Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti Baru
Wajah Damar yang kesal langsung tersenyum begitu melihat Mirna masih tertidur di sofa. Hatinya yang sedang terbakar emosi karena Anita langsung adem begitu menatapi wajah Mirna yang kelihatan lelah.
Kelihatan kalau kondisi Mirna memang belum benar-benar pulih meskipun sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit.
Dengan hati-hati tangan Damar terulur, merapikan rambut sebahu Mirna yang terjuntai lalu mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan aku Mirna,” desis Damar dengan suara pelan. “Seandainya waktu bisa diputar, aku pasti tidak akan membiarkan siapapun juga menyakitimu apalagi sampai membuatmu hampir kehilangan nyawa. Maaf karena aku sudah melanggar janjiku padamu.”
Damar menjeda, lehernya tercekat karena penyesalan dan kesedihan yang ditahannya sejak mendapat kabar Mirna mengalami kecelakaan.
“Setiap malam aku berdoa supaya Tuhan memberikan kesempatan kedua untukku. Aku tidak peduli sekalipun kamu sudah lupa segalanya tentang aku tapi sampai kapanpun kenangan bersamamu tidak akan pernah hilang dari ingatanku. Aku sangat menyayangimu Mirna, maafkan aku.”
Mirna menggeliat saat tangan Damar mengusap wajahnya namun tidak berani langsung membuka mata karena kehangatan tangan kekar yang masih menempel di pipinya membuat wajah Mirna mulai panas.
Damar langsung tersenyum begitu melihat perubahan pipi Mirna yang mulai kemerahan dan tubuhnya sedikit menegang tapi mata Mirna masih terpejam.
“Ternyata kamu suka ngiler kalau tidur.”
Mendengar ucapan Damar, spontan Mirna membuka matanya lebar-lebar dan tangannya langsung mengusap di sekitar bibirnya dengan wajah malu-malu membuat Damar langsung tergelak.
“Ternyata kamu masih gampang dibohongi.” Mirna meringis saat Damar menyentil keningnya.
Damar beranjak dan berjalan menuju meja kerjanya. “Siap-siap, kita ke kantor Rangga sekarang.”
“Urusan bapak di sini sudah beres ?”
“Sudah.”
Damar menatap Mirna dengan mata memicing tapi wanita itu pura-pura tidak melihat malah cepat-cepat mengambil tas selempangnya dan berjalan ke arah pintu.
“Mau kemana ?” tanya Damar.
“Ke toilet.”
“Jangan lupa ilernya dibersihin,” ledek Damar sambil tertawa.
“Saya nggak ngiler,” protes Mirna dengan wajah cemberut tapi Damar malah mengerling, menggoda Mirna di sela tawanya..
Sambil menggerutu Mirna meninggalkan Damar yang masih merapikan laptopnya.
“Ternyata kamu masih menggemaskan, Mirna,” gumam Damar pada dirinya sendiri.
Begitu sampai di lobi, Mirna berniat menghampiri Anita yang sedang menerima tamu di sudut ruangan untuk pamitan tapi Damar mencegahnya malah pria itu tidak mau melepaskan genggamannya sampai ke parkiran.
“Apa bapak selalu memperlakukan semua sekretaris seperti ini ?”
Dengan kasar Mirna menghempaskan tangan Damar begitu mereka sudah berada di samping mobil. Wajahnya kembali cemberut dan kelihatan sangat kesal tapi Damar tetap tenang dan membukakan pintu untuk Mirna.
“Tidak, hanya sama kamu.”
“Kenapa ? Karena kebetulan saya mirip dengan istri bapak dan sama-sama penyakitan ?”
“Tolong masuk dulu, aku akan menjelaskannya di perjalanan. Sudah ada orang yang menungguku di kantornya Rangga.”
Kali ini wajah Damar terlihat serius hingga Mirna tidak memperpanjang omelannya, langsung masuk ke mobil.
Ternyata sepanjang perjalanan, Damar malah sibuk menerima 2 panggilan telepon yang menghubunginya bergantian hingga tidak ada waktu untuk memberikan penjelasan pada Mirna.
“Saya matikan dulu, Dwi.”
Damar memutus pembicaraannya saat mobil sudah berhenti di lobi kantor Rangga. Pria itu tersenyum tipis dan tangannya sempat mengusap kepala Mirna.
“Aku langsung jalan dulu, janjiannya nggak jadi di kantor. Kalau aku belum balik saat makan siang, kamu boleh ajak Dewi atau siapapun untuk menemanimu tapi jangan lupa kasih aku kabar.”
