Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31 : Meninggalkannya Sendirian...Lagi
Veyra terbaring di tanah, napasnya tersengal-sengal. Ia menggertakkan gigi, memaksakan tubuhnya terangkat sedikit, padahal pandangannya sudah mulai kabur. Dari sudut matanya tampak bayang-bayang bergerak: seekor binatang buas melesat mendekat, rahangnya menganga siap menerkam.
Saat hewan itu melompat, sesuatu menusuk dari belakang. Pedang itu menembus badan musuh, menebas hingga membuatnya terhenti di udara. Darah menyembur ke tanah, dan raungan panjang memecah sunyi malam. Benda tajam itu ditarik, lalu tubuh yang terlukai itu roboh; berdiri beberapa langkah dari situ, sosok besar berbalut jubah menengadahkan kepala yang tertutup kain.
Bayangan pria itu tegap, bahu lebar, sorot matanya terbenam di balik tudung. Pedang masih menitikkan darah ketika ia melangkah pelan menuju Veyra. Napasnya berat, aroma besi dan tanah menyelimuti udara. Dengan gerakan kasar namun hati-hati, ia meraih lengan Veyra dan menuntun tubuhnya agar bersandar pada pohon di belakangnya.
Ia menyeka darah di bibir gadis itu dengan punggung tangan besar, lalu jari-jarinya turun, melingkari lehernya. Sentuhan itu mengguncang; Veyra terkejut, seluruh ototnya tegang. Sosok berjubah mencondongkan wajahnya mendekat, sampai napasnya hampir menyentuh telinga Veyra. Suaranya serak, sangat pelan, tapi setiap kata menekan lebih dalam daripada dingin malam.
“Seorang putri… tidak seharusnya berada di tempat seperti ini,” bisiknya. Kalimat itu bukan sekadar peringatan, ada nada lain yang sulit ditafsirkan di dalamnya.
Veyra menatap mata yang tersembunyi di balik tudung. Dengan terseret rasa takut dan keberanian yang tersisa, ia menepis tangan pria itu. “Orang sepertimu pula yang tidak seharusnya melakukan ini,” jawabnya, suaranya bergetar namun tegas.
Ada jeda. Mata merah di balik bayangan itu menyorot tangan Veyra yang masih menggenggam. Untuk beberapa detik, keheningan menggantung seperti tepi pedang. Kemudian, tanpa peringatan, genggaman pria itu berubah dari menahan menjadi erat; ia menarik tangan Veyra mendekat ke dadanya, lalu merapatkan wajahnya sampai hanya beberapa inci memisahkan mereka.
Suara itu kembali, lebih dalam dan penuh dilema. “Lalu apa yang seharusnya dilakukan seorang pembunuh bayaran terhadap putri kerajaan yang sendirian di sini?” ucapnya, menahan emosi. “Membunuhnya?”
Veyra terdiam, matanya terkunci pada tatapan pria itu. Genggaman tangannya semakin kuat, membuat Veyra sulit melepaskan diri. Namun, dari kejauhan, suara Lyanna yang memanggil namanya terdengar samar. Pria itu mengerutkan kening, lalu tiba-tiba mencengkeram dagu Veyra, memaksa wajahnya kembali menatap ke arahnya.
“Lain kali…” suaranya rendah, dingin, namun bergetar oleh sesuatu yang tersembunyi. “…aku akan membunuhmu.”
Jari-jarinya perlahan melepaskan dagu Veyra. Ia menurunkan tangannya, lalu dengan gerakan yang mengejutkan lembut, menarik tudung jubah Veyra ke depan, menutupi rambutnya kembali. Beberapa helaian rambut yang terlepas ia selipkan di balik telinga gadis itu, seolah-olah sentuhan terakhir sebelum melepasnya.
Tanpa sepatah kata lagi, ia beranjak berdiri. Dengan tenang ia menarik kepala serigala yang mati di tanah, lalu meraih pedangnya. Langkah kakinya bergema pelan, semakin jauh, semakin tenggelam di dalam kegelapan hutan, meninggalkan Veyra sendirian… lagi.
Tubuh Veyra goyah, kakinya tertekuk. Ia membenamkan wajahnya di antara lutut, bibirnya bergetar hingga sebuah umpatan lirih lolos. “Sialan…” bisiknya, suaranya pecah. Tubuhnya sedikit berguncang, antara marah, takut, dan rapuh.
Samar-samar, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Suara itu semakin jelas, semakin dekat. Veyra tersentak, matanya terbuka lebar. Nafasnya terengah saat kepalanya terangkat, menyadari dirinya bukan lagi di dalam hutan.
Ia kembali di tempat sebelumnya, dengan perapian yang redup. Yvaine dan Lyanna sudah berada di sisinya, keduanya menatap penuh cemas.
“Veyra, ada apa denganmu?” tanya Yvaine cepat.
“Kenapa wajahmu pucat sekali?” Lyanna menambahkan, suaranya penuh kekhawatiran.