Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SURAT DARI YAYASAN
Pagi di Desa Gumalar turun dengan embun yang tipis dan cahaya matahari yang lembut menembus sela-sela daun jati. Jalan tanah di depan sekolah dasar masih becek setelah hujan semalam, tapi anak-anak sudah berlarian sambil tertawa, membawa buku dan tas kain yang penuh coretan warna. Di antara suara mereka, terdengar tawa seorang perempuan—tenang, lembut, tapi menyimpan sesuatu di baliknya. Dialah Sari, guru muda yang sudah tujuh tahun mengajar di SD Gumalar.
Tak banyak yang tahu bahwa dulu, perempuan itu pernah datang ke desa dalam keadaan nyaris tak sadar, ditemukan warga di tepi hutan setelah kecelakaan yang tak pernah terjelaskan. Mereka memberinya nama baru: Sari Retnowati. Ia sendiri tak menolak, karena memang tak mengingat apa pun selain namanya yang samar—“Sari”—dan rasa kehilangan yang aneh setiap kali malam datang.
Kini, kehidupannya sederhana tapi stabil. Ia menempati rumah kecil di pinggir sawah, hasil tabungan dari gaji sebagai guru tetap dan sedikit honor tambahan dari mengajar les sore. Di halaman belakangnya tumbuh bunga melati, bunga yang katanya dulu ia suka tanam tanpa tahu kenapa. Kadang, ia duduk di teras memandangi langit, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Pagi itu, Sari sedang menulis catatan pelajaran ketika suara langkah anak laki-laki memecah keheningan.
“Bu Guru!”
Sari menoleh. Seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun berdiri di pintu kelas, membawa surat di tangannya. Napasnya tersengal. “Ada surat buat Ibu, katanya. Dari kota.”
Sari tersenyum lembut. “Dari kota? Siapa yang kirim, Nak?”
“Katanya… Yayasan Kinasi, Bu.”
Nama itu membuat Sari terdiam sesaat. Kinasi—ada sesuatu dalam bunyi kata itu yang membuat jantungnya bergetar ringan. Ia menerima surat itu perlahan, merasakan tekstur amplopnya yang tebal dan berlogo biru laut. Tinta emas bertulis “Yayasan Pendidikan Kinasi Indonesia”.
Ia membuka surat itu di mejanya. Tulisan rapi di atas kertas resmi terbaca:
Kepada Yth.
Ibu Sari Retnowati
di Desa Gumalar, Pemalang
Dengan hormat,
Berdasarkan hasil seleksi nasional program beasiswa Kinasi, kami dengan bangga mengumumkan bahwa putra Ibu, Lanang Damar Panuluh, terpilih sebagai penerima penuh program beasiswa pendidikan menengah pertama.
Kami percaya bahwa kecerdasan, dedikasi, dan semangat belajarnya akan memberi kontribusi besar bagi masa depan bangsa.
Hormat kami,
Kinasi Foundation
Jakarta
Sari menatap surat itu lama. Tangan kirinya sedikit gemetar. Ia menatap nama “Kinasi” sekali lagi, lalu mengelus kertas itu perlahan—seolah berharap ingatannya terbuka. Tapi seperti biasa, yang datang hanya kabut. Hanya rasa seolah pernah mengenal nama itu, mungkin dari kehidupan lain yang tak lagi bisa disentuh.
“Bu?” suara Lanang memecah lamunannya.
Sari tersenyum. “Selamat ya, Nak. Kamu mendapat beasiswa.”
Ia memeluk anak itu erat. Dalam pelukan itu, Sari merasakan sesuatu bergetar di dadanya—campuran bahagia dan sedih yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena bangga melihat anaknya tumbuh, atau mungkin karena perasaan aneh setiap kali mendengar nama Kinasi.
Sore menjelang. Di langit, awan mulai memerah. Di rumah kecil mereka, Sari sedang menyiapkan makan malam sederhana: sayur bening dan sambal terasi. Lanang duduk di meja, membaca surat itu berulang kali.
Sari menatap wajah anaknya lama-lama. Ada sesuatu di mata Lanang—ketenangan sekaligus kekuatan. Tatapan itu kadang membuat Sari seperti melihat bayangan seseorang yang pernah ia kenal, tapi tak bisa diingat.
“Bu,” kata Lanang tiba-tiba, “aku mau sekolah tinggi nanti, terus kerja di kota. Aku mau bantu orang miskin biar bisa sekolah juga.”
