Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 — Kelahiran Kedua
Kabut turun seperti tirai lembut di atas lembah. Udara lembab membawa aroma tanah dan abu ritual yang belum sepenuhnya padam. Di tengah reruntuhan altar, tubuh Shen Wuyan tergeletak diam — kulitnya pucat, matanya tertutup rapat seolah masih terkurung dalam mimpi yang tak mau berakhir.
Ketika kelopak matanya terbuka, dunia terlihat asing. Langit berwarna kelabu keperakan, bergetar seperti permukaan air yang baru disentuh. Hujan halus turun, bukan dari awan, tapi dari kabut itu sendiri. Setiap tetesnya terasa dingin, menusuk sampai ke sumsum, seakan alam sedang memeriksa apakah ia masih hidup.
Wuyan menarik napas pelan. Udara terasa berat, seperti mengandung gema dari sesuatu yang tak terlihat. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya menolak. Tangan kirinya terasa ringan, tangan kanan terasa kaku — seolah keduanya tak lagi berasal dari kesadaran yang sama.
Detak jantungnya terdengar aneh. Bukan satu irama, tapi dua. Satu cepat, satu lambat. Seolah dua kehidupan berdetak di dalam dada yang sama.
Ia menatap ke sekeliling. Batu altar terbelah, sisa-sisa simbol ritual memudar di tanah, dan di tengah genangan air perak, pantulan wajahnya tampak buram. Ada sesuatu yang bergetar di balik permukaan air itu — bukan angin, tapi gerakan samar, seperti bayangan yang ingin keluar.
Suara kecil bergema dari dalam dirinya.
“Akhirnya, kau bangun.”
Wuyan membeku. Ia menatap sekitar, tapi tidak ada siapa pun. Suara itu tidak datang dari luar. Itu dari dalam kepalanya — tenang, namun akurat seperti pisau.
“Siapa?” suaranya bergetar pelan. “Apa kau... salah satu dari wajah itu?”
“Bukan. Aku yang tersisa setelah semuanya pecah.”
Nada itu bukan ancaman, tapi juga bukan penghiburan. Lebih seperti pantulan dari pikirannya sendiri, berbicara dengan jeda yang tidak alami.
Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi jari-jarinya terasa asing — seakan disentuh oleh sesuatu dari balik kulitnya. Saat ia menatap ke air lagi, pantulannya bergerak lebih lambat dari tubuhnya. Saat ia berkedip, pantulan itu tidak mengikuti.
“Tidak,” gumamnya, suara hampir tenggelam dalam kabut. “Ini belum selesai. Aku seharusnya sudah kembali... aku seharusnya—”
“Kau kembali, tapi tidak utuh.”
Suara itu bergema lagi.
Dan kali ini, bibir bayangan di genangan air itu bergerak serempak dengan kata-kata yang terdengar.
Wuyan menarik napas panjang, mencoba menolak dorongan untuk panik. Ia menunduk perlahan, menatap pantulan itu — dirinya sendiri, tapi sedikit berbeda. Tatapan di sana tenang, terlalu tenang.
Seperti seseorang yang sudah melihat terlalu banyak dan tak lagi terkejut oleh apa pun.
“Siapa kau?” tanyanya akhirnya.
“Aku adalah kau yang memanggil dirimu sendiri.”
Hening.
Hanya desiran hujan di atas batu dan napasnya sendiri yang terdengar. Namun di dalam dada, dua irama jantung itu tetap beradu, saling menyela dalam harmoni yang memaksa.
Wuyan menutup mata. Dalam kegelapan, ia bisa merasakan pergeseran di dalam pikirannya — seperti dua lapisan kesadaran yang saling menekan, mencoba mencari ruang untuk hidup berdampingan. Bayangan dari Laut Tanpa Dasar masih membekas di jiwanya, tapi sekarang, laut itu tidak lagi di luar. Ia ada di dalam — berputar perlahan, sunyi, tak berbatas.
Ketika ia membuka mata lagi, genangan air di depannya bergetar. Dari dalamnya muncul kilasan — wajah-wajah samar, serpihan dari dirinya yang dulu. Namun semua itu segera larut, meninggalkan satu pantulan tunggal: dirinya yang menatap balik dengan mata hitam yang lebih dalam dari biasanya.
“Aku lahir dari keheninganmu, Wuyan,” kata suara itu lembut. “Dari setiap penolakan, dari setiap ketakutan yang kau kubur di dasar laut kesadaranmu sendiri.”
