NovelToon NovelToon
ANTARA CINTA DAN DENDAM

ANTARA CINTA DAN DENDAM

Status: tamat
Genre:Mafia / Balas Dendam / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Tamat
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Di rumah persembunyian yang tenang, lima bulan telah membawa perbedaan besar.

Bima sudah bisa berjalan tanpa bantuan tongkat, meskipun pincangnya masih terasa saat ia bergerak cepat.

Wajahnya tidak lagi babak belur, namun matanya memancarkan ketajaman yang berbahaya ketajaman seorang pria yang baru pulih dan memiliki misi balas dendam.

Bima duduk di meja sederhana, dengan Papa Erwin berdiri di sampingnya.

Setelah berbulan-bulan pemulihan, fisik Bima sudah merasa baikan, dan kini, fokusnya kembali seratus persen pada Sania.

"Aku harus mencarinya, Pa. Aku tidak bisa menunggu lagi," kata Bima, suaranya mantap.

Papa Erwin mengangguk. "Aku sudah memberimu akses ke server lama kita. Aku tahu kau akan membutuhkan ini."

Dengan tangan yang kini stabil, Bima membuka laptopnya.

Layarnya menyala, memantulkan bayangan Bima yang serius.

Ia segera membuka program-program hacking canggih yang dulu ia gunakan untuk bisnis gelapnya kini ia gunakan untuk menyelamatkan istrinya.

Bima mulai memasukkan kode dan algoritma, mencari jejak sinyal yang mungkin ditinggalkan Sania, melacak aset-aset Salvatore yang tidak terdaftar, dan meretas sistem keamanan yang berkaitan dengan jaringan orang-orang yang mengepungnya saat penangkapan.

Ia mencari keberadaan istrinya, Sania, dengan kecepatan dan ketelitian yang luar biasa.

Namun, Salvatore adalah lawan yang cerdas dan pasti sudah membersihkan semua jejak.

Bima menghentikan jarinya di atas keyboard. Ia menatap layar yang menampilkan peta kosong, tanpa titik merah yang ia harapkan.

"Dia menghapusnya dengan sangat bersih," gumam Bima, rahangnya mengeras.

Ia tahu Salvatore tidak akan meninggalkan Sania di villa utamanya setelah semua yang terjadi.

Bima menoleh pada Papa Erwin, matanya penuh pertanyaan yang mendesak.

"Salvatore tidak bodoh. Dia tidak akan menyembunyikannya di tempat yang jelas," kata Bima, kembali menatap layar laptopnya, memikirkan setiap kemungkinan.

"Kemana Salvatore membawanya?"

Bima bergumam pada dirinya sendiri, menyadari ia harus berpikir seperti musuhnya, bahkan lebih gelap, untuk menemukan di mana Sania disembunyikan.

Bima kini tampak sangat berbeda. Lima bulan penderitaan dan pemulihan telah mengubahnya menjadi sosok yang lebih gelap dan lebih berbahaya.

Bima keluar dari rumah persembunyian dengan wajah yang berbeda: ada brewok tipis yang menutupi rahangnya yang tegas, dan sorot matanya yang dingin menunjukkan tekad membara yang tak akan berhenti sampai Sania kembali.

Mengenakan pakaian serba hitam dan sarung tangan, Bima bergerak menuju mobil SUV hitam yang sudah disiapkan. Ia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalanan malam yang sepi, meninggalkan perlindungan rumah persembunyian itu.

Di kursi penumpang, tergeletak tas ransel Bima yang berisi semua peralatan yang dibutuhkan seperti laptop dengan program hacking terbaru, obat-obatan darurat, dan, yang paling penting, sudah siap dengan senjatanya sebuah pistol semi-otomatis yang terawat baik, siap digunakan kapan saja.

Sementara Bima fokus pada kemudi dan instingnya, Papa Erwin duduk di belakang mobil. Mertuanya tidak bisa tinggal diam. Ia harus ikut dalam misi penyelamatan putrinya.

Papa Erwin memegang laptop yang terhubung ke sistem Bima.

Sambil mencari keberadaan putrinya, ia terus menganalisis pola pembelian aset Salvatore selama lima bulan terakhir, memfilter properti tersembunyi yang mungkin digunakan untuk isolasi.

"Salvatore membeli beberapa aset anonim di pinggiran kota, Bim. Semuanya properti tua. Dia membeli fasilitas gudang, dan juga..." Papa Erwin mengecilkan mata, membaca detail kontrak yang disamarkan. "...sebuah rumah sakit jiwa swasta yang tidak aktif lima tahun lalu."

Bima mencengkeram kemudi, matanya menyala.

"Rumah sakit jiwa? Itu dia. Dia akan menyembunyikan Sania di tempat yang tidak akan pernah dicari oleh polisi, dan jika ada yang menemukannya, mereka akan menganggap Sania gila. Kirim koordinatnya, Pa. Kita ke sana sekarang."

Mobil Bima berhenti beberapa ratus meter dari kompleks rumah sakit jiwa yang tampak suram dan terisolasi.

