Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Kedatangan Tamu Tak Diundang
Bab 24: Kedatangan Tamu Tak Diundang
Jam dinding antik berbandul emas di ruang tengah berdentang dua belas kali.
Teng. Teng. Teng.
Suaranya berat dan bergema di seluruh aula.
Tengah hari.
Matahari bersinar terik di luar sana, membakar sisa-sisa kabut pagi yang sempat menyelimuti bukit.
Tapi di dalam Vila Adhitama, suhu udara tetap dingin.
Beku.
Diset pada 18 derajat konstan oleh sistem pendingin udara sentral.
Yuni duduk di sofa ruang tengah.
Sofa beludru warna cream yang harganya mungkin lebih mahal dari biaya kuliahnya selama 4 tahun.
Kakinya disilangkan dengan sopan, sesuai instruksi Juan.
Tangannya bertumpu di pangkuan, meremas kain rok batiknya yang mulai kusut karena keringat.
Dia sudah melewati sarapan neraka tadi pagi.
Dia sudah melewati interogasi Oma di jalan menanjak.
Dia sudah melewati tes wawasan Pak Adhitama di ruang kerja yang bau cerutu.
Tapi dia tahu, dari peringatan semua orang...
Ujian sesungguhnya baru akan dimulai.
"Tenang," bisik Juan yang duduk di sebelahnya.
Dia sedang pura-pura membaca majalah otomotif, tapi matanya tidak bergerak dari satu halaman pun.
Matanya terus melirik ke arah pintu masuk ganda yang tertutup rapat.
"Tanganmu dingin," kata Juan.
Dia menyentuh punggung tangan Yuni sekilas.
"Aku mual," aku Yuni jujur. Perutnya melilit.
"Tahan. Jangan muntah di karpet Persia ini. Harganya lebih mahal dari ginjal kita berdua digabung."
Candaan itu tidak lucu. Kering.
Tapi Yuni menghargai usahanya untuk mencairkan suasana beku ini.
Tiba-tiba.
Suara deru mesin mobil terdengar dari halaman depan.
Bukan mesin biasa.
Bukan mesin Kijang atau Avanza.
Suara mesin yang halus, bertenaga, dan menggeram rendah.
Seperti singa betina yang baru bangun tidur.
Lalu suara pintu mobil ditutup. Blam.
Suara yang solid dan mahal.
Langkah kaki heels beradu dengan lantai marmer di teras depan.
Tak. Tak. Tak.
Ritme yang percaya diri. Cepat. Menghentak.
Pintu utama terbuka lebar.
Pelayan yang berjaga di sana membungkuk dalam-dalam. Lebih dalam dari saat menyambut Yuni kemarin.
Dan dia masuk.
Clarissa.
Yuni menahan napas.
Oma benar.
Dia bukan sekadar cantik.
Dia... menyilaukan.
Rambutnya hitam legam, panjang bergelombang sampai pinggang, berkilau sehat seperti iklan sampo mahal.
Kulitnya putih porselen, tanpa noda, seolah tidak pernah tersentuh matahari tropis Indonesia.
Kontras dengan dress sutra merah menyala yang dia kenakan.
Potongan dress-nya sederhana tapi elegan, membalut tubuhnya yang ramping dan tinggi semampai.
Warna yang berani. Warna yang berteriak "lihat aku".
Warna yang membuat Yuni dengan baju batiknya merasa seperti tembok kusam.
Dia membawa tas Hermes Birkin hitam di satu tangan, dan kacamata hitam Chanel di tangan lainnya.
Dia tidak berjalan. Dia melenggang.
Langkahnya lebar dan anggun.
Seolah-olah vila ini adalah catwalk pribadinya.
Seolah-olah dia yang punya tempat ini.
Bu Linda menyambutnya dengan pelukan hangat yang nyata.
Bukan cipika-cipiki udara yang berjarak seperti yang diberikan pada Yuni.
Tapi pelukan erat. Pipi ketemu pipi.
"Clarissa, Sayang! Ya ampun, Tante kangen banget!"
"Tante Linda!" Clarissa memeluk balik, tawanya renyah dan merdu seperti lonceng kecil.
"Maaf aku telat, Tante. Jet lag parah. Semalam baru landing dari Paris, terus paginya harus meeting dulu sama vendor bunga buat event amal Mama."
Paris. Event amal. Mama.
Dalam satu kalimat pembuka, dia sudah memamerkan status sosial, koneksi internasional, dan kegiatan amalnya tanpa terlihat sombong.
Itu bakat alam. Atau hasil didikan elit sejak lahir.
Matanya menyapu ruangan.
Cepat. Tajam.
Mencari seseorang.
Dan menemukannya.
"Juan!"
Seruannya ceria. Akrab.
Dia melepaskan pelukan Bu Linda dan berjalan lurus ke arah sofa tempat Juan dan Yuni duduk.
Juan berdiri.
Gerakannya kaku. Defensif.
Yuni ikut berdiri, merasa canggung dan kecil di samping aura Clarissa yang mendominasi ruangan.
"Hai, Clar," sapa Juan datar.
Tangannya dimasukkan ke saku celana. Bahasa tubuh yang menutup diri.
Clarissa tersenyum.
Senyum yang bisa mencairkan es di kutub. Senyum yang tahu dia cantik.
"Kamu kurusan, Ju. Kurang gizi apa kurang kasih sayang?" candanya.