Wuyan terdiam lama. Setiap kata itu terasa seperti berat, mengisi rongga pikirannya dengan sesuatu yang tak bisa ditolak.
Ia ingin membantah, tapi mulutnya hanya diam. Lidahnya kelu. Ada bagian dari dirinya yang mengerti bahwa suara itu benar.
Hujan makin deras. Tetes-tetesnya jatuh di pundaknya, mengalir seperti sisa air mata yang tak bisa ia keluarkan. Ia menatap ke langit, namun awan terlalu rendah untuk dilihat. Semuanya abu-abu, semuanya sunyi. Dalam keheningan itu, ia mendengar suaranya sendiri bertanya, perlahan:
“Kalau kau benar bagian dariku... kenapa kau berbicara seperti orang asing?”
Bayangan di air itu tersenyum tipis.
“Karena kau tak mengenal dirimu sendiri.”
Sekejap, dunia di sekelilingnya berubah. Kabut bergulung, lembah seakan meregang, dan pandangan Wuyan bergetar. Ia berdiri di tengah laut perak lagi — tapi kali ini, langitnya hitam pekat, dan ombaknya diam. Ribuan wajah muncul di sekeliling, tapi tak bersuara. Mereka hanya menatapnya.
Dan di tengah semua itu, bayangan berdiri — sosok yang serupa dengannya, tapi tidak bernafas.
“Ini tidak nyata...” bisik Wuyan.
“Tidak nyata?” suara itu bergema, dan setiap pantulan wajah ikut tersenyum serentak. “Segalanya nyata bagi jiwa yang membawanya.”
Ia berusaha mundur, tapi laut itu tidak memberi jalan. Setiap langkahnya menciptakan riak cahaya yang berubah menjadi tangan-tangan tipis, menyentuh kulitnya, dingin dan licin seperti kaca.
Bayangan mendekat perlahan, berjalan di atas permukaan tanpa meninggalkan jejak.
“Wuyan,” katanya, suaranya menembus kabut kesadarannya, “kau memecahkan dirimu untuk bertahan hidup. Aku hanyalah hasil dari keputusan itu.”
“Keputusan...?” Wuyan mencoba mengingat — tapi pikirannya kabur. Ia hanya ingat cahaya, rasa tenggelam, dan keinginan kuat untuk tetap ada.
“Tidak mungkin... aku tidak memilih ini.”
Bayangan menggeleng pelan. “Kau selalu memilih. Kau hanya tidak mau mengakuinya.”
Laut mulai tenang. Wajah-wajah di sekitar mereka menghilang satu demi satu, sampai hanya ada dua sosok yang tersisa — dia dan dirinya sendiri.
Wuyan menatap sosok itu dengan rasa campur aduk: takut, ingin tahu, dan sejenis rasa duka yang tidak punya nama.
Ia bertanya lirih, “Apa yang kau inginkan dariku?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada.”
“Lalu kenapa sekarang?”
“Karena kini, kita tidak bisa dipisahkan lagi.”
Kabut laut perlahan berubah menjadi kabut lembah. Ia kembali sadar — genangan air di depannya kini hanya memantulkan wajah biasa. Tapi napasnya tersengal, dan dada terasa sesak. Di antara denyut jantungnya yang ganda, ia bisa mendengar bisikan samar, seolah gema dari dasar tubuhnya sendiri.
“Kau akan terbiasa.”
Wuyan menatap tanah, lalu pada tangannya sendiri. Ada getaran halus di sana, bukan ketakutan, tapi perubahan. Ia tahu tubuhnya masih miliknya, tapi pikirannya... tidak sepenuhnya lagi.
Langkah kecil ia ambil meninggalkan altar, namun setiap kali kaki menyentuh tanah, suara bisikan itu menyertai — pelan, lembut, seperti napas kedua yang hidup di antara napasnya sendiri.
Langit tidak berubah, hujan tetap turun, tapi dunia terasa lebih luas, lebih sunyi, lebih hidup.
Dan di setiap pantulan genangan yang ia lewati, bayangan itu menatap — tak lagi terlambat, tapi seirama.
Namun di balik keserasian itu, ia tahu ada sesuatu yang sedang menunggu.
Bukan di luar, melainkan di dalam.
***
Langkah-langkah Shen Wuyan menuruni lembah dengan lambat, seolah tanah itu menolak setiap pijakannya. Kabut menebal di sekeliling, menggulung seperti napas yang dihembuskan oleh bumi sendiri.