Tempat itu diselimuti oleh kabut tipis dan tampak sepi, kecuali lampu remang-remang dari beberapa jendela.

Sesampainya di dekat rumah sakit jiwa, Bima memarkir mobil di balik semak-semak lebat, jauh dari pandangan.

"Kita sudah sampai," bisik Bima, menoleh ke belakang.

"Pa, tetap di mobil dan awasi pergerakan. Kalau ada masalah, kau tahu apa yang harus dilakukan."

"Hati-hati, Nak. Sania menunggumu," balas Papa Erwin, tangannya siap di keyboard laptop.

Bima mengangguk. Ia meraih pistolnya dan memeriksanya sekali lagi. Matanya menajam.

Di gerbang utama, Bima memang melihat beberapa anak buah Salvatore sedang berjaga.

Mereka terlihat bosan, merokok dan mengobrol pelan. Bima tahu dia tidak bisa masuk melalui pintu depan.

Ia turun dari mobil, bergerak dalam bayangan dengan lincah, mengandalkan kegelapan dan penyamarannya yang baru.

Ia berhasil menyelinap ke area belakang kompleks.

Bima melihat sebuah pintu layanan dan kebetulan melihat seorang dokter yang sebenarnya adalah antek Salvatore yang mengenakan seragam sedang keluar untuk membuang sampah.

Bima bergerak cepat. Ia menahan pria itu, memaksanya diam.

Bima sudah menyiapkan suntikan berisi obat penenang kuat yang ia bawa.

Ia menyuntik salah satu dokter itu dengan cepat. Dokter itu tersentak kaget, lalu matanya mulai sayu.

Sebelum dokter itu pingsan, Bima mencengkeram kerahnya.

"Di mana Sania?" desak Bima, suaranya rendah dan mengancam. "Di mana istriku disembunyikan?!"

Pria yang setengah sadar itu meracau pelan, ketakutan memenuhi matanya. Ia berhasil menunjuk ke salah satu gedung terpisah.

"R-ruang isolasi, Sania di ruang isolasi, dia gila... kunci..." bisik pria itu sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, tubuhnya merosot lemas.

Bima tidak membuang waktu. Ia dengan cepat mengambil kunci akses dan kartu identitas dari saku pria itu, lalu menyeret tubuhnya ke balik semak-semak.

Bima kini tahu. Sania diisolasi. Itu berarti kondisi Sania sangat buruk.

Amarahnya memuncak, dan ia langsung bergegas menuju gedung isolasi, siap menghadapi apa pun di depannya.

Bima menggunakan kartu akses yang didapatnya untuk membuka pintu-pintu di gedung isolasi.

Ia bergerak cepat dan senyap, melumpuhkan satu pengawal lagi yang ia temui di lorong. Pikirannya hanya terfokus pada Sania.

Ia menemukan ruangan terakhir di ujung lorong yang terisolasi.

Bima menghela napas, lalu menggunakan kunci yang ia dapatkan untuk membuka pintu baja itu.

Pintu terbuka. Bau pengap yang bercampur dengan bau obat-obatan, kotoran, dan sesuatu yang tidak enak langsung menyergap Bima.

Ia mengerutkan kening karena jijik, tetapi pandangannya langsung tertuju ke ranjang.

Di sana, terbaring Sania. Hati Bima hancur berkeping-keping.

Sania tampak kurus, rambutnya acak-acakan dan berminyak, gaun rumah sakitnya kotor.

Wajahnya yang biasa berseri kini kuyu dan pucat, dan di perutnya, benjolan besar perutnya yang membuncit menunjukkan bahwa ia memang sedang mengandung anaknya.

Bau tidak sedap di ruangan itu mengonfirmasi bahwa Sania tidak dirawat dengan baik.

Bima terkejut melihat istrinya yang seperti itu. Wajahnya mengeras, dipenuhi amarah yang membara pada Salvatore. Ia melangkah cepat ke sisi ranjang.

"Sania," bisik Bima, suaranya parau menahan tangis dan amarah.

Ia menyentuh pipi Sania dengan sangat lembut.

Sania tidak bereaksi. Obat penenang yang sering diberikan membuatnya tidur sangat dalam, memejamkan matanya, tidak sadar sedikit pun bahwa suaminya, yang ia kira sudah mati, kini berada di sampingnya.

Bima tidak punya waktu. Ia harus segera membawanya keluar.

Dengan hati-hati, Bima mengangkat tubuh Sania yang lemah.

Ia memeluk erat istrinya, mengabaikan rasa sakit di kakinya sendiri.

"Ayo, kita keluar," bisik Bima di telinga Sania.

Sania tetap diam, yang masih memejamkan matanya tidak tahu jika suaminya menyelamatkannya.

Bima membawanya keluar dari kamar isolasi itu, bersumpah dalam hati bahwa Salvatore akan membayar mahal atas setiap tetes air mata dan setiap luka yang diderita istrinya.

1
kalea rizuky
buat pergi jauh lahh sejauh jauhnya
kalea rizuky
biadap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!