"Berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membeli satu malam mu?"
Erick Davidson, pria tajir dengan sejuta pesona, hendak menjebak seorang gadis yang bekerja sebagai personal assistan nya, untuk jatuh ke dalam pelukannya.
Elena cempaka, gadis biasa yang memiliki kehidupan flat tiba-tiba seperti di ajak ke roler coster yang membuat hidupnya jungkir balik setelah tuan Erick Davidson yang berkuasa ingin membayar satu malam bersama dirinya dengan alasan pria itu ingin memiliki anak tanpa pernikahan.
Bagaimana kisah cinta mereka? ikuti bersama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Park alra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GCTE | Bab 33
Fajar menyingsing pertanda pagi sudah datang. Sinar sang Surya menyorot menembus tirai jendela kamar yang kini di tempati Elena.
Gadis yang masih nyenyak dalam tidurnya itu perlahan menggeliat ketika di rasakannya bibir basah terasa lembab menyapu pipi juga batang lehernya. Ketika membuka mata pelan-pelan demi menyesuaikan cahaya yang masuk, dan saat itu juga ia bisa melihat samar-samar seraut wajah tampan yang menatapnya dengan sorot begitu teduh.
"Good morning my love ... " Erick mengulum senyum tipis melabuhkan kembali kecupan di pelipis sang istri.
Elena terhenyak. Lupa jika kini statusnya bukan lagi lajang tapi seorang wanita bersuami, ia segera bangkit dari posisi rebahnya, melongok ke kiri dan kanan.
"Ada apa? ... " tanya Erick juga ikut bingung.
"T-tidak." Elena menggeleng, tersenyum canggung. Hampir saja ia mengira semua ini adalah mimpi.
Elena kemudian menatap penampilan Erick seksama. "Pak Er-- maksudku mas akan berangkat ke kantor?"
Erick mendengkus geli merasa lucu dengan tingkah sang istri. Elena pasti cukup sulit menghilangkan kebiasaannya ketika mereka masih menjadi atasan dan bawahan dahulu. Itu membuatnya tak bisa menahan tawa.
"Ya, aku akan berangkat ke kantor. Itu sebabnya aku membangunkan mu agar segera mandi dan sarapan."
"Maaf, seharusnya aku bangun awal untuk menyiapkan keperluan mu," ucap Elena menunduk, merasa menyesal.
"Hei," Erick mengangkat dagu dengan tangannya. "Memangnya kenapa? aku menikahi mu bukan untuk menyiapkan keperluan ku, jadi jangan merasa bersalah begitu."
Mata keduanya saling beradu, ada ungkapan perasaan dari hati terdalam yang sedang Erick utarakan melalui tatapan nya pada Elena.
Erick kemudian semakin memajukan wajah, membuat kening mereka saling menempel. Elena bisa merasakan nafas hangat Erick yang menerpa wajahnya. Tangan kokoh Erick membelai pipi Elena dengan lembut menyisipkan beberapa helai anak rambut sang istri ke belakang telinga.
Dada keduanya bergemuruh hebat. Detak jantung berdentum berirama bersama seiring bibir keduanya yang saling menempel kini.
Tak ada penolakan dari sang istri, Erick merengkuh tengkuk Elena untuk memperdalam ciuman mereka. Keduanya saling memejamkan mata menikmati penyatuan benda kenyal yang cukup membakar gairrah mereka, namun tepukan di dada Erick oleh tangan Elena, membuat pria itu seketika menjauhkan diri.
"A-aku t-tidak bisa nafas," ucap Elena tersipu. Pipi gadis itu bersemu merah seperti tomat matang, membuat Erick terkekeh karenanya.
"Tidak apa-apa kita akan latihan lain kali." Merasakan Elena yang begitu kaku tadi, Erick mencoba menerka, mungkinkah ini yang pertama kali untuk istrinya itu? Jika ia betapa bahagianya ia.
Elena mengangguk malu-malu. Tanpa sadar ia mengusap bibirnya yang sedikit basah itu.
Benarkah hal seperti ini juga memerlukan latihan? batinnya bertanya.
Erick yang melihat tingkah polos istrinya itupun lagi-lagi tak bisa untuk tak tersenyum geli. Ia mengacak rambut Elena gemas, membuat beberapa anak rambut berwarna coklat itu berantakan di sana.
"Mandilah dan setelah itu sarapan, aku sudah memesan makanan sekarang sudah terhidang di meja makan."
"Terimakasih." Elena mengangguk, mendadak kikuk sendiri. Saat Erick terakhir tersenyum lalu mengecup singkat keningnya ketika laki-laki itu hendak beranjak. Tanpa sadar Elena memanggil lagi.
"Ada apa?" tanya Erick lalu, mendapati gurat penuh kebimbangan wanita itu.
