Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Bu Sinta di Balai Desa
"Kita seharusnya malu bapak ibu, Mbak Maya tidak sedikitpun mengambil keuntungan dalam program ini. Itu adalah murni agar desa kita maju, tidak adalagi yang terlilit hutang, terlilit pinjol, paylayer dan lain-lain. Jika kalian hanya berjalan diatas zona nyaman, sampai kakek nenek, sampai mati kalian akan begini-begini saja." Ucap Pak kades, kali ini wajahnya lebih serius.
Maya meremas jemarinya sendiri. Pembicaraan ini tak semulus yang dia kira. Tapi melihat para warga yang mulai mengangguk sedikit membuatnya yakin. Meskipun ia sedikit lucu melihat pak kades, sebab auranya sedang keluar, berbeda ketika pak kades sedang bersama istrinya, terlihat seperti kucing rumahan.
"Baiklah, jika kalian tetap tidak setuju dengan program ini maka jangan salahkan saya kalau program ini akan diberikan kepada desa lain oleh bu bupati!"
Setelah mengatakan itu pak kades jongkok, menyesap kopinya sekali lagi dan pergi dari ruangan.
Balai desa pun mulai bergemuruh kembali. Beberapa warga sudah mulai ragu akan keputusan mereka.
"Bapak ibu, yang dikatakan oleh pak kades tadi benar. Saya cuma ingin agar kita disini bisa maju. Apalagi mengingat semua warga punya lahan masing-masing, punya anak yang ingin disekolahkan tinggi-tinggi, punya cita-cita agar bisa hidup tenang menikmati hari tua."
Para warga masih kebingungan. Satu sisi mereka ingin maju, satu sisi lagi mereka takut gagal. Mereka semuanya tahu keahlian Maya dalam bertani, mereka tahu perkataan mereka benar, bahkan mereka semua percaya kalau Maya orang baik. Tetapi, menggantungkan nasib mereka kepada tanaman Asparagus itu tidak mudah. Ada hal yang masih mengganjal di pikiran mereka, yaitu jika gagal, mereka akan makan apa?
Suara langkah kaki dari arah pintu balai desa membuat semua pasang mata menoleh.
"Bu... Bu Sinta?" Ucap warga serempak.
Dialah bu Sinta, pejabat nomor 1 di kabupaten. Ibu bupati yang namanya kadang terdengar di televisi nasional berkat kecantikan dan kesuksesannya dalam dunia perpolitikan.
Maya terkejut, tapi sedetik kemudian tersenyum senang.
"Bu bupati?"
Bu Sinta tersenyum, ia menyapa ramah semua warga yang ada disana. Saat seseorang mempersilahkannya untuk ikut bergabung, bu Sinta akhirnya berjalan sendiri dan berhenti tepat disebelah Maya.
Bu Sinta menggenggam tangan Maya, "kerja bagus May, maaf aku datang terlambat." Katanya ramah.
Maya nyaris ingin memeluk bu Sinta. Bukan karena ia ingin cari muka, tetapi karena menganggap bu Sinta sebagai temannya. Beberapa kali pertemuan mereka, Maya dan Bu Sinta perlahan mulai terjalin pertemanan.
Beberapa saat kemudian, warga mulai tenang, mereka bersiap mendengarkan bu Sinta bicara.
"Sekarang yang bapak ibu khawatirkan adalah gagal bukan?"
Warga kompak mengangguk.
Bu Sinta tersenyum, senyumnya bahkan membuat beberapa bapak-bapak disana ikut senyum.
"Itu wajar bapak, ibu. Itulah fungsinya kami ada disini. Sebagai bagian dari pemerintah saya akan menjamin semua kebutuhan bapak dan ibu ketika program ini gagal. Asal bapak dan ibu sepakat untuk bekerja sama, sepakat untuk berjuang bersama saya dan mbak Maya, juga pak kades yang sedang ngintip dari balik pintu."
Para warga disana pun menoleh serentak ke arah pintu.
Pak kades yang terciduk buru-buru menegakkan kepala, wajahnya memerah, orang-orang tertawa.
"Kembali lagi ke topik kita. Sekarang saya tanya sekali lagi pak, ibu, apakah bapak ibu sepakat untuk bekerja sama?"
Kali ini semua warga kompak mengatakan :
'SEPAKAT!!!"
Maya akhinya bernafas lega, tersenyum. Maya memeluk bu bupati. Kali ini Maya akan menjadi motor penggerak kemajuan desa mereka. Alangkah bahagia hati Maya bisa memberikan kontribusi untuk desanya. Para warga juga dibuat senang karena kali ini mereka tidak perlu risau oleh resiko. Asalkan mereka terus bekerja sama, asalkan mereka mengikuti semua saran dan anjuran dari Maya, maka tidak adalagi yang perlu dikhawatirkan.