Sari terdiam, matanya mulai basah. “Ibu percaya kamu bisa, Nak.”
Di luar, suara jangkrik mulai terdengar. Hujan turun perlahan. Dari balik jendela, Sari melihat kilat kecil menyambar di kejauhan. Dalam cahaya itu, wajah seseorang muncul sekelebat dalam pikirannya—wajah lelaki berjas abu, menatap dengan mata teduh tapi penuh luka. Ia terkejut. Bayangan itu datang begitu nyata, lalu menghilang.
Ia memegang dadanya. “Siapa… kamu?”
Di Jakarta, malam yang sama terasa berbeda. Hujan deras menimpa kaca Dirgantara Tower, gedung tinggi yang menjulang di pusat kota. Di lantai 37, Arif Dirgantara berdiri memandangi laporan beasiswa Yayasan Kinasi di laptopnya.
“Penerima baru program SMP, total dua puluh anak,” ucap salah satu staf melalui telepon.
“Termasuk anak dari Pemalang itu?” tanya Arif tanpa menoleh.
“Iya, Pak. Namanya Lanang Damar Panuluh. Nilainya luar biasa. Surat rekomendasinya dari sekolah desa kecil, tapi semua guru bilang anak ini jenius.”
Arif mengangguk pelan. “Bagus. Teruskan bantuannya.”
Ia menutup laptop. Pandangannya menembus kaca jendela yang memantulkan bayangan dirinya sendiri. Nama itu, Lanang Damar Panuluh, entah kenapa terasa akrab.
“Lanang…” gumamnya pelan.
Seketika, bayangan perempuan bersepeda di jalan desa dulu muncul lagi di pikirannya—senyum lembut yang sama, mata yang dalam dan penuh ketenangan.
Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Jangan gila, Arif. Itu sudah lama berlalu.”
Tapi dalam hati kecilnya, ada sesuatu yang mulai bergetar.
Hari-hari berikutnya berjalan cepat. Lanang resmi menjadi siswa SMP Negeri 1 Pemalang. Ia menempuh perjalanan setiap pagi dengan sepeda tuanya, melewati jalan berliku, membawa semangat yang tak pernah padam. Guru-gurunya langsung mengenal sosok anak desa itu: pendiam tapi selalu tepat menjawab pertanyaan, rajin membaca, dan punya cara berpikir yang tidak biasa.
“Anak ini beda,” kata Bu Rahayu, guru matematika. “Dia tidak cuma hitung cepat, tapi paham kenapa angka itu penting.”
“Dia kayaknya cocok jadi ekonom,” sahut guru IPS sambil tertawa.
Lanang tidak terlalu peduli dengan pujian. Ia lebih suka duduk di perpustakaan, membaca buku-buku tebal tentang ekonomi, bisnis, dan kisah para tokoh besar. Ia sering menulis catatan sendiri di buku lusuh: ide-ide kecil tentang cara mengubah sistem agar adil untuk rakyat kecil.
Sementara itu, di rumah, Sari mulai menata hidup dengan lebih mantap. Ia sudah diangkat sebagai guru tetap, membeli rumah kecil yang lebih layak di tengah desa. Anak-anak menyayanginya, warga menghormatinya. Tapi setiap malam, bayangan masa lalu masih menghantuinya. Dalam mimpinya, ia sering melihat pesta pernikahan di sebuah gedung megah, wajah-wajah asing tersenyum, lalu cahaya menyilaukan, suara tabrakan keras, dan gelap.
Ia terbangun dengan keringat dingin, menatap langit-langit rumah sambil berbisik, “Siapa aku sebenarnya?”
Dan di tempat lain, di gedung tinggi Jakarta, Arif duduk di ruang rapat besar, menatap daftar yayasan yang ia dirikan untuk mengenang nama yang sama—Kinasi. Setiap kali nama itu disebut, dadanya seperti ditekan.
Mungkin karena rasa bersalah yang tak pernah bisa ia hapus.
Mungkin karena hati yang belum sepenuhnya rela.
Ia tidak tahu, bahwa di satu desa jauh di bawah kaki Gunung Slamet, nama itu kini kembali berputar dalam hidup seorang perempuan dan anak yang membawa setengah darahnya.
Dan dunia, seperti biasa, sedang menyiapkan pertemuan yang belum waktunya.
menarik