Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# BAB 31: BEKERJA DENGAN MUSUH
Senin pagi, jam setengah delapan. Elang berdiri di depan gedung Hartavira dengan tas kulit sintetis di tangan yang gemetar—gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam dari itu. Sesuatu yang kayak campuran antara amarah, kesedihan, dan ironi yang terlalu pahit buat ditelan.
Ini gedung yang dia bangun. Setiap batu, setiap kaca, setiap sudut—dia yang pilih, dia yang approve, dia yang punya mimpi besar waktu groundbreaking ceremony lima tahun lalu. Waktu itu dia berusia dua puluh tujuh, CEO termuda dengan visi yang bikin investor tua-tua kagum. Dia berdiri di podium dengan champagne di tangan, senyum lebar ke kamera, dan Brian di sampingnya—sahabat yang tepuk punggungnya sambil bisik, "Kita berhasil, Lang. Ini baru awal."
Sekarang dia balik ke sini. Tapi bukan sebagai pemilik. Bukan sebagai CEO. Bukan bahkan sebagai Elang Alghifari.
Sebagai Galang Saputra. Konsultan upahan. Orang luar yang dikasih akses karena perusahaan—perusahaan *miliknya*—lagi sekarat dan butuh bantuan.
Napas keluar gemetar. Tangan kanan naik ke dada, rasakan detak jantung yang terlalu cepat, terlalu keras. Butiran tasbih kayu Anya tersembunyi di saku celana—dia genggam erat sampai pahatan kayu ninggalin bekas di telapak tangan.
*Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku jatuh di langkah pertama ini.*
Dia melangkah masuk.
---
Lobby yang dulu dia hafal di luar kepala sekarang terasa asing dengan cara yang menyakitkan. Logo Garuda Investama—burung garuda dengan sayap terbentang, simbol kebebasan dan ambisi yang dia rancang sendiri dengan desainer—sekarang diganti jadi logo Hartavira: inisial H dan V yang dirangkai jadi sesuatu yang modern tapi impersonal. Warna biru langit yang dulu jadi signature diganti jadi abu-abu gelap dengan aksen merah marun. Bahkan tanaman hias di sudut lobby pun beda—dari pakis hijau yang dia suka jadi tanaman artificial yang keliatan mahal tapi mati.
Semua berubah. Kayak jejak dia dihapus systematically, kayak dia gak pernah ada, kayak Garuda Investama cuma mimpi yang dia halusinasi dan yang nyata cuma Hartavira.
"Pak Galang?" Resepsionis—beda dari yang dulu, yang dulu kenal dia, yang dulu senyum genuine kalau dia lewat—memanggil dengan sopan tapi impersonal. "Silakan ke lantai dua puluh delapan. Pak Brian sudah menunggu."
Elang angguk, gak percaya suaranya bakal keluar stabil kalau dia coba ngomong sekarang.
Lift naik dengan lambat yang menyiksa. Setiap ding yang nandain lantai baru terasa kayak countdown ke sesuatu yang mengerikan dan inevitable. Lantai lima—dulu lantai HRD dimana dia sering turun buat makan siang bareng staff, buat ngingetin diri sendiri bahwa dia bukan cuma bos di menara gading tapi bagian dari tim. Lantai dua belas—dulu lantai finance dimana Stella bekerja, dimana dia sering diskusi sampe malem tentang proyeksi dan strategi.
Lantai dua puluh delapan. Ding.
Pintu terbuka ke koridor yang terlalu familiar. Karpet masih sama—abu-abu dengan garis-garis tipis silver yang dia pilih karena keliatan professional tapi gak terlalu kaku. Tapi lukisan di dinding beda. Foto-foto achievement perusahaan di dinding sebelah kiri juga beda—semua foto dengan Brian sebagai center, dengan Zara di sampingnya tersenyum ke kamera, dengan penghargaan-penghargaan yang didapet *setelah* Elang keluar dari gambar.
Gak ada satu pun foto yang nunjukin Elang pernah ada. Kayak dia gak pernah exist. Kayak tiga tahun pertama Garuda Investama adalah periode gelap yang harus dilupakan dan yang mulai "bersinar" baru setelah Brian ambil alih.
Tenggorokan Elang terasa tercekik. Mata panas—tanda air mata mulai berkumpul tapi dia paksa mundur dengan kedip cepat beberapa kali. Gak boleh. Gak di sini. Gak sekarang.
Sekretaris Brian—wanita muda yang gak pernah dia kenal, yang gak pernah tau siapa Elang Alghifari—sambut dengan senyum professional. "Pak Galang, selamat datang. Pak Brian ada di ruangannya. Silakan masuk."
Ruangannya. *Ruangannya*.
Bukan ruangan Brian. Itu ruangan *Elang*. Ruangan dengan jendela besar menghadap ke Jakarta Selatan, dengan meja kayu jati yang dia beli dengan gaji pertama sebagai CEO, dengan kursi ergonomis yang punggungnya pas banget sama lengkungan tulang belakangnya setelah berjam-jam kerja. Ruangan dimana dia pernah nangis diam-diam waktu deal pertama berhasil, dimana dia pernah sholat tahajjud pas deadline mepet, dimana dia pernah bermimpi membangun empire bisnis yang jujur dan bermartabat.
