Seorang psikopat yang ber transmigrasi ke tubuh seorang gadis, dan apesnya dia merasakan jatuh cinta pada seorang wanita. Ketika dia merasakan cemburu, dia harus mengalami kecelakaan dan merenggut nyawanya. Bagaimana kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AgviRa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Merasa perutnya lapar, Alice memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan turun menuju dapur untuk mengambil minuman dan cemilan, dia akan mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum pergi keluar untuk berbelanja. Dia berjalan dengan langkah yang santai dan percaya diri. Saat dia tiba di dapur, Jumi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk makan malam nanti menyapa Alice dengan hormat.
"Nona Alice, apa yang Anda butuhkan?" Jumi bertanya dengan suara yang lembut.
Alice menjawab dengan singkat, "Hanya air dan cemilan saja, Bi Jumi. Terima kasih."
Jumi mengangguk, meskipun rasa penasaran dan keheranannya tentang perubahan Alice tidak bisa disembunyikan.
Dengan cekatan, Jumi menyiapkan apa yang Alice minta dan menyerahkannya dengan senyum yang sedikit kaku. Setelah Alice menerima makanan dan minuman, Jumi memperhatikan dia yang kembali ke atas dengan langkah ringan.
"Ternyata bukan hanya mimpi," gumam Jumi dalam hati, terkejut karena perubahan sikap Alice yang sebelumnya dia duga hanya sekedar ilusi di siang hari. Kenyataan bahwa Alice benar-benar berubah membuat Jumi semakin penasaran dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Alice.
Saat Alice menaiki tangga, dia bertemu dengan Marina dan Bagas yang berjalan hendak turun. Bagas terlihat mematung bercampur gugup saat melihat Alice, matanya terpaku pada wajah Alice, namun Alice sama sekali tidak melirik kedua manusia itu, dia terus menaiki tangga tanpa memberikan perhatian kepada mereka. Sikap Alice yang dingin dan tidak peduli membuat Marina dan Bagas saling bertukar pandang, merasa tidak nyaman dan penasaran.
"Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak menyapamu, Gas?" Marina bertanya dengan rasa penasaran, sambil memandang Bagas dengan mata yang penuh pertanyaan.
"Apa dia tidak melihat jika tunangannya ada di depan matanya?" tambahnya, sambil menggelengkan kepala dengan tidak percaya.
Bagas menaikkan bahunya, tidak tahu apa yang harus dia katakan. Saat itu, dia tidak bisa tidak memperhatikan bahwa Alice sama sekali tidak melirik ke arahnya, tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan kehebohan atau setidaknya kesadaran akan kehadirannya. Hati Bagas tiba-tiba terasa ada yang berbeda, seperti ada benang yang tidak lagi terhubung.
"Aku juga tidak tahu, Marina. Tapi dia sangat berbeda," jawabnya, masih terkesan dengan penampilan Alice yang baru dan sikapnya yang dingin.
"Biasanya dia akan heboh jika melihatmu, tapi sekarang dia tidak peduli sama sekali," kata Marina.
Mereka berdua berdiri diam sejenak, memandang Alice yang terlihat sangat berbeda. Wajah Alice yang sebelumnya biasa saja, sekarang terlihat lebih bersinar dan memancarkan aura yang berbeda. Bagas sendiri terpaku pada wajah Alice, matanya tak bisa berpaling dari kecantikannya.
"Dia terlihat sangat cantik hari ini," kata Bagas tanpa sadar, sementara Marina menatapnya tajam dengan rasa kesal yang mulai muncul.
Marina berusaha menyembunyikan kekesalannya, tapi suara Bagas sedikit keras saat berbicara. "Tapi sikapnya sangat berbeda, seperti orang lain," tambah Bagas, seolah tidak menyadari kekesalan Marina.
"Jangan bilang setelah kamu melihat penampilan Alice yang berbeda, kamu akan ingkar janji," kata Marina dengan wajah cemberut.
Bagas tersenyum lembut, berusaha menenangkan Marina. "Tidak, sayang. Percaya sama aku. Ya sudah yuk, sebentar lagi Om Anton dan Tante Lucy pulang bukan? Aku harus segera pulang agar mereka tidak melihatku sedang bersamamu," katanya, sambil memandang Marina dengan mata yang penuh kasih sayang.
