Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Desa Nordhafen (bag.1)
Pagi itu, mentari baru saja naik, menyinari halaman kediaman keluarga Heinrich yang sibuk seperti biasanya. Di dalam ruang kerja yang luas, tumpukan dokumen memenuhi meja panjang dari kayu mahoni. Heinrich duduk di baliknya dengan wajah serius, meneliti setiap lembaran laporan tentang pembangunan kembali Desa Fischerdorf yang hancur akibat serangan goblin beberapa waktu lalu.
Di sampingnya, Seraphina—istri sekaligus penasihat tepercayanya—membantu menyusun prioritas kebutuhan, sementara Liliana sibuk mencatat pesanan logistik yang akan dikirim ke lokasi pembangunan. Suasana penuh kesibukan itu sedikit terganggu ketika pintu diketuk lembut.
"Ayah, aku ingin meminta izin," ujar Anastasia sambil melangkah masuk dengan anggun. Di belakangnya, Bismarck berdiri dengan tenang, menunggu di ambang pintu.
Heinrich mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen. "Izin untuk apa, Anastasia?" tanyanya dengan nada lelah, namun tatapannya tetap penuh wibawa.
Anastasia menarik napas sejenak sebelum berbicara. "Aku ingin pergi ke Desa Nordhafen. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan di sana," katanya jujur.
Heinrich mengerutkan kening. "Desa Nordhafen? Kenapa tiba-tiba?" Suaranya terdengar tajam, jelas menunjukkan kekhawatirannya.
Sebelum Anastasia sempat menjawab, Seraphina menoleh padanya dengan tatapan lembut namun penuh selidik. "Apakah ini tentang janji pembayaran upah para penjaga di pelabuhan waktu itu?"
Heinrich yang duduk di belakang meja kerjanya menghentikan aktivitasnya sejenak. "Pembayaran tentang apa?" tanyanya dengan suara tegas namun penasaran.
Seraphina tersenyum tipis sebelum menjawab, "Pembayaran untuk menjaga kapal raksasa. Kapal milik Bismarck yang menyelamatkan kita waktu itu. Tanpa bantuannya, mungkin kita semua sudah tidak ada di sini."
Mata Heinrich menyipit, kini beralih menatap Bismarck dengan penuh minat. "Jadi, kapalmu ada di pelabuhan Nordhafen, Bismarck?" tanyanya, suaranya terdengar ingin tahu sekaligus waspada.
"Benar, Tuan," jawab Bismarck dengan nada hormat, menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. "Kapal saya berada di desa Nordhafen, dijaga oleh beberapa penduduk desa." Ia sengaja tidak membongkar fakta bahwa kapal itu sebenarnya adalah bagian dari dirinya sendiri.
Heinrich mengangguk pelan, mencerna informasi tersebut sebelum akhirnya bertanya, "Baiklah, berapa banyak yang kalian butuhkan?"
Anastasia yang sejak tadi diam kini angkat bicara, suaranya jelas dan penuh keyakinan. "Sekitar 20 koin emas, Ayah. Ada delapan orang yang berjaga. Setiap orang akan menerima dua koin emas, sedangkan ketuanya mendapatkan tiga koin emas. Satu koin emas lagi untuk sewa dermaga, yang akan masuk ke kas desa."
Heinrich mengangguk sekali lagi, lalu melirik ke arah pintu. "Clausewitz," panggilnya, memanggil kepala pelayan yang selalu setia di dekatnya.
Tidak butuh waktu lama, seorang pria paruh baya dengan jas rapi masuk ke dalam ruangan dan membungkukkan badan. "Ya, Tuan?"
"Ambilkan 25 koin emas," perintah Heinrich singkat. "Dua puluh untuk pembayaran penjaga dan dermaga, sisanya untuk Anastasia sebagai uang perjalanan."
Clausewitz membungkuk dalam sebelum pergi untuk melaksanakan perintah tersebut.
Setelah suasana kembali tenang, Heinrich menoleh lagi pada Anastasia. "August tidak ikut bersamamu?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya.
Anastasia menghela napas ringan, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Ayah. Dia sibuk dengan pelatihan sihirnya. Sementara Hans dan yang lain sedang menjalani pelatihan ksatria. Hanya Bismarck dan Katarina yang punya waktu luang, jadi mereka yang akan menemaniku."
Heinrich tampak kurang setuju, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Seraphina menyentuh lengannya dengan lembut. Senyum tipis menghiasi wajahnya. "Biarkan saja, Heinrich," katanya dengan suara menenangkan. "Jika Bismarck bersamanya, aku yakin Anastasia akan baik-baik saja."
Heinrich menatap istrinya beberapa saat, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata itu. Akhirnya, ia menghela napas panjang, menyerah pada keputusan yang telah diambil. "Baiklah," ujarnya, nada suaranya masih menyiratkan kekhawatiran. "Hati-hati di perjalanan."
