Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa yang terjadi semalam?
[Keesokan Harinya]
Saat Naysila terbangun, matanya masih terasa berat dan kepalanya pusing. Tubuhnya terasa hangat, ia bergerak, namun tak lama kemudian ia merasakan sesuatu yang aneh, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya.
"Emmh..." gumamnya.
Naysila mencoba membuka matanya, penglihatannya masih samar, namun tetap berusaha membuka mata lebar-lebar. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menatap sekeliling tempat itu yang tampak gelap dan hanya diterangi cahaya samar dari jendela-jendela yang sudah tak berkaca.
"Aku di mana..." gumamnya, belum dapat mengingat apapun yang terjadi semalam. Kepalanya terasa berat dan sedikit pusing.
Naysila tiba-tiba merasakan hembusan napas yang lembut di kepalanya, ia kemudian mendongak dan matanya membulat saat melihat Alden tertidur nyenyak di dekatnya. Kemudian, Naysila mulai menyadari sesuatu saat melihat Alden tak memakai baju. Ia pun segera melihat dirinya sendiri dan seketika rasa terkejut mendapati tubuhnya setengah polos, hanya dibalut dengan pakaian dalam, dan lebih mengejutkan lagi, tubuhnya berada dalam pelukan Alden.
Alden yang masih tertidur, tampaknya tidak sadar bahwa mereka dalam posisi yang begitu intim. Tubuh Naysila yang terbalut keringat dan di selimuti seadanya menggunakan jas milik Alden. Ia masih berada dalam dekapan Alden, membuat jantungnya berdegup kencang.
Naysila merasa tubuhnya masih lemas, tetapi kepanikan mulai menyeruak dalam dadanya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, tetapi hanya ingatan samar tentang hujan deras, kecelakaan, dan dinginnya udara yang bisa ia ingat. Namun, bagaimana bisa ia dan Alden berada dalam keadaan seperti ini?
"A-apa yang terjadi?! Ini gak mungkin!" ujar Naysila panik.
Suara Naysila cukup keras, membuat Alden yang tidur nyenyak pun terperanjat. Alden mengerang pelan sebelum akhirnya membuka matanya perlahan. Ia tampak linglung sesaat sebelum akhirnya menyadari posisi mereka. Mata mereka bertemu, dan dalam beberapa detik, keheningan yang canggung menyelimuti keduanya.
Alden segera melepaskan pelukannya, lalu mengalihkan pandangannya dari tubuh Naysila yang hampir polos sepenuhnya. "Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara sedikit serak.
"Apa… yang terjadi?" Naysila bertanya dengan nada khawatir, ia menutupi tubuhnya dengan jas milik Alden walaupun tak tertutup sepenuhnya.
"Apa kamu gak ingat apapun soal kejadian semalam?" tanya Alden.
Naysila menggeleng, "Aku cuma ingat hujan deras dan mobil tertimpa sesuatu, selain itu aku gak ingat. Tapi, kenapa kita bisa seperti ini?"
Naysila mencoba mengingat lebih banyak, namun nihil, ia tak dapat mengingat apa yang terjadi setelah mobil Alden tertimpa pohon.
Alden menghela napas, mencoba menenangkan Naysila yang tampak panik. "Kita terjebak dalam badai hujan semalam. Kamu pingsan, dan aku harus memastikan kamu tetap hangat."
Wajah Naysila memerah. "Maksud kamu… kita…" mata Naysila membulat menatap Alden, dalam benaknya sudah terpikir hal-hal buruk. "Jangan bilang kalau kamu dan aku..."
Alden buru-buru menggeleng. "Tidak terjadi apa-apa, Nay. Jangan berpikir buruk, aku gak menjamah kamu. Aku hanya memastikan kamu nggak mengalami hipotermia." Nada suaranya tegas, ingin memastikan Naysila tidak salah paham.
"Kalau nggak terjadi, kenapa kita gak pakai baju?" Naysila belum bisa percaya.
"Baju kita sama-sama bahas kuyup, kamu pingsan dan kamu sudah sangat pucat, tubuh kamu dingin. Aku nggak bisa mencari bantuan, sehingga aku membawa kamu kemari dan... Aku terpaksa melepaskan baju kita berdua, kemudian memeluk kamu, agar tubuhku bisa menghangatkan tubuhmu," Alden menjelaskan dengan ragu, takut Naysila salah menduga tentangnya.