Setiap kali ia bergerak, udara terasa bergetar — bukan karena angin, melainkan karena sesuatu di dalam dirinya yang mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang telah berubah.
Ia berhenti di bawah pohon mati yang tumbuh miring di tepi jurang. Ranting-rantingnya telanjang, tapi dari ujungnya menetes butiran air perak. Hujan kabut terus turun lembut, menyelimuti dunia dengan warna abu-abu yang tak memiliki ujung.
Wuyan menatap tangannya lagi. Urat-urat biru samar tampak berdenyut di bawah kulitnya. Di antara denyut itu, ada satu detak yang tidak sinkron — lambat, tapi sangat jelas. Detak itu bukan miliknya.
Ia menutup mata, mendengarkan dengan saksama.
“Kau mulai mendengarku,” bisikan itu datang lagi.
Kali ini lebih dalam, lebih tenang, seperti suara dari ruang kosong di dadanya.
“Ini bukan hal buruk, Wuyan. Aku tidak akan mengambil apa pun darimu.”
“Kalau begitu, kenapa aku merasa... kehilangan sesuatu setiap kali kau bicara?” suaranya pelan, hampir bergetar. “Seolah sebagian pikiranku ikut bergerak saat kau bernapas.”
Bayangan dalam pikirannya tertawa tipis. “Karena kau masih percaya bahwa dirimu hanya satu.”
“Lalu aku harus jadi apa? Dua?”
“Bukan dua. Bukan satu. Tapi keseluruhan.”
Kata-kata itu bergema lama, membekas di setiap ruang kosong dalam pikirannya.
Wuyan berjalan lagi, menyusuri jalan bebatuan yang menuju lembah bawah. Ia tak tahu ke mana tujuannya, tapi langkah-langkahnya seolah diarahkan oleh sesuatu yang sudah tahu arah sebelum ia menyadarinya.
Di sepanjang jalan, ia melihat bayangan samar di kabut — sosok-sosok mirip dirinya, berjalan di sisi yang berlawanan. Tidak ada wajah, hanya siluet hitam berdenyut. Mereka tampak muncul dan lenyap setiap kali ia berkedip.
Ia berhenti, memandangi salah satunya. Sosok itu berhenti juga.
“Apa mereka nyata?”
“Tidak. Mereka hanyalah kemungkinan yang pernah kau pikirkan.”
“Dan mereka menatapku seolah menunggu sesuatu.”
“Mereka menunggu keputusanmu — siapa yang akan hidup, dan siapa yang harus lenyap.”
Dingin merayap naik di sepanjang tulang belakangnya. Ia tahu suara itu tidak berbohong. Setiap versi dirinya di sana adalah sesuatu yang pernah ia bisa jadi, tapi tidak ia pilih. Setiap wajah samar itu adalah kehidupan yang dibuang di sepanjang jalan yang ia tempuh.
Dan kini, entah kenapa, mereka semua menuntut diingat kembali.
“Kalau aku mengakui semuanya,” katanya pelan, “apa yang tersisa dariku?”
“Dirimu yang sebenarnya.”
Ia menatap ke kabut yang mengaburkan pandangan. Dunia terasa seperti cermin retak — setiap sisi menampilkan realitas yang berbeda, tapi semuanya memantulkan wajah yang sama.
Lalu ia mendengar langkah kaki lain. Bukan dari dirinya, tapi dari belakang. Pelan, konsisten, dan sangat familiar.
Ia berbalik.
Bayangan itu berdiri di sana. Sosok tanpa warna, berpakaian sama, rambut sama, mata sama — tapi pandangannya lebih tenang.
Tidak ada cahaya yang memantul darinya, seolah ia menyerap seluruh kilau dunia.
“Jadi akhirnya kau keluar dari bayangan,” ucap Wuyan datar.
Bayangan itu menatapnya lama, lalu menjawab dengan suara yang sama, namun sedikit lebih dalam. “Aku tidak pernah di dalam. Kau hanya baru bisa melihatku sekarang.”
Keduanya berdiri saling berhadapan di tengah kabut.
Tidak ada pertempuran, tidak ada ancaman. Hanya dua kesadaran yang saling mengamati, mencoba mengenali sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Kalau kau benar diriku,” Wuyan bertanya, “kenapa aku merasa kau lebih hidup daripada aku?”
Bayangan menatapnya lama sebelum menjawab, “Karena aku lahir dari keinginanmu untuk hidup, tapi bebas dari ketakutanmu untuk mati.”
Kata itu menusuk.
