Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sepulang dari butik, Quin langsung pulang. Sesaat setelah berada di dalam rumah, gadis itu mengerutkan kening.
Suasana rumah sedikit berbeda. Karena keberadaan Bik Yuni juga Naira yang tak terlihat seperti hari kemarin.
"Kok, tumben sepi. Damar, di mana dia?" gumam sembari melangkah pelan memindai seluruh ruangan di dalam rumah itu. "Ibu dan anak itu ... ke mana mereka? Apa sudah di telan bumi?"
Quin kemudian tertawa merasa lucu dengan ucapannya barusan. Ketika ia berbalik, gadis itu terkejut.
"Damar, kamu membuatku terkejut," ucap Quin sembari mengusap dada.
Damar bergeming seraya tersenyum. Menatap wajah sang asisten sekaligus merasa gemas.
"Oh ya, Bik Yuni dan Naira ke mana? Tumben anak dan mama itu nggak kelihatan?" tanya Quin.
"Mereka sudah aku asingkan ke rumah utama," jawab Damar apa adanya.
"But why?" tanya Quin lagi.
"Sejujurnya aku sangat risih dengan keduanya. Sejak kamu mulai tinggal di rumah ini, aku bisa merasakan, mereka nggak menyukaimu. Gerak gerik kita pun seperti diawasi oleh mereka," jelas Damar lalu menghela nafas.
Hening sejenak ....
"Oh ya, aku ke kamar dulu sekalian ingin membersihkan diri. Aku ada undangan dari kak Altaf," izin Quin.
"Aku juga mendapat undangan darinya. Bagaimana jika kita ke sana barengan saja," usul Damar.
"Aku sudah janjian dengan Al," kata Quin.
"Tenang saja, nanti aku akan menghubungi Adrian supaya menjemput Al di apartemennya. Kita bertemu mereka di tempat acara saja ... bagaimana?" saran Damar.
"Sound good. Ya sudah, aku ke atas dulu. Sebaiknya kamu juga bersiap-siap."
"Hmm." Hanya itu jawaban dari Damar.
Satu jam berlalu ...
Setelah selesai memoles wajahnya dengan make up, sang designer tersenyum saat menatap pantulan dirinya dari depan kaca.
"Sebaiknya aku ke kamar si Mr. Bre ... ah, bukan. Soalnya brewoknya sudah hilang." Quin tergelak mengingat pria itu.
Setelah memasukkan ponsel ke dalam hand bag-nya, Quin kemudian ke kamar Damar.
"Damar."
Damar menoleh sekaligus tertegun memandangi Quin. 'My beautiful Quin,' batin Damar.
"Sudah?" tanya Quin.
Damar menggeleng seraya memperlihatkan bros yang dipegangnya. Tanpa pikir panjang, Quin mengambil benda itu lalu menyematkan ke jas sang CEO.
"Hmm ... perfect," bisik Quin sembari mengusap dada Damar.
"Thanks Quin." Damar menatap gadis itu turun ke bibir. Seketika imannya kembali tergoda.
"Ada apa?" Quin menyatukan keningnya dengan Damar. Mendekatkan bibir dan siap disambut oleh pria itu.
Akan tetapi, Quin langsung tertawa seraya menahan dada Damar. Ia lalu berbisik, "Dasar player, dipancing sedikit saja langsung bereaksi."
Damar mengusap tengkuk lalu menggigit bibir bawahnya. "Karena aku pria normal, yang nggak bisa menolak pesona seorang wanita cantik, seksi dan menggoda," aku Damar.
"Oh, God, nggak kebayang sudah berapa banyak wanita yang kamu tiduri. Apa kamu nggak pernah berpikir, benihmu terbuang sia-sia?"
"Player is player, Quin. Selagi belum berkomitmen dengan seseorang yang spesial. Aku rasa itu nggak masalah," jelas Damar tanpa dosa.
"Disgusting," ucap Quin sambil geleng-geleng kepala. Ia kemudian meninggalkan Damar di ruangan itu.