Naysila menelan ludah, mencoba memproses informasi itu. Ia melihat ke bawah, menyadari tubuhnya memang hanya terbalut pakaian dalam, tetapi juga merasakan bahwa tubuhnya masih utuh. Tidak ada rasa sakit atau ketidaknyamanan yang menandakan sesuatu yang lebih dari sekadar kehangatan yang Alden coba berikan.
Hujan di luar sudah reda berbeda dari semalam dan hari memang sudah pagi, meskipun udara masih terasa dingin. Naysila buru-buru membelakangi Alden, ia merasa sangat malu pada suaminya sendiri. Naysila mengeratkan jas milik Alden untuk menutupi tubuhnya, tak mau lelaki itu melihat lekuk tubuhnya yang masih murni.
"Di mana bajuku?" tanya Naysila pelan, kepalanya menunduk.
"Bajumu masih basah, Nay. Kamu gak mungkin memakainya," jawab Alden.
"Kalau aku gak pakai baju, gimana aku bisa keluar?"
Alden meraih kemejanya yang sudah jauh lebih kering karena lebih tipis dari baju Naysila dan menyodorkannya pada wanita itu.
"Pakai ini dulu. Setidaknya kamu bisa menutupi tubuh kamu sebelum kita keluar dari sini," ucapnya dengan nada serius.
"Tapi, kemeja kamu gak akan bisa menutupi seluruh tubuhku. Sama saja aku telanjang," protes Naysila yang masih membelakangi Alden.
"Daripada benar-benar telanjang. Lagipula, kamu masih istriku, tubuh kamu halal untuk aku lihat. Bahkan seluruhnya masih milikku."
Naysila terdiam sejenak mendengar itu. Ia lalu menghela napas dan mengulurkan tangannya mengambil kemeja milik Alden. "Jangan ngintip!"
Alden gegas memalingkan muka dan membiarkan Naysila memakai kemejanya. Naysila buru-buru memakai kemeja itu sebelum Alden berbalik lagi.
"Sudah," ucapnya.
Alden berbalik dan melihat Naysila sudah memakai kemejanya, tubuh Naysila kini cukup tertutup walaupun bagian kepala dan kakinya masih bisa dilihat oleh Alden. Dalam hati Alden tersenyum melihat rambut Naysila yang ternyata pendek, tak seperti bayangannya yang membayangkan rambut Naysila panjang.
Rambut Naysila tidak terlalu hitam, sedikit lebih cokelat namun warnanya alami. "Mungkin bawaan lahir," batin Alden.
Naysila menundukkan kepala berhadapan dengan Alden, merasakan campuran antara malu dan lega, setidaknya Alden masih menjaga kemurniannya. Ia tahu Alden bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu yang tidak pantas, tetapi tetap saja, situasi ini membuatnya merasa sangat canggung.
"Kamu merasa pusing atau sakit kepala?" tanya Alden.
Naysila mengangguk, "Masih agak pusing, tapi sudah gak apa-apa."
Alden tersenyum kecil tanpa Naysila lihat. Dalam hati, Alden pun merasa lebih tenang daripada semalam. Semalaman ia berusaha mengabaikan perasaan aneh yang muncul saat memeluk Naysila untuk menghangatkannya. Kini, ia bertanya-tanya, apakah perasaan itu hanya sekadar naluri untuk melindungi, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang selama ini ia coba abaikan?
Beberapa saat hening, Alden bangkit dan mengambil jas yang mereka pakai untuk selimut semalam. "Aku mau keluar dulu, aku harus melihat mobilku dan mengambil ponsel kamu. Kita harus menghubungi orang yang bisa membantu kita."
Naysila memberanikan diri menatap suaminya, "Apa kamu akan meninggalkan aku sendiri di sini?" tanyanya.
"Ya, aku gak bisa bawa kamu keluar. Penampilan kamu gak memungkinkan untuk aku bawa pergi," jawab Alden.
Naysila memperhatikan dengan seksama penampilannya yang saat ini hanya mengenakan kemeja putih tanpa bawahan maupun jilbab penutup kepala. Alden benar, ia tak mungkin ikut dengannya keluar dengan penampilan seperti itu.
"Baiklah, tapi kamu akan kembali, kan?" tanya Naysila seolah khawatir Alden akan meninggalkannya sendirian di tempat itu.
"Tentu, aku akan kembali. Kamu nggak usah takut, aku nggak sejahat itu dengan membiarkan seorang wanita berada di tempat seperti ini sendirian."
