JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!
simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32: DI AMBANG JURANG
Mobil jalan. Gak ke kantor polisi beneran—Asep sadar pas mereka belok ke jalan sepi, daerah pinggiran yang jarang dilalui.
"Lo... Lo bukan polisi beneran kan?"
Polisi yang nyetir ketawa. "Pinter juga lo. Iya, kami cuma aktor. Bayaran lumayan buat sandiwara gini."
Asep ngerasain darah naik ke kepala. Borgol di tangan berasa makin ketat.
"Rendra yang nyuruh?"
"Siapa yang nyuruh bukan urusan lo. Yang penting lo ikut aja. Tenang, gak bakal diapa-apain kok. Cuma disimpen sebentar."
Asep napas berat—otak coba mikir cepet. Dia harus kabur. Sekarang.
[Lo mau lawan dua orang sekaligus? Lo gila?]
"Gue gak punya pilihan..."
[Tunggu. Gue deteksi mobil lain ngikutin dari belakang. Kaca item. Gak jelas siapa.]
Asep ngeliatin kaca spion—beneran ada mobil hitam ngikutin, jarak dekat.
"Siapa itu?" gumam polisi palsu yang nyetir. Dia ngebut dikit.
Mobil hitam itu ngebut juga—terus nyalip, langsung potong jalan. Mobil polisi palsu rem mendadak.
CKIIIITTT!
Asep kep
ala bentur dashboard—sakit tapi gak parah.
Pintu mobil hitam kebuka. Turun...
Papa Arjuna.
Asep melongo.
Papa Arjuna jalan cepet, wajah merah padam. Dia buka pintu mobil polisi palsu, tarik kerah polisi yang nyetir.
"SIAPA YANG SURUH KALIAN?!"
Polisi palsu itu panik. "P-Pak, ini cuma—"
"JAWAB!" Papa Arjuna bentak keras—suara yang bikin Asep sendiri merinding.
"R-Rendra Pratama, Pak! Dia yang bayar kami! Suruh bawa Aksa ke gudang kosong, tahan beberapa jam, terus lepas lagi!"
Papa Arjuna lepas kerah polisi itu kasar. Dia noleh ke Asep—tatapan yang... Lain.
Gak dingin. Gak marah.
Menyesal.
Papa Arjuna buka borgol di tangan Asep pake kunci cadangan yang dia bawa. Borgol jatuh ke lantai mobil—bunyi keras.
"Keluar. Ikut Papa."
Asep turun, kaki masih gemetar. Papa Arjuna pegang bahu Asep—genggaman kuat, tapi gak kasar.
"Maaf..." suara Papa Arjuna serak, bergetar. "Papa... Papa salah..."
Asep beku. Mulut kering.
Papa Arjuna peluk Asep—pelukan pertama sejak Asep bangun dari koma. Pelukan yang kuat, erat, penuh penyesalan.
"Papa salah... Papa seharusnya percaya sama kamu... Papa terlalu... Terlalu buta..."
Asep gak bisa nahan lagi. Dia nangis—nangis keras di pelukan Papa Arjuna. Semua beban yang ditahan keluar.
"Gue... Gue gak bersalah, Pa... Gue gak pernah... Gue gak pernah mau ngecewain Papa..."
"Papa tau. Papa tau sekarang." Papa Arjuna ngelepas pelukan, ngelap mata Asep pake tangan. Mata Papa Arjuna juga basah. "Mama Ratna yang kasih tau Papa. Dia bilang Rendra sudah lama manipulasi Papa. Dan Papa... Papa terlalu bodoh untuk menyadari."
Asep ngerasain lega yang luar biasa—tapi juga sedih. Sedih karena Papa harus ngalamin ini.
"Sekarang kita pulang. Rendra harus bertanggung jawab." Papa Arjuna noleh ke dua polisi palsu yang masih di mobil. "Kalian ikut. Kita ke kantor polisi beneran. Kalian akan bersaksi."
Di rumah, Mama Ratna langsung peluk Asep begitu mereka masuk. Dia nangis keras—tubuh gemetar.
"Syukurlah... Syukurlah kamu selamat..."
Arkan ikutan peluk dari samping, nangis juga.
"Kakak... Kakak balik..."
Asep peluk mereka berdua erat. Hangat. Aman.
Di ruang tamu, Rendra berdiri. Wajahnya pucat begitu liat Papa Arjuna masuk dengan dua polisi palsu.
"Papa... Ini—"
"Diam." Papa Arjuna nunjuk Rendra, suara dingin kayak es. "Kamu sudah melanggar batas, Rendra. Kamu manipulasi Papa. Kamu fitnah adikmu sendiri. Kamu bahkan berani bayar orang untuk menculik Aksa."
"Papa, aku cuma—"
"AKU BILANG DIAM!" Papa Arjuna bentak—Rendra langsung tutup mulut, tubuh gemetar.
"Mulai sekarang, kamu tidak lagi pewaris perusahaan. Kamu keluar dari rumah ini. Jangan harap Papa kasih kamu sepeser pun."
Rendra melotot. "APA?! Papa gak bisa—"
"Papa BISA. Dan Papa AKAN." Papa Arjuna noleh ke satpam. "Kawal dia keluar. Pastikan dia ambil barang-barangnya, lalu pergi."
Rendra natap Asep—tatapan benci, penuh amarah.
"Ini belum selesai, Aksa... Ini belum—"
"Sudah selesai." Asep ngomong pelan, tapi tegas. "Lo kalah, Ren. Terima aja."
Rendra dibawa keluar. Teriakan marahnya masih kedengeran sampe pintu ditutup.
Malem itu, Asep duduk di balkon kamar. Angin dingin, tapi kali ini... Gak terlalu sesak.
[Lo berhasil. Rendra udah diusir.]
"Iya... Tapi kenapa rasanya belum lega sepenuhnya?"
[Karena masih ada masalah lain. Ki Jangga. Ancaman spiritual lo belum selesai.]
Asep napas panjang. "Satu masalah selesai, muncul masalah baru."
[Hidup emang gitu. Tapi lo udah lebih kuat dari dulu. Lo bisa ngadepin.]
Pintu kamar diketok. Alina masuk—mata merah, pasti abis nangis.
"Aksa..."
Asep berdiri. Alina langsung peluk dia erat.
"Gue takut... Gue takut lo gak balik..."
Asep balas pelukan, ngusap rambut Alina pelan.
"Gue balik kok. Gue janji gak akan kemana-mana."
Alina ngelepas pelukan, natap mata Asep.
"Mulai sekarang, gue gak akan ninggalin lo sendirian. Apapun yang terjadi."
Asep senyum—senyum tulus pertama sejak lama.
"Terima kasih, Alina... Terima kasih udah ada buat gue..."
Mereka berdiri di balkon, diam-diam. Gak perlu banyak kata.
Kadang, kehadiran seseorang... Itu udah cukup.
BERSAMBUNG