Damar tertawa mendengar ucapan itu seraya membatin, 'Aku nggak akan membuang benihku jika wanita itu adalah kamu, Quin.'
Sadar jika Quin sudah meninggalkan dirinya, Damar segera menyusul gadis itu.
.
.
.
JWM Hotel Kota J ....
Setibanya di hotel bintang lima itu, Quin dan Damar langsung menuju ballroom hotel. Al dan Adrian yang sejak tadi sudah menunggu, langsung menghampiri keduanya.
"Damar, Adrian, kami tinggal sebentar, ya. Aku dan Al ingin menyapa kak Altaf dan kak Karin dulu," izin quin.
"Baiklah," kata Damar. Kedua gadis itu pun menghampiri Altaf juga Karin.
"Kak, selamat ya, atas peluncuran produk cosmetics terbarunya. By the way, jika kalian membutuhkan model untuk bintang iklan cosmetics itu ... bolehlah Al menjadi modelnya," kelakar Quin sekaligus merekomendasikan sahabatnya.
"Ish, kamu apa-apaan sih, Quin!" protes Al kesal.
"Nggak masalah, Quin. Justru kami senang jika bisa bekerja sama dengan kalian," tutur Karin dan di aminkan oleh Altaf.
Altaf menepuk pelan lengan eks calon adik iparnya itu seraya berkata, "Quin, apa kamu baik-baik saja? Maaf, atas perbuatan memalukan Angga dan Kinar."
"Aku baik-baik saja Kak. Namun, baru 20 persen dan sisanya ... ah, you know-lah. Oh ya, mama dan papa kok, belum terlihat?"
"Mama dan papa sudah satu minggu berada di Taiwan. Mereka sengaja pulang ke negara itu karena terlanjur kecewa pada Angga," jelas Karin sekaligus menyesali perbuatan sang adik.
Tak lama berselang, Damar dan Adrian menyapa mereka.
"Altaf, Karin, selamat ya, atas peluncuran produk barunya. Semoga sukses terus ke depannya," ucap Damar seraya menjabat tangan Altaf dan Karin.
"Terima kasih, Damar," balas Altaf dan Karin bergantian. "By the way, aku senang bisa melihat penampilanmu seperti ini lagi."
Damar melirik Quin seraya mengerling nakal. Sedangkan yang dilirik langsung memutar bola matanya malas.
"Quin, sebaiknya kita cari minum dulu," cetus Al dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Quin.
Setelah sedikit menjauh, seorang pelayan langsung menghampiri keduanya lalu menawari minuman.
Quin melirik Al sekaligus merasa ragu ingin mengambil minuman itu dari nampan. Ia kemudian berbisik, "Al, sebenarnya aku khawatir jika minuman itu ..."
"Ada obat tidurnya?" sambung Al lalu tergelak. "Mana mungkin, Quin. Lagian bukan cuma kita tamu di sini."
"Aku hanya was was. Takut seperti kejadian kemarin," timpal Quin lalu memutuskan mengambil minuman itu.
Senyum Angga seketika terukir di bibir. Sejak tadi, ia terus memperhatikan Quin juga Al.
Satu jam berlalu ...
Acara puncak pun dimulai dengan pidato singkat dari Altaf dan Karin. Keduanya memperkenalkan kosmetik terbaru mereka.
Beberapa model yang dipercaya menjadi brand ambassador produk itu, turut hadir sekaligus ikut mempromosikan.
Setelah selesai memperkenalkan sekaligus mempromosikan produk itu, acara terus berlanjut dengan penampilan beberapa artis ibu kota.
Para tamu undangan cukup terhibur selama acara itu berlangsung. Termasuk Quin dan Al.
Sedang asyik-asyiknya mendengar lagu yang dibawakan oleh penyanyi ibu kota, kedua gadis itu disapa oleh Angga dan Dennis.