Naysila terdiam, ia tak bertanya lagi, cukup percaya pada suaminya. Alden memunguti baju dan jilbab Naysila, setelah itu dia pergi dengan membawa baju milik istrinya. Langkah pertama, Alden harus melihat kondisi mobilnya dan menelpon seseorang dari ponsel Naysila yang mungkin saja masih hidup di dalam mobil.
Sementara itu, Naysila tetap berada di dalam bangunan kosong dengan perasaan cemas dan takut. Naysila takut jika seseorang akan masuk ke dalam bangunan tersebut dan menemukannya dalam keadaan seperti itu. Naysila selalu khawatir pada manusia jahat yang ada di muka bumi, ia takut jika seseorang menemukannya mungkin akan melakukan sesuatu yang buruk.
_
Setelah berjalan kaki cukup jauh dari bangunan tua tempat mereka berteduh semalam, Alden akhirnya sampai di lokasi tempat di mana mobilnya terjebak. Beberapa orang mulai berkerumun di sana, sebagian dari mereka melihat-lihat ke dalam mobil seolah ingin tahu bagaimana dengan pengemudi di dalamnya. Mobil Alden masih dalam posisi yang sama, pohon semalam juga masih menimpa kap depan mobilnya.
Orang-orang juga terdengar saling berbicara satu sama lain, mereka mempertanyakan di mana pengemudi mobil.
Alden mempercepat langkahnya, menghampiri kerumunan yang mengelilingi mobilnya. Tatapan orang-orang langsung tertuju padanya saat ia muncul dari arah lain dengan pakaian yang masih sedikit basah dan kusut.
"Itu dia! Itu pasti pengemudinya!" seru salah satu warga.
Seorang pria paruh baya yang tampaknya adalah petugas keamanan setempat mendekati Alden dengan ekspresi khawatir. "Pak, Anda baik-baik saja? Kami mengira pengemudinya masih terjebak di dalam mobil!"
Alden mengangguk, berusaha mengatur napas. "Saya baik-baik saja. Semalam saya dan istri terpaksa meninggalkan mobil dan mencari tempat berteduh karena hujan semakin deras. Alhamdulillah, kami selamat dan saya bisa kemari untuk melihat kondisi mobil saya."
"Istri?" tanya seorang wanita di antara kerumunan. Ia celingak celinguk karena hanya melihat Alden tanpa siapapun bersamanya.
Alden mengangguk. "Dia ada di sebuah bangunan tua tidak jauh dari sini. Saya harus menjemputnya setelah ini."
"Oh, begitu. Syukurlah kalau kalian selamat," ucap si wanita dengan ekspresi lega.
Sementara orang-orang sibuk membicarakan situasi mobilnya, Alden segera membuka pintu mobil bagian belakang. Ia mengaduk-aduk bagian dalam, mencari ponsel Naysila yang semalam ia tinggalkan. Beruntung, ia menemukannya tergeletak di bawah jok dan tidak basah. Saat ia menyalakan ponsel itu, layarnya menyala meskipun baterainya tinggal sedikit.
Alden langsung menelepon seseorang yang bisa ia andalkan saat ini, asisten pribadi yang juga teman dekatnya.
"Hallo?" suara pria di ujung telepon terdengar.
"Rio, ini aku," Alden berbicara cepat. "Aku butuh bantuan. Mobilku tertimpa pohon dan aku terjebak semalaman di dekat sini bersama istriku. Aku kirimkan lokasiku, tolong cepat datang dan bawa pakaian untuk Naysila."
Rio di ujung telepon terdengar kaget. "Tunggu… apa kalian baik-baik saja?"
"Alhamdulillah, kami baik-baik saja. Tapi aku butuh kamu segera ke sini, jangan banyak tanya dulu," ujar Alden tegas.
"Baik, aku segera ke sana," jawab Rio sebelum panggilan terputus.
Setelah memastikan bantuan akan segera datang, Alden kembali menoleh ke arah kerumunan. "Bisa tolong bantu saya menyingkirkan pohon ini dari mobil?"
Beberapa pria di sana langsung bergerak, bersiap membantu Alden. Setelah pohon berhasil di singkirkan, Alden segera meminta bantuan untuk menderek mobilnya. Mereka pun membantu Alden dengan memanggilkan mobil derek, lalu setelah Alden kembali ke bangunan tempat Naysila menunggu.