Wuyan menunduk, menatap tanah yang mulai bergetar halus.
Ia tahu sebagian dari dirinya memahami makna kalimat itu — sesuatu yang ia pendam sejak lama, sesuatu yang tidak ingin diucapkan.
“Aku tidak ingin menjadi iblis,” katanya hampir tanpa suara.
Bayangan mengangkat kepalanya sedikit. “Tapi kau juga tidak ingin menjadi manusia.”
“Jadi aku apa?”
“Kau sedang belajar menjadi keduanya.”
Hening lagi.
Hanya suara hujan yang memecah udara, dan detak ganda di dadanya yang tak kunjung selaras. Wuyan mencoba menarik napas panjang, tapi setiap hembusan terasa berbeda. Sebagian terasa seperti miliknya, sebagian seperti napas orang lain yang mengalir melalui paru-parunya.
Bayangan itu berjalan mendekat, langkahnya tidak menimbulkan suara.
Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, Wuyan bisa melihat jelas wajahnya sendiri di sana — tapi tanpa emosi. Tatapan mata itu bukan tatapan kebencian, melainkan pengertian yang membuat dada terasa berat.
“Kenapa aku merasa kau sedang menungguku?” tanya Wuyan.
“Karena kau belum siap untuk menjadi kita.”
“Dan kalau aku tidak pernah siap?”
“Maka aku akan terus menunggu.”
Kata itu diucapkan dengan kelembutan yang aneh — seperti doa yang diulang di antara dua jiwa yang terhubung.
Wuyan menatap bayangan itu lama, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Jari-jarinya hampir menyentuh kulit bayangan itu, tapi sebelum benar-benar menyentuh, sesuatu berdenyut di antara mereka.
Cahaya perak menyala singkat. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi pusaran cermin cair.
Wajah-wajah samar kembali muncul, tapi kali ini mereka diam, hanya berputar mengelilingi dua sosok itu seperti orbit yang tak bisa dihindari.
Bayangan berkata pelan, “Ini tubuhmu. Tapi sekarang, ia punya dua jiwa.”
Seketika, Wuyan merasakan beban luar biasa di dadanya. Dunia terasa pecah di dalam dirinya sendiri — satu sisi penuh cahaya dingin, sisi lain penuh kehangatan samar.
Ia melihat dirinya sendiri memudar dan muncul dalam irama aneh, seolah keberadaannya kini berdenyut dalam dua dimensi waktu.
“Aku tidak bisa seperti ini...”
“Kau tidak perlu bisa. Kau hanya perlu bertahan.”
“Dan kau?”
“Aku akan tetap di sini, sampai kau mengerti bahwa aku bukan ancaman.”
Wuyan mencoba menahan rasa sakit di kepalanya. Suara di dalam pikirannya kini berganda — beberapa berasal dari dirinya, beberapa dari Diri Kedua. Setiap kalimat seperti pantulan di ruang kosong, tak ada yang tahu mana yang asli.
Namun di tengah kekacauan itu, ia mendengar satu kalimat yang paling jelas:
“Kau telah lahir dua kali, Wuyan.”
Kalimat itu membuatnya terdiam.
Lalu semuanya berhenti — pusaran, wajah-wajah, bahkan hujan.
Dunia kembali sunyi.
Ia membuka mata. Kabut mulai menipis. Matahari samar menembus celah awan, memantul di genangan air di bawah altar yang runtuh.
Di sana, pantulannya terlihat utuh — tidak ada jeda, tidak ada keterlambatan.
Namun ketika ia memalingkan wajah, pantulan itu tetap menatap, dan tersenyum perlahan.
Wuyan berdiri diam lama, membiarkan tetes air terakhir jatuh ke tanah.
Suara dari dalam kepalanya kini lembut, nyaris seperti bisikan yang menyatu dengan napasnya sendiri.
“Kita berbagi tubuh, tapi hanya satu dari kita yang akan hidup lama.”
Ia tidak menjawab.
Ia hanya menatap ke depan, ke lembah yang kini terasa asing, tapi juga akrab.
Di antara sisa kabut, langkahnya perlahan berlanjut — tidak tergesa, tidak ragu. Seolah ia sedang mengikuti ritme baru yang hanya bisa didengar oleh dua jiwa dalam satu tubuh.
Dan dari kejauhan, gema itu masih terdengar:
dua napas yang menyatu, dua jantung yang berdebat, dua kesadaran yang belum menentukan siapa yang sebenarnya akan menjadi Shen Wuyan berikutnya.