. Tapi malah kesasar. Rumahnya gede banget."jawab Syifa, tersipu malu.

"Tuan ada di teras belakang. Lurus terus menuju ruang keluarga, lalu belok kiri."

"Oh, makasih ya, Pak."

Syifa pun langsung berlari menuju ruang yang di sebutkan. Ia pun melihat Reza dan Bagas sedang berbincang disana, meski Ia tahu obrolan itu hanya satu arah.

"Mas, sarapan dulu yuk." panggil Syifa.

Ia pun meraih kursi roda Bagas, dan membawanya ke ruang makan. Sementara Reza ikut di belakangnya.

"Fa, Bagas mau di terapi?"

"Iya, terapinya banyak. Tapi kalau untuk terapi yang ringan, di rumah aja sih. Aku udah bilang ke Mama Ayu, supaya belikan beberapa alat untuk menunjang terapinya." jawab Syifa.

Mereka tiba di ruang makan. Syifa pun mulai memasangkan celemek pada Bagas, dan menyuapinya perlahan. Ia tahu, jika Bagas bosan dengan makanan itu, tapi Ia harus bersabar hingga dokter menyatakan pencernaannya sudah benar-benar pulih.

Reza kembali menatap ketulusan itu. Dan Ia menatap sebuah harapan yang besar, bagi Bagas untuk Syifa.

"Bahkan dengan Luna, tatapan loe ngga pernah begini, Gas?" batin Reza.

Hari hampir siang, dan Reza pamit pergi ke kantor. Ia dan Papa Erland akan menghadiri beberapa pertemuan penting hari ini. Tinggal lah Syifa dan Bagas beserta beberapa asisten rumah tangga di rumah.

Syifa mengajak Bagas bersantai di sofa bed yang ada di depan tv. Ia memindah tubuh Bagas disana, agar dapat duduk dengan meluruskan kakinya.

Lagi-lagi, tangan Syifa tak dapat diam seperti biasa. Di genggamnya lagi tangan Bagas, dan terus menggerakkannya kesegala arah. Sesekali, Ia mengangkat tangan Bagas dengan tangannya saat itu. Naik dan turun, gerakan ringan tapi sangat bermanfaat.

"Non, itu Tuan Bagas lagi latihan gerak tangan?" tanya Minah, Asisten Rumah tangga termuda di rumah itu. Usianya sepantaran Bagas, dan mereka cukup akrab di kala lalu.

"Iya... Gerakan simple aja tapi kalau rutin bisa merangsang ototnya. Ditambah lagi dengan kemauan keras, pasti ada perubahan." ucap Syifa.

Pada saat ini, tangan Bagas begitu lemah seolah tak bertenaga. Padahal, otot lengannya lumayan kekar, dan tampak kuat. Kecelakaan itu memang begitu parah, meski tak meninggalkan luka di tubuh. Tapi, menyerang tepat bagian inti dari tubuh itu.

Sesekali, tampak Bagas berusaha menggenggam tangan Syifa. Ia berjuang begitu keras, dan Syifa menyemangatinya agar terus berusaha.

"Ayo, Mas.... Genggam lagi, genggam yang erat. Mama akan bahagia melihat ini." ucap Syifa padanya.

Bagas hanya menatapnya dengan senyum, Ia pun tampak begitu bersemangat dengan segala arahan yang di berikan istrinya itu.

"Aku harus bisa... Setidaknya, aku akan menggenggam tanganmu, Fa. Aku tak ingin, jika kamu yang harus selalu menggenggam tanganku." ucap Bagas.

Hanya sebentar, Bagas tampak kelelahan. Tapi tak apa, itu cukup memperlihatkan sebuah kemajuan dan keinginan keras Bagas. Syifa pun pergi sebentar untuk mengambilkannya obat. Dan saat itu, Bagas terus berusaha menggerakkan tangannya sendiri.

"Udah dulu, Mas. Nanti kecapean. Malah bisa drop nanti. Minum obat dulu, abis itu tidur." ujar Syifa.

Bagas pun menurutinya, dan menelan obat yang di berikan Syifa dalam tenggorokannya. Lalu Syifa merebahkan tubuh Bagas di sofa bed itu agar beristirahat dengan nyaman. Bagas belum boleh duduk terlalu lama, karena kondisi tulang belakang yang masih belum stabil.