Kedua pria itu, ikut duduk bergabung di satu meja yang sama, dengan Damar, Quin, Al juga Adrian.
Sedangkan dari meja yang tak terlalu jauh, sejak tadi Kinar terus saja memperhatikan Quin, Angga juga Damar. Kesal, iri sekaligus benci memandangi saudara tirinya.
'Apa Quin dan Damar sedang menjalin hubungan spesial?' batin Kinar.
Tak lama berselang seorang pelayan membawa wine untuk mereka. Quin, tersenyum melihat minuman itu.
Kali ini, Quin tak menaruh curiga, karena ia merasa baik-baik saja setelah meminum minuman yang sebelumnya.
Altaf yang ingin ikut bergabung, terpaksa mengurungkan niat, karena harus menyambut tamu-tamu penting.
"Bersulang," kata Damar seraya mengangkat gelas diikuti dengan yang lainnya.
Seusai meneguk wine-nya, Quin mendekatkan bibir ke telinga Damar lalu berbisik, "Sebenarnya, aku takut jika di minuman ini ada sesuatu, maybe. Khususnya gelasku."
"Come on, Quin, no way." Damar tertawa merasa lucu. "Positif thinking saja, Honey. Kok, kamu bisa berpikiran seperti itu, sih?"
"Who knows?" bisik Quin lagi.
Melihat interaksi Quin dan Damar yang begitu dekat, Angga terbakar api cemburu. Akan tetapi, ia tetap bersikap santai disertai senyum sinis memandangi eks tunangannya.
Tiga puluh menit berlalu ....
Quin merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tatapannya kini tertuju ke arah Angga lalu tersenyum manis.
"Aku ke toilet dulu, ya," izin Quin. Saat melewati Angga, ia sengaja menyentuh punggung pria itu dengan lembut.
Akan tetapi dalam hatinya sedang mengumpat juga memaki pria berdarah Tionghoa itu.
"Jangan lama-lama soalnya setelah ini, kita akan pulang," pesan Damar dan Quin mengangguk pelan.
Sedangkan Angga tersenyum penuh arti begitu Quin menyentuh punggungnya. Pikirnya itu adalah kode.
"Damn it! Lagi, dia melakukannya!" umpat Quin sesaat setelah berada di luar ballroom. "Oh, God! Aku bisa gila jika seperti ini." Quin lanjut mengayunkan langkah menuju toilet.
Rasa panas mulai menjalari tubuhnya disertai hasrat yang kian membara. Ingin rasanya ia melepas pakaiannya detik itu juga.
Ia kemudian menghubungi Al sekaligus memberitahu, jika ia sedang tak baik-baik saja.
Seusai menerima panggilan itu, Al memilih berpamitan.
"Ada apa, Al?" tanya Damar.
"Quin mengajakku pulang."
"Biar aku saja," balas Damar. Pria itu langsung mengayunkan langkah panjang untuk menemui Quin.
Quin yang sedang berdiri di depan pintu toilet, terlihat menatap langit-langit. Mendengar derap langkah kaki menuju ke arahnya, ia menoleh.
"Apa kamu baik-baik saja?" bisik Damar sesaat setelah berdiri di hadapan Quin.
Quin menggeleng seraya mengusap rahang Damar. Mendekatkan wajah lalu mencium bibirnya.
Bak gayung bersambut, Damar membalas ciuman itu. Sehingga Quin sendiri yang melepas pagutan bibirnya.
Quin memeluk Damar dengan erat, seraya berbisik, "Damar, aku butuh obat tidur atau obat bius, please. Hanya obat itu yang bisa mencegah hasrat menggebuku saat ini.'
"Bagaimana jika kita tuntaskan bersama?" goda Damar sekaligus bercanda lalu tersenyum.
"Are you kidding me?"
Damar tak menjawab. Ia melonggarkan pelukannya lalu menatap wajah sendu Quin. Mengecup kening juga bibirnya kemudian mengajaknya pulang.
...----------------...