Sementara itu, dalam hati Bagas berpikir, "Aku harus segera mengalihkan perhatian darinya sebelum Marina semakin curiga."
Marina mengangguk, meskipun dalam hatinya dia merasa sedikit kesal. "Mengapa aku harus selalu percaya padanya? Apakah dia benar-benar tulus dengan aku, atau hanya pura-pura?" gerutunya dalam hati.
Marina memandang Bagas dengan mata yang sedikit skeptis, namun dia masih bisa menyembunyikan kekesalannya dan tersenyum lembut.
"Aku percaya padamu, sayang," Marina berkata dengan suara yang manis, sambil memegang tangan Bagas. "Tapi kamu harus berjanji untuk tidak meninggalkan aku," tambahnya, sambil memandang Bagas dengan mata yang penuh harapan.
Bagas tersenyum dan memeluk Marina erat. "Aku berjanji, sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu," katanya, sambil membisikkan kata-kata manis di telinga Marina. Marina merasa sedikit lebih tenang, namun dalam hatinya dia masih merasa sedikit keraguan tentang kesetiaan Bagas.
**
Malam harinya, Alice dipanggil Jumi agar segera turun untuk makan malam. Ketika dia tiba di ruang makan, dia melihat Anton, Lucy, dan Marina sudah duduk di meja makan.
"Alice, ayo duduk dan makan," Anton menyambut Alice dengan senyum hangat, namun saat Alice duduk, Anton dan Lucy tidak bisa tidak terkejut dengan penampilan Alice yang baru. Mereka berdua saling bertukar pandang, mata mereka terbuka lebar karena tak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Alice.
"Ma, apa yang terjadi pada Alice?" Anton bertanya dengan suara yang rendah. Lucy hanya menggelengkan kepala, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Makan malam berlangsung dengan suasana yang santai, namun Alice tidak bisa tidak merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam suasana malam itu. Anton dan Lucy terus memandang Alice dengan mata yang penuh keheranan, sementara Marina hanya diam dan memandang Alice dengan rasa penasaran.
Tiba-tiba Anton membuka suara, "Alice, pernikahanmu dengan Bagas akan kami majukan, tepatnya seminggu lagi. Om Bastian juga sudah sepakat dengan hal itu. Jadi, persiapkan dirimu."
Mendengar itu, Marina terkejut dan memandang Alice dengan mata yang lebar, sementara Alice sendiri menatap Anton dengan mata yang dingin dan tajam.
"Aku tidak mau menikah," jawab Alice dengan nada yang tegas dan menakutkan, suaranya rendah dan penuh dengan otoritas. "Jangan berpikir aku akan tunduk pada keinginanmu hanya karena aku berada di bawah kendalimu."
Anton dan Lucy saling bertukar pandang, terkejut dengan jawaban dan penolakan Alice yang berani dan tegas. Mereka terbiasa melihat Alice sebagai orang yang lemah dan patuh, tapi sekarang Alice menunjukkan keberanian dan ketegasan yang tidak biasa. "Apa maksudmu, Alice?" Anton bertanya dengan suara yang sedikit keras, tapi Alice tidak gentar, menatap Anton dengan mata tajam dan percaya diri.
"Kamu sudah bertunangan dengan Bagas, dan pernikahan itu sudah menjadi rencana kami sejak lama," tambahnya, tapi Alice hanya tersenyum sinis.
"Sepertinya dia mulai berani dan melawan, Pa. Anak kurang didikan ya begini. Bar-bar dan tidak sopan." kata Lucy dengan nada yang sedikit mengejek, sambil mengamati reaksi Alice dengan mata yang tajam.
Anton hanya melirik ke arah Lucy sekilas, seolah-olah memberi isyarat untuk diam agar tidak memperkeruh keadaan, sementara Alice hanya memutar bola matanya malas, menunjukkan rasa bosan dan tidak peduli dengan omongan Lucy.
"Anak kandungnya sendiri disindir begitu sama nenek lampir, tapi reaksi Anton hanya begitu? Benar-benar mati itu saraf sama hati, pakai pelet apa ini nenek lampir?" heran Alice dalam hati.