Namun, sebelum Anastasia sempat menjawab, ia menambahkan dengan nada lebih tegas, "Tapi pastikan kau kembali dengan selamat. Jika terjadi sesuatu, segera kirim pesan menggunakan kristal komunikasi."
Anastasia tersenyum lega, merasa hangat oleh perhatian ayahnya yang tersembunyi di balik sikap tegasnya. "Terima kasih, Ayah. Aku janji akan berhati-hati," ucapnya mantap, menunjukkan rasa tanggung jawabnya.
Tak lama kemudian, Clausewitz kembali membawa sekantung uang emas di tangannya. Ia membungkuk hormat sebelum menyerahkan kantong itu kepada Heinrich. Dengan gerakan tenang, Heinrich mengambil kantong tersebut dan menyerahkannya langsung kepada Anastasia.
"Ini uang untuk membayar para penjaga di pelabuhan," katanya, suaranya penuh wibawa. "Jangan sampai lupa menepati janji kalian. Orang yang memegang kata-katanya akan selalu dihormati."
Anastasia melangkah maju, menerima kantong itu dengan kedua tangannya. Ia menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. Di dalam hatinya, ia merasa lega dan bersyukur. Meskipun ayahnya dikenal tegas dan kaku, ia adalah pria yang selalu menepati janji dan memegang prinsip keadilan di atas segalanya.
"Baik, Ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu," ucapnya tulus sebelum melangkah mundur dengan anggun.
Di sisi lain, Seraphina hanya tersenyum lembut, merasa yakin bahwa putrinya berada di tangan yang tepat. Sementara itu, Bismarck dan Katarina yang berdiri di belakang Anastasia saling bertukar pandang sekilas, menunjukkan kesiapan mereka untuk menjaga dan menemani perjalanan penting ini.
Di tengah keheningan sejenak, suara lembut namun penuh arti terdengar dari meja kerja di sudut ruangan. "Anak-anak sepertinya tumbuh dengan sangat cepat, ya, Seraphina," ujar Liliana, yang sejak tadi menyimak percakapan mereka dengan tenang.
Seraphina menoleh ke arahnya, senyum hangat masih menghiasi wajahnya. "Benar sekali," jawabnya pelan. "Rasanya baru kemarin mereka masih berlarian di halaman, dan kini mereka sudah memikul tanggung jawab sebesar ini."
Heinrich hanya mendengus kecil, meskipun dalam hatinya ia setuju dengan ucapan itu. Matanya sekali lagi memandangi Anastasia, seolah ingin memastikan bahwa putrinya benar-benar siap menghadapi perjalanan yang ada di depan.
Liliana menatap Anastasia penuh kebanggaan tersirat di matanya. "Mereka bukan lagi anak kecil. Cepat atau lambat, mereka akan menghadapi dunia luar dan menentukan jalan mereka sendiri," tambahnya, nada suaranya lembut namun sarat makna.
Siang itu, setelah izin didapatkan, persiapan segera dilakukan. Di gudang senjata, Anastasia memeriksa persenjataannya dengan saksama. Ia mengambil dua pistol Mauser C96—senjata andalannya dan pedang dagger yang tajam berkilauan di bawah cahaya redup ruangan.
"Aku rasa ini cukup. Satu untukku dan satu lagi untuk Katarina," gumamnya pelan, memastikan kedua pistol itu dalam kondisi prima sebelum mengamankannya di sabuk pinggang. Dengan gerakan cekatan, ia menyarungkan dagger di pinggang sebelah kiri, siap digunakan sewaktu-waktu.
Sementara itu, di dapur, Bismarck dan Katarina sibuk menyiapkan perbekalan untuk perjalanan panjang mereka. Katarina membungkus beberapa roti kering, daging asap, dan beberapa botol air dalam keranjang anyaman yang kuat. Tangannya bergerak lincah, memastikan semua makanan tersimpan rapi dan mudah dijangkau.
Di sisi lain, Bismarck memeriksa bumbu-bumbu penting dan obat-obatan darurat. Ia memasukkan ramuan penyembuh, kain perban, dan beberapa alat medis sederhana ke dalam tas kulit di punggungnya. "Kita tak tahu apa yang menunggu di perjalanan. Lebih baik bersiap daripada menyesal," ucapnya pelan, memastikan tak ada yang terlewat.
Setelah semua persiapan selesai, mereka bertiga berkumpul di depan kediaman utama. Sebuah kereta kuda berwarna hitam mengilap telah disiapkan, tampak kokoh dan elegan di bawah sinar matahari. Bismarck duduk di posisi kusir, memegang kendali dengan tenang, sementara Anastasia dan Katarina naik ke dalam kereta, memastikan barang bawaan mereka tersusun rapi.
Dengan sinar matahari yang mulai condong ke barat, roda kereta perlahan bergerak, membawa mereka meninggalkan halaman kediaman Heinrich. Perjalanan menuju Desa Nordhafen pun resmi dimulai, dengan semilir angin sore yang lembut menyertai langkah awal petualangan mereka.