Lin Zhiyuan, adalah pemuda lemah yang tertindas. Ia menyelam ke kedalaman Abyss, jurang raksasa yang tercipta dari tabrakan dunia manusia dan Dewa, hanya untuk mendapatkan kekuatan yang melampaui takdir. Setelah berjuang selama 100.000 tahun lamanya di dalam Abyss, ia akhirnya keluar. Namun, ternyata hanya 10 tahun terlalui di dunia manusia. Dan saat ia kembali, ia menemukan keluarganya telah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 Perasaan yang tidak bisa dipahami
Dan untuk sesaat, sekecil kedipan, kedalaman Abyss dalam diri Zhiyuan goyah.
“…Kenapa?” akhirnya ia bertanya. Suaranya rendah, bukan tajam—lebih seperti batu besar yang perlahan terguling.
Zhiyuan menanti—diam, tanpa suara. Wanita tua itu menghembuskan napas perlahan, seperti menata sisa kekuatan terakhirnya.
“…Karena mungkin,” ucapnya lirih, “alasan Keluarga Wang… menyerang keluarga Lin… adalah untuk menyelamatkanku.”
Zhiyuan membeku.
Wanita itu melanjutkan, suaranya pecah, namun ketenangannya… memilukan. “Penyakitku… saat itu sudah mencapai titik yang tidak bisa disembuhkan... Klan medis, sekte, tabib kerajaan… semuanya menyerah.”
Batuk pelan mengiringi kata-katanya. “Sampai suamiku mendengar… bahwa Keluarga Lin menyimpan kitab kedokteran kuno… satu-satunya harapan untuk menunda kematianku.”
Tatapannya meredup—lebih bukan karena sakit fisik, tapi karena rasa bersalah yang telah membusuk selama bertahun-tahun.
“Mereka berperang… bukan demi kejayaan… tapi demi… aku.”
Ia tersenyum getir. “Jadi bisa dibilang… akulah penyebab kehancuran keluarga Lin.”
Hening berat menggantung seperti kabut yang menelan segalanya.
Zhiyuan siap untuk menghadapi segala jenis alasan dalam kehancuran keluarganya; ambisi kekuasaan, perselisihan lama, keserakahan, dendam politik. Ia siap mendengar Patriark Wang meronta, menjerit, atau memohon.
Tapi kalimat ini…
Menampar keheningan hatinya yang beku.
Wanita ini—lemah, rusak, hampir mati—tidak berdiri sebagai pelaku, tidak juga sebagai penonton.
Ia berdiri sebagai seseorang yang memohon agar hidupnya tidak lagi menjadi alasan kejahatan orang lain.
Untuk pertama kalinya—
Zhiyuan merasa jika untuk pertama kalinya, setelah ribuan tahun menderita dalam abyss, pengalaman pahit yang tidak bisa dibicarakan dan dipahami oleh siapapun, sekarang dipahami oleh wanita lemah di hadapannya.
Setelah ribuan kali jiwa dan tubuhnya terkoyak dalam Abyss, setelah penderitaan yang hanya bisa dipenuhi balas dendam, setelah rasa sakit yang meracuni hatinya sejak masih manusia—
Zhiyuan merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kehampaan itu.
Pengertian.
Kesepian yang tak pernah ia akui… tiba-tiba punya pantulan.
Ia menunduk sedikit. Mata kelamnya yang biasanya sedingin Abyss, kini sedikit goyah.
Ia tidak tersenyum. Tapi ada sesuatu yang terlepas di dalam hatinya—seperti rantai yang melonggar sedikit.
“Kalau begitu... beristirahatlah dengan tenang,” ucapnya.
Suara itu pelan. Serius.
Bukan perintah kematian—melainkan izin untuk pergi.
Tangannya terangkat, dan untuk pertama kalinya sejak membantai Keluarga Wang, cahaya keluar dari telapaknya. Bukan kelam, bukan dingin, bukan aura pembantai.
Melainkan cahaya lembut—putih berkilau yang nyaris suci.
Cahaya pengakhiran yang mulia. Kabut Abyss mundur, memberi ruang untuk cahaya suci itu memurnikan jiwa yang rusak.
Wanita itu menarik napas kecil, tapi damai. Saat cahaya menyelimuti tubuhnya, ia tidak mengerang, tidak menegang.
Hanya tersenyum.
Senyum seorang ibu yang akhirnya bisa pulang.
Perlahan, kelopak matanya menutup, napas terakhirnya keluar seperti bisikan lega. Ia-pun pergi tanpa rasa sakit, tanpa ketakutan.
Cahaya meredup. Ruangan kembali gelap, namun kehangatan masih terasa sekejap sebelum lenyap seperti mimpi yang pecah saat fajar.