_
Di dalam bangunan tua, Naysila duduk di sudut ruangan dengan lutut ditarik ke dada. Udara masih dingin, dan meskipun kemeja Alden cukup menutupi tubuhnya, ia masih merasa tidak nyaman. Matanya sesekali melirik ke luar jendela, berharap Alden segera kembali.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Jantung Naysila berdegup kencang, rasa takut langsung menyergapnya. Namun, ia segera mengenali sosok yang muncul di ambang pintu.
"Mas Alden!" serunya lega.
Alden masuk, menutup pintu di belakangnya. "Maaf, aku agak lama. Aku sudah menghubungi Rio untuk menjemput kita. Dia akan segera datang dengan pakaian untukmu."
Naysila mengangguk pelan. "Berapa lama lagi?"
"Seharusnya tidak terlalu lama," jawab Alden sambil berjalan mendekatinya. "Apa kamu baik-baik saja di sini?"
Naysila menghela napas. "Aku takut kalau ada orang asing yang masuk ke sini."
Alden duduk di hadapannya, menatapnya dengan serius. "Aku pastikan di sini aman, jangan takut."
Tatapan mata Alden membuat Naysila sedikit tenang. Ia mengangguk, merasa lebih percaya diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Mereka menunggu dalam diam, sampai akhirnya 20 menit kemudian suara mobil terdengar di kejauhan. Alden segera berdiri. "Sepertinya dia sudah datang."
Ia mengulurkan tangan ke Naysila, membantunya berdiri. Naysila menggenggam tangan Alden erat, masih sedikit lemas tetapi berusaha tetap kuat.
Alden keluar dari bangunan itu tanpa Naysila, sebuah mobil SUV hitam berhenti di tepi jalan di depan bangunan tua itu. Seorang pria turun dari mobil, membawa sebuah tas di tangannya.
"Aku datang secepat mungkin," kata Rio, menyerahkan tas itu kepada Alden.
"Terima kasih, Rio," ujar Alden.
"Kenapa gak kasih tahu aku semalam? Mungkin aku bisa langsung datang dan bantu kamu."
"Ponselku mati total dan aku terpaksa pergi dari mobil karena takut terjadi hal yang lebih buruk."
"Syukurlah kalian selamat. Aku minta maaf karena mungkin datang terlambat."
"Nggak apa-apa. Ini sudah cukup membantu."
Alden masuk ke dalam bangunan itu dan menemui Naysila. "Ganti bajumu di dalam dulu. Aku dan Rio akan menunggu di luar," kata Alden sembari memberikan tas tadi pada Naysila.
Naysila mengangguk cepat, lalu pergi menjauh dari Alden untuk berganti pakaian.
Sementara itu, Alden keluar dan berdiri di luar bersama Rio menunggunya.
"Kamu bikin aku panik setengah mati," keluh Rio. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Aku ceritakan nanti," jawab Alden singkat.
Beberapa menit kemudian, Naysila keluar dengan pakaian yang lebih tertutup dan kepalanya pun di tutupin jilbab warna biru, membuat wanita muda itu tak merasa malu lagi.
"Sudah?" tanya Alden.
Naysila mengangguk. "Sudah."
"Baiklah, ayo kita pulang."
Naysila menimpali, "Tapi, kita akan pulang ke rumah orang tuaku, kan?"
Alden menatapnya. Ia lupa kalau semalam dirinya akan mengantarkan Naysila ke rumah orang tuanya.
"Kita langsung pulang saja ke rumah orang tuaku. Aku gak mau pulang ke rumahmu lagi," ucap Naysila dengan perasaan sesak yang kembali menyeruak mengingat di rumah itu ada Serena.
Alden menghela napas, "Untuk saat ini kita pulang ke rumah saja, kamu harus dapat perawatan setelah kejadian semalam. Kamu gak mau orang tuamu sedih, kan?"
Naysila terdiam, mencerna kata-kata Alden.
"Kita pulang dulu ke rumah kita..."
"Rumahmu," potong Naysila.
"Ya... terserah. Setelah kamu benar-benar sehat, aku akan antarkan kamu pulang ke rumah orang tua kamu," ujar Alden yang seolah tak mau mengantarkan Naysila pulang ke rumah orang tuanya.
Naysila akhirnya mengangguk, ia sadar tak seharusnya pulang dalam keadaan seperti itu, hanya akan membuat orang tuanya sedih dengan keadaannya.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka naik ke dalam mobil dan duduk bersama di kursi belakang. Saat mesin mobil dinyalakan, Naysila menatap Alden dari samping dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Ia tidak tahu kenapa, tapi untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia merasa ada sesuatu yang berbeda di antara mereka berdua. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
*****