Jalan buntunitulah yang Vania rasakan. Vania adalah gadis muda berusia 17 tahun, tapi takdir begitu kejam pada gadis muda itu. Di usianya yang belia dia harus menikahi kakak iparnya yang terpaut usia 12 tahun di atasnya karena suatu alasan.
Saat memutuskan menikah dengan kakak iparnya, yang ada di fikiran Vania hanya satu yaitu membantu Papanya. Meski tidak menginginkan pernikahan itu, Vania tetap berharap Bagas benar-benar jodohnya. Setelah menikah dengan Kakak Iparnya ternyata jauh dari harapan Vania.
Jalan berduri mulai di tempuh gadis remaja itu. Di usia yang seharusnya bersenang-senang di bangku sekolah, malah harus berhenti sekolah. Hingga rahasia besar terkuak. Apakah Vania dan Bagas berjodoh? Yok simak kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tindek_shi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok Masa Lalu
Bagas yang mendengar suara Vania langsung membalikkan tubuk tegapnya. Seketika Bagas tidak kuasa menahan tangis, pria tampan itu tidak memeluk bahu Vania tapi langsung bersimpuh dan memeluk kaki Vania.
"Maaf, Mas mohon maafkan Mas, Sayang," kaki Vania terasa basah oleh cairan hangat yang Vania yakini adalah air mata.
"Mas jangan seperti ini!" Vania mencoba melepaskan diri dari pria yang mungkin saja sudah menjadi suami orang lain ini.
"Mas lepaskan kaki ku! Aku sudah memaafkan Mas Bagas sebelum Mas minta, jika itu yang Mas khawatirkan..." perkataan Vania mampu mengendurkan pegangan Bagas di kakinya. Hingga Vania terlepas dari tangan kekar itu.
"Silahkan Mas pergi! Sudah selesaikan minta maafnya?" usir Vania pada Bagas, bahkan wanita cantik mengabaikan jika Bagas orang baru di sini dan juga raut wajah pria iyu yang tidak baik-baik saja.
Ya Bagas terlihat sedikit pucat, entah karena kedinginan kerena memang sedang ada hujan salju atau bagaimana hanya Bagaslah yang tahu.
"Sayang, Mas bukan hanya ingin minta maaf. Tapi apakah masih bisa kita kembali bersama membuka lembaran baru, Mas mencintai kamu dan anak-anak kita," kata Bagas seraya mengejar Vania yang berjalan cepat meninggalkannya di belakang.
Vania enggan berbalik, saat Bagas akan melewati gerbang tubuhnya di tahan pengaman sehingga pria itu tertahan di gerbang depan.
"Vania, Sayang! Mas akan tetap menunggu mu di luar gerbang ini! Karena suami mu ini tidak punya tempat tujuan selain dirimu Sayang!" teriak Bagas dengan suara parau karena tangis.
Tubuh yang sebenarnya sudah menggigil kedinginan taerpaksa Bagas dudukkan kembali di atas tumpukan salju tepat di depan kediaman sang istri.
Tangis Bagas tergugu, mungkin jika dia sekaya dulu dia akan tetap datang tapi paling tidak dia akan ke hotel untuk menunggu pagi dan juga melaksanakan sholat untuk membujuk sang pemilik hati.
Perih, takut dan luka yang Bagas rasakan bercampur aduk. Sungguh istrinya saat ini adalah satu-satunya tujuannya hingga jauh-jauh kemari.
Satu setengah jam berlalu, tempat di mana Vania tinggal sekarang sedang mengalami badai salju. Sedang Bagas tidak memiliki persediaan yang cukup walau hanya untuk ke hotel. Pria tampan yang sekarang kehilangan rona di wajahnya hanya berzikir seraya menunggu waktu subuh menjelang, berharap tubuh kekarnya yang sekarang terlihat ringkih karena kedinginan mampu bertahan.
Ternyata satpam yang tadi menelpon Vania memperhatikan pria yang tadi mengaku kerabat Vania dengan iba. Hingga dia sadar jika bibir pemuda itu tidak lagi bergerak dan tubuh itu tidak lagi bergetar karena dingin dan tangis.
Dengan sigap pria paruh baya itu keluar dan meminta bantuan sahabat seperjuangannya untuk mengangkat Bagas ke rumah Vania.
Ya Bagas tidak sadarkan diri. Di jatuh pingsan karena dingin dan juga perut yang kosong. Ya jika kalian menyangka Jeremy mencukupkan semua kebutuhan Bagas hingga di Turki, oh tentu tidak Ferguso. Bagas itu bukan orang kaya, rumah dan kiosnya saja masih berlarut dalam hutang jadi Jeremy hanya memberikan uang untuk pulang dan pergi. Perkara biaya hidup Jeremy ingin Bagas yang mengusqhakannya sendiri di negeri asing itu. Itulah sebabnya ptia tampan itu tidak bisa ke hotel maupun makan, dia sengaja menahannya untuk kepentingan mendesak.