Zhiyuan menunduk ringan—sebuah penghormatan kecil yang hanya diberikan sekali dalam seribu tahun.
Lalu tiba-tiba—
“ROUYI!!!”
Suara pecah itu menggema seperti petir di neraka.
Zhiyuan menoleh.
Patriark Wang berdiri di ambang pintu, napas memburu, wajahnya merah, auranya menggelegak liar seperti gunung berapi meletus. Pandangannya jatuh pada tubuh istrinya yang terbaring tak bergerak.
Tatapannya membatu. Dunia seakan runtuh di matanya.
“APA YANG KAU LAKUKAN BAJINGAN!!!”
BOOOOOOM!!!
Ledakan Qi menghantam Zhiyuan sebelum suara terakhir itu selesai melengking.
Tubuh Zhiyuan terlontar bagaikan tirai yang diterkam badai. Dinding batu pecah berkeping-keping saat tubuhnya menabrak dan terlempar keluar hingga mendarat keras di halaman utama.
Patriark Wang berlari ke sisi ranjang, menjatuhkan diri dalam posisi berlutut. Tangan kanannya yang besar dan penuh aura kekuasaan menggenggam tangan istrinya yang kurus dan dingin.
“Rouyi… Rouyi, bangun…!” suaranya berat tapi pecah, seperti kaca diinjak. “Rouyi… aku sudah—aku sudah melakukan segalanya… demi kau…! Kenapa…”
Air mata mengalir deras, menghujani tangan wanita itu.
Tangis seorang pria yang memerintah sebuah kota maju, namun kehilangan satu orang yang membuat semua kekuasaan tak berarti apa-apa.
“Dewa manapun… siapapun… aku memohon… kembalikan nyawanya…”
Tidak ada jawaban. Hanya napas dingin malam dan tubuh yang semakin kaku.
“ROUYIII!!!!” teriaknya pilu.
Matanya memantulkan kehampaan yang telah kehilangan segalanya—dan memilih kebencian sebagai satu-satunya alasan untuk terus hidup.
“Aku tidak terima ini…” suaranya rendah, pecah, tapi penuh napas benci yang membakar dunia.
Dari kehampaan di belakangnya, udara terbelah, retakan hitam muncul seperti celah ke neraka yang meronta.
Sesuatu keluar dari sana—sebuah pedang merah pekat, seolah ditempa dari darah yang mendidih dan murka para dewa yang jatuh.
Pedang itu panjang, tipis namun memiliki aura yang berat. Ujungnya bersinar seperti bara neraka, ukiran kuno pada bilahnya menyala seperti nadi hidup.
Pedang itu berbisik. Atau mungkin menjerit dalam bahasa yang hanya jiwa yang hancur bisa dengar.
Patriark Wang menggenggam gagangnya dengan tangan satu-satunya yang tersisa. Jari-jarinya gemetar, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya hampir hancur.
"Dengan ini... Aku menyerahkan hidupku padamu... Chi-Yin, Pedang Darah Abadi."
Swoosh!!
Sumpah dicurahkan. Pedang itu menyala lebih terang, dan suara samar seperti raungan ribuan arwah terdengar. Tubuh Patriark Wang tersentak, urat-uratnya menonjol, kulitnya retak kecil seperti sedang direbus dari dalam.
Tapi ia tidak jatuh.
Ia menatap istrinya yang telah terbaring diam.
“Tunggu aku di sana, Rouyi…” bisiknya serak. “Aku akan menjemputmu… setelah aku menyeret iblis itu ke neraka.”
Dengan satu lompatan, ia menghancurkan lantai di bawahnya dan melesat keluar, menerjang ke arah tepian halaman tempat Zhiyuan berada.
Zhiyuan bangkit perlahan dari puing-puing. Pakaiannya robek, debu menempel di rambutnya, matanya masih membawa sisa kehangatan yang tadi ia berikan pada wanita itu.
Namun kedamaian itu lenyap saat melihat sosok melompat turun dengan kecepatan membelah udara.
BOOOOM!!
Pedang Chi-Yin menghantam tanah beberapa inci dari tempat Zhiyuan sebelumnya berdiri—membelah bumi, menciptakan retakan seperti guratan petir. Gelombang kejut menghantam hutan di belakang, pohon-pohon roboh dalam radius puluhan meter.
Zhiyuan melompat, tubuhnya melayang elegan di udara, berputar seperti daun yang mengikuti angin.
Patriark Wang tidak peduli serangannya meleset. Ia menerjang lagi, kali ini lebih cepat.
Setiap ayunan pedangnya mematahkan udara, memotong ruang, menghasilkan kilatan merah yang mengguncang langit.
“AKU AKAN MENGHANCURKANMU!!!”
mlh kalo baru awal2..kek semua tokoh tu mukanya smaaaaaaa..🤣🤣