Mirna hanya mengangguk tanpa bertanya siapa yang akan ditemui Damar dan kemana pria itu akan pergi.
Baru saja Mirna menutup pintu, mobil Damar sudah langsung melaju lagi seperti sedang terburu-buru. Mirna sempat bergeming, alisnya menaut menatap mobil Damar yang berbelok ke kiri dan menghilang cepat.
***
Sekitar 45 kemudian mobil Damar tiba di depan sebuah bangunan rumah 2 lantai dengan model minimalis. Seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun membukakan pintu dan menyapa Damar yang membuka kaca saat melintasi gerbang.
“Selamat siang, Tuan.”
Damar menganggukkan kepala. “Apa Ardi sudah di dalam ?”
“Sudah sekitar 30 menit yang lalu Tuan. Om Ardi tidak bawa mobil hari ini.”
“Ok, saya masuk dulu. Terima kasih Man.”
“Sama-sama Tuan.”
Damar memarkir mobilnya ke garasi, persis di sebelah mobil lain berwarna merah cerah. Sampai di teras, seorang pria baya sudah menunggu Damar di depan pintu.
“Selamat siang Tuan. Bagaimana kabarnya nona Chika ?”
“Baik Pak Dul. Chika senang karena bisa tinggal di dekat Mirna.”
Pria baya bernama Abdul itu mengikuti Damar masuk ke dalam rumah menuju teras belakang.
“Saya dengar kondisi nona Mirna juga semakin membaik.”
Damar menghela nafas sambil mengangguk pelan. “Secara keseluruhan semakin membaik, hanya kakinya yang masih perlu perawatan lebih lanjut.”
“Tuan Ardi sudah menunggu anda.”
“Terima kasih pak Dul. Tolong bikinkan saya kopi biasa.”
“Baik Tuan.”
Seorang pria seumuran Damar mengangkat tangannya saat melihat orang yang ditungguny sedang berjalan di balik pintu kaca yang membatasi teras dengan bagian dalam rumah.
“Sorry kalau gue mengganggu. Budi bilang elo lagi asyik berduaan sama Mirna,” ledek Ardi sambil terkekeh.
“Asisten bocor,” umpat Damar membuat Ardi tertawa.
“Gimana ? Ada perkembangan baru ?”
Damar duduk di dekat Ardi sambil mengangkat kaki bertumpu di atas kaki lainnya.
“Sepertinya dugaan elo benar, Bro, Harry sudah memastikan kalau hasil pemeriksaan darah Mirna dipalsukan dan polisi sudah menangkap dua orang yang bertugas malam itu tapi dan baru kemarin mereka resmi ditetapkan sebagai tersangka.”
“Apa Harry bisa mencari tahu kandungan obat yang dikonsumsi Mirna sebelum kecelakaan ?”
“Harry perlu melakukan pemeriksaan ulang karena hasil aslinya sudah dihapus tapi gue sudah minta tolong tim-nya Bastian untuk memulihkan kembali filenya. Sementara ini kita hanya berpegang pada pengakuan kedua orang itu.”
“Apa mereka sudah mengaku siapa yang memberikan perintah ?”
“Mereka tidak pernah bertemu langsung, Bro. Komunikasi hanya terjadi lewat wa dan semua pesannya sudah dihapus tapi berhasil dipulihkan oleh orang-orangnya Bastian. Mereka menggunakan nomor sekali pakai dan pembayaran lewat setoran tunai, menggunakan nama orang lain sebagai penyetornya.”
Damar menarik nafas panjang dan terdengar berat.
“Gue akan minta ijin sama Rangga supaya Harry diperbolehkan melakukan tes darah lagi.”
“Harry tidak bisa menjanjikan hasil yang pasti karena sudah dua bulan lebih, Dam tapi lebih baik mencoba daripada penasaran kan ?”
“Hhhmmm.”
“Kemana gue harus membawa Mirna ?”
“Untuk amannya ke rumah sakit tempat Harry praktek, Bro.”
“Tolong hubungi Harry, tanyakan kalau besok gue bawa Mirna ke sana, apa dia ada waktu ?”
Ardi hanya mengangguk karena tangannya langsung mengambil handphone untuk menghubungi Harry sementara Damar mengirimkan pesan pada Rangga.
“Besok bisa, Dam.”
“Oke, Rangga juga tidak masalah. Besok kita ketemu di rumah sakit.”
“Siap Dam.”
pergi ke akhirat mgkin
ah... lama2 jadi maminya sendiri