"Nyonya!"
"Nyonya!"
"Nyonya!"
"Nyonya!"
Teriakan, gedoran dan bel pada pintu di lakukan oleh panjaga rumah Vania itu secara bersamaan.
Mereka panik melihat kondisi Bagas, satu-satunya yang bisa membantu saat ini adalah tuan rumah.
"Iya tunggu sebentar," Sahut Vania dari dalam kediaman tempat tinggalnya.
Perlahan tapi pasti Vania telah tiba di lantai satu rumahnya. Wanita berperawakan manis itu segera membuka pintu rumahnya.
"Dia kenapa pak?" tanya Vania panik saat menyadari jika ayah dari anak-anaknya tidak sadarkan diri.
"Dia pingsan Nyonya, karena kedinginan. Tuan beringas tidak meninggalkan gerbang selangkahpun sejak 1,5 jam yang lalu Nyonya, sedang di luar ada hujan badai salju." kata pria paruh baya yang tadi menolong Bagas.
"Bawa masuk ke dalam pak, bawa ke kamar tamu," kata Vania seraya mengarahkan pada salah satu kamar tamu ada di lantai satu.
Sedangkan Vania segera menghubungi Dokter Charlote. Karena bagaimanapun kondisi Bagas tidak baik-baik saja.
"Dokter, bisakah kau kerumah sekarang? Di rumahku ada orang yang pingsan dan kemungkknan dia terkena Hipotermia," kata Vania dengan suara yang masih terdengar panik dan tergesa-gesa. Meski teramat membenci Bagas tapi Vania bukan orang yqng tidak punya hati hingga membiarkan orang tidak berdaya seperti itu.
Tidak membuyuhkan waktu lama Dokter Charlote bersama seorang perawat datang ke kediaman Vania.
"Di mana pasiennya Nak?" tanya Dokter Charlote.
"Dia di sini Dokter," Vania memebawa Dokter Charlote mengikuti langkahnya menuju kamar di mana Bagas berada.
Dengan tenang wanita paruh baya itu memeriksa pria yang tidak sadarkan diri itu. Tanpa banyak kata suster yang di bawa dokter Charlote menyuntikkan obat melalui pembuluh darah Bagas.
"Kau tenang saja Nak, kondisinya akan segera membaik. Jika ada apa-apa kau bisa menghubungi aku!" kata Dokter Charlote dengan wajah meneduhkan.
"Apa Dokter bisa menunggunya hingga dia siuman? Jika Dokter tidak keberatan," tanya Vania dengan wajah memelas.
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan Sayang, jika memang ada sesuatunyang gawat kau bisa memanggil diriku kembali." kata Dokter Charlote sebelum berpamitan pergi.
"Aku harap kondisi mental mu mampu membaik dengan berhadapan langsung dengan trauma masa lalu mu Vania. Aku tahu kau takut menghadapinya tapi kau harus mencobanya, tidak mungkin kau selalu lari dari masalah mu Nak," lirih Dokter Charlote saat keluar dari kediaman Vania.
Ya dia tahu siapa pria yang terbaring tidak berdaya di kediaman Vania saat ini. Pria yang menjadi trauma mengerikan bagi sosok seorang Vania.
Tring...Tring...Tring...
Dering ponsel membangunkan pria tampan yang sekarang sedang bergelung manja di ranjang bersama istri tercintanya.
Dengan setengah sadar Ibra meraih ponselnya, tapi tangannya terasa berat dan setelah dia mengerjapkan matanya barulah dia sadari jika sang belahan jiwanya sedang memeluk dirinya erat.
Ibra mengalihkan tangan Farah secara perlahan, tidak ingin sang istri terbangun. Mengingat Farah yang terlihat sangat lelap dalam tidurnya.
"Assalamu'alaikum, iya Dokter," sambut Ibra menyapa orang di seberang sana.
"Apa? Jadi Bagas sudah ada di sini? Dalam keadaan terkena hipotermia?" serobot Ibra saat mendengar perkataan lawan bicaranya di seberang sana.
"Iya Ibra, sekarang keadaannya sudah di tangani," Sahut dokter Charlote dari sebwrang sana.
"Apakah Vania baik-baik saja?" tanya Ibra lagi.
Sungguh calon ayah itu sangat mengkhawatirkan adik semata wayangnya itu.
"Semoga saja tidak akan terjadi apa-apa, tapi jika sesuatu terjadi saya sudah meninggalkan pesan pada pelayan rumah agar segera menghubungi Saya," kata Charlote.
Setelah pembicaraan mereka berdua usai tinggallah Ibra dengan hati risau. Mampukah Vania mengatasi traumanya ketika harus kembali bertemu sosok masa lalunya?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jauhkan Hamba dr siksa neraka spt ini ya Tuhan