Sekarang Brian duduk di sana. Di kursi itu. Di belakang meja itu. Di ruangan itu.
Elang melangkah masuk dengan kaki yang rasanya mau patah.
Brian angkat kepala dari laptop, senyum lebar—senyum yang dulu Elang pikir tulus, sekarang dia tau cuma topeng dari ular berbisa. "Galang! Selamat datang di hari pertamamu. Come, sit."
Elang duduk di kursi tamu di depan meja—kursi yang dulu buat klien, buat partner, buat orang yang datang minta sesuatu dari *dia*. Sekarang dia yang duduk di sana. Dia yang jadi orang luar. Dia yang jadi... nobody.
"Jadi," Brian mulai dengan energi yang terlalu tinggi buat Senin pagi, "aku udah siapin semua data yang lo butuhin. Financial report lima tahun terakhir, struktur organisasi, list aset dan liabilitas, kontrak dengan klien, semuanya." Dia geser tablet ke arah Elang. "Ini akses ke cloud storage perusahaan. Username dan password buat lo."
Elang terima tablet dengan tangan yang berusaha gak gemetar. Layar menyala nunjukin dashboard dengan logo Hartavira di header. Di bawahnya—data. Angka. Grafik. Semua yang jadi jantung perusahaan ini.
Semua yang dulu *dia* yang bikin.
"Tugas lo simpel," Brian lanjut sambil condong ke depan dengan jari dirangkap di atas meja—meja Elang, fucking meja kayu jati yang Elang beli dengan uang hasil keringat sendiri. "Analisis semua data ini. Cari dimana kita bocor. Cari cara ningkatin profit minimal tiga puluh persen dalam enam bulan. Aku tau ambitious, tapi aku percaya lo bisa."
Tiga puluh persen dalam enam bulan. Angka yang gila, yang hampir mustahil—kecuali kalau perusahaan ini dijalankan sama orang yang *tau* perusahaan ini dari DNA-nya. Orang yang bangun struktur ini dari nol. Orang yang *adalah* Elang Alghifari.
Ironi yang bikin Elang pengen ketawa atau nangis atau teriak atau semua sekaligus.
"Saya akan lakukan yang terbaik," katanya dengan suara yang keluar lebih serak dari yang dia mau.
"Good." Brian senyum puas. "Oh, dan Galang—feel free buat explore gedung, kenal dengan staff, akses apapun yang lo butuhin. Aku mau lo merasa... at home di sini."
*At home.*
Elang hampir—*hampir*—kehilangan kontrol saat itu juga. Hampir berdiri dan teriak, "INI EMANG RUMAHKU! GUE YANG BANGUN INI SEMUA! LO YANG CURI INI DARI GUE!"
Tapi dia gak berdiri. Dia gak teriak. Dia cuma angguk dengan senyum yang entah gimana berhasil dia tempelkan di wajah yang terasa kayak topeng porselen yang retak.
"Terima kasih, Pak Brian. Saya... appreciate kepercayaannya."
---
Ruang kerja yang disediain buat Elang—atau Galang—adalah cubicle kecil di ujung ruang open-space lantai dua puluh tujuh. Gak ada jendela. Gak ada privasi. Cuma meja dengan komputer, kursi yang squeaky, sama lampu neon di atas yang flicker kadang-kadang.
Dulu, ini ruang buat intern. Buat anak magang yang baru belajar.
Sekarang, ini ruang buat dia. CEO yang jatuh jadi konsultan upahan di perusahaan sendiri.
Elang duduk di kursi yang squeaky itu dengan badan yang terasa berat kayak ditindih satu ton besi. Tangan gemetar di atas keyboard, mata menatap layar yang masih gelap karena dia belum nyalain.
*Nyalain, Elang. Buka datanya. Lakukan kerjaan lo.*
Tapi tangannya gak bergerak. Gak bisa. Karena begitu dia buka data itu, begitu dia liat angka-angka dan strategi yang dia rancang tapi sekarang di-claim sama Brian, dia tau—dia *tau*—sesuatu di dalam dirinya bakal patah dengan cara yang gak bisa diperbaiki.
Hape bergetar di saku. Dia keluarin—notifikasi dari Anya:
*Mas, Anya doain mas hari pertama kerja lancar. Jangan lupa sholat Dhuha kalau sempat. Allah selalu sama kita kok. 🤲*
Emoji tangan berdoa. Sederhana. Tulus. Dari gadis yang hidupnya jauh dari kompleksitas dunia korporat yang penuh kepalsuan ini, tapi somehow dia lebih wise dari semua orang yang Elang kenal.
Elang menatap pesan itu lama sampai layar auto-lock karena dia gak touch apa-apa. Tarik napas dalam—napas yang masuk kayak ngilu, kayak ada pecahan kaca di paru-paru.
*Oke. Oke, Elang. Lo bisa ini. Lo gak dateng sejauh ini buat patah di hari pertama. Buka datanya. Lakukan yang harus lo lakukan.*
Jari bergerak, nyalain komputer. Login dengan username dan password yang Brian kasih. Screen loading beberapa detik yang terasa kayak eternity, terus—
Dashboard muncul.
Dan Elang berhenti napas.
---