Elena terdiam, suara mendadak tercekat dan lidahnya terasa keluh. Akhirnya ia menggeleng keras, tidak jadi untuk menanyakan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Melihat Elena yang menggeleng, Erick tak bertanya.
"Tetaplah di sini hingga aku pulang. Jika kau ingin pergi ada supir pribadi ku yang akan mengantar, kau masih menyimpan nomor nya?"
Elena mengangguk. "Masih mas." Dulu saat menjadi personal assistan pria itu, Elena selalu menyimpan nomor-nomor penting pada ajudan CEO itu.
"Baiklah aku pergi ya, hati- hati di sini. Jangan pernah membukakan pintu jika itu bukan aku."
Elena kembali mengangguk. Erick pun melenggang pergi dengan tas kerja di tangannya.
...***...
Setelah keluar dari kamar mandi, Elena duduk di meja rias dekat, mematut penampilannya dengan pakaian sehari-hari biasa, wajah tanpa make up dan rambut di biarkan tergerai.
"Aku sekarang menjadi isteri bos ku sendiri ... " gumam wanita itu, seakan terperangah tak percaya.
Ia mengangkat sebelah tangan nya, memperhatikan dengan lekat jari manisnya yang dulu nampak polos kini sudah tersemat cincin putri yang berkilau. Bukti ikatan pernikahan ini.
"Aku tak akan pernah sudi menganggap nya sebagai menantu ku.
Mengingat kembali perkataan tuan Rey yang terngiang di kepalanya, Elena menghela nafas panjang dengan dada yang terasa sesak.
"Kita akan menghadapinya bersama-sama."
Lalu saat mengingat kembali perkataan Erick dengan membayangkan wajah teduh dan senyum manis pria itu, hati Elena kembali di penuhi rasa ketenangan.
"Tidak apa-apa Elen. Ada mas Erick yang akan selalu bersama mu. Kini dia adalah suami mu." monolog Elena pada diri sendiri.
Kemudian beranjak untuk pergi ke meja makan dan sarapan, seperti yang di pinta sang suami.
...***...
Di kantor Erick mendapatkan sekretaris baru. Pak Kim, asisten manajer nya yang merekomendasikan.
"Jadi nama mu Zidan devantara. Pernah bekerja di perusahaan Tvq corporation?" tanya Erick mengamati dokumen portofolio pria di depannya sekarang.
"Benar sekali pak." jawab pemuda itu, mantap. Di lihat dari penampilan ia terlihat sangat rapi. Point yang sangat penting bagi Erick ada diri laki-laki itu.
"Sudah mengetahui ketentuan dan kebijakan perusahaan ini?" tanya Erick kemudian.
"Sudah, pak."
"Siap mematuhi dan tak melanggar?"
"Siap pak." pria itu mengangguk dua kali.
"Bagus," ucap Erick kemudian. Di lihat dari riwayat kinerja dahulu, pria ini bisa di bilang kompeten dan disiplin. Lulusannya termasuk sangat bagus dengan nilai tinggi di atas rata-rata, seharusnya dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi dari pada hanya sekretaris dan seorang personal assistan. Tapi menurut laporan dari pak Kim, Zidan ini menginginkan posisi itu hingga tak ada yang bisa memaksanya meski peluang untuk dirinya terbilang tinggi.
"Baiklah. Mulai hari ini kau bisa langsung kerja."
"Baik, terimakasih pak." Zidan menunduk hormat.
Erick agak terlonjak karena sikap lelaki itu terbilang datar. Tak seperti yang lain jika mendapatkan posisi yang ia inginkan. Seperti mengingat kan Erick sikapnya dahulu yang terkesan dingin dan cuek.
"Baiklah. kau bisa menghubungi pak Kim untuk mendapatkan meja mu dan jadwal untuk hari ini."
"Baik. Saya permisi pak."
...***...
Di apartemen. Setelah menyantap makanan nya, Elena memilih untuk membaca buku, dengan duduk di sofa yang menghadap ke dinding kaca memperlihatkan langsung pemandangan seluruh kota di hadapan.
Atensinya yang semula fokus terganggu dengan bunyi bel dari pintu utama. Mau tak mau membuat ia beranjak.
Namun seketika Elena teringat jika Erick berpesan tak boleh membuka pintu untuk orang asing. Namun karena penasaran ia mencoba mengintip melalui lubang di tengah pintu.
Nampak terlihat jika itu adalah seorang wanita. Tak terlalu jelas namun Elena bisa memastikan itu.
Bergerak tangannya untuk membuka pintu yang terkunci. Alangkah terkejutnya ia ketika tahu lebih jelas siapa yang bertamu.
"Hai ... ini aku," ucap wanita itu dengan senyum mengembang.
"Nona Clarissa ... "