Dia menyentuh lengan Juan.
Mencubit otot bisepnya pelan.
Sentuhan itu.
Terlalu santai. Terlalu memiliki. Terlalu... masa lalu.
Lalu, mata Clarissa beralih ke Yuni.
Senyumnya tidak hilang.
Malah melebar. Menjadi senyum sopan yang terlatih.
Tapi matanya...
Mata itu memindai Yuni dari atas ke bawah dalam sepersekian detik.
Scannerberjalan.
Dressbatik pasar Tanah Abang.
Rambut yang diikat sederhana karena bad hair day.
Sepatu flat yang nyaman tapi murah.
Tidak ada perhiasan. Tidak ada jam tangan mahal.
Penilaian selesai.
Kesimpulan di mata Clarissa: Tidak selevel. Bukan ancaman.
"Dan ini pasti..." Clarissa menggantung kalimatnya, persis seperti Bu Linda tadi pagi.
Memberi jeda dramatis.
"Yuni," kata Juan cepat, melangkah sedikit ke depan Yuni. Melindungi.
Suaranya tegas.
"Pacarku."
"Oh," kata Clarissa.
Nada suaranya ringan. Seolah baru saja diberitahu harga kerupuk.
"Hai, Yuni. Salam kenal. Aku Clarissa."
"Teman masa kecil Juan. Tetangga. Mantan tunangan juga sih, tapi itu cerita lama. Jangan diambil hati ya."
Dia mengulurkan tangan.
Kukunya dimanikur sempurna dengan warna nude yang elegan. Jari-jarinya lentik.
Yuni menjabatnya.
Tangan Clarissa halus, lembut seperti bayi, dan wangi hand cream mawar Bulgaria.
Kontras dengan tangan Yuni yang kasar dan kapalan bekas kerja keras.
Perbedaan tekstur itu terasa menyakitkan.
"Salam kenal, Kak," jawab Yuni. Suaranya stabil.
"Panggil Clarissa aja. Kita seumuran kok. Atau mungkin aku lebih muda?"
Clarissa memiringkan kepalanya sedikit.
"Kamu kelihatan... dewasa. Matang."
Tusukan pertama.
Halus.
Menyiratkan Yuni terlihat tua atau boros muka. Atau lelah hidup.
"Yuni satu angkatan sama aku," potong Juan tajam. "Dia ambil Sastra. Beasiswa penuh. IPK tertinggi di fakultas."
Alis Clarissa terangkat. Sempurna.
"Sastra? Wow. Unik banget."
"Jarang lho ada yang ambil Sastra sekarang. Biasanya kan Bisnis atau Hukum."
"Pasti kamu pinter banget ya, bisa dapet beasiswa. Aku sih nyerah kalau soal belajar teori, otaknya nggak nyampe. Bisanya cuma bisnis fashion praktis aja."
Merendah untuk meninggi.
Teknik klasik sosialita.
Pura-pura bodoh untuk memamerkan bahwa dia punya bisnis sendiri (yang dimodali orang tua).
"Yuni memang pintar," kata Juan. "Ayah tadi terkesan sama dia. Oma juga."
Mata Clarissa menyipit sedikit mendengar nama Ayah dan Oma disebut.
Ada kilatan tidak suka yang sangat cepat.
"Om Adhitama ada? Aku harus sapa Om dulu. Aku bawain cerutu Kuba kesukaannya. Cohiba Behike. Edisi terbatas, titipan Papa."
Dia tahu selera Pak Adhitama.
Dia tahu merek spesifiknya.
Dia punya akses ke barang-barang yang tidak bisa dibeli Yuni dengan gaji setahun.
"Silakan," kata Juan. "Dia di ruang kerja."
"Oke. Catch you guys later."
Clarissa mengedipkan mata pada Juan.
Lalu melenggang pergi menuju Sayap Barat.
Gaun merahnya berkibar.
Meninggalkan aroma parfum mahal yang tertinggal di udara.
Wangi mawar, vanilla, dan uang lama.
Yuni duduk kembali di sofa.
Kakinya lemas. Lututnya goyah.
"Itu dia," bisik Juan.
Dia mengusap wajahnya kasar.
"Ular berbisa yang Oma maksud."
"Dia cantik," gumam Yuni.
Matanya menatap kosong ke karpet.
"Sangat cantik."
"Itu senjatanya," kata Juan. "Jangan tertipu kemasannya."
"Dia baru saja menghina kamu dua kali dalam satu menit."
"Aku tahu."
"Soal muka boros. Dan soal beasiswa (dianggap miskin)."
"Benar."
"Dia memposisikan kamu sebagai 'si miskin pintar yang harus dikasihani'."
Juan menoleh ke Yuni.
Melihat wajah Yuni yang pucat.
"Kamu baik-baik saja?"
Yuni menarik napas panjang.
Dia melihat tangannya yang kasar.
Tangan yang bekerja keras.
Tangan yang dipuji Oma tadi pagi di jalan menanjak.
"Aku baik-baik saja," kata Yuni.
Dia mengangkat wajahnya.
Matanya menatap punggung Clarissa yang menghilang di lorong gelap Sayap Barat.
"Dia boleh punya cerutu Kuba."
"Dia boleh punya tas Hermes."
"Dia boleh punya kulit porselen."
"Tapi dia nggak punya kamu sekarang."
Juan tersenyum miring.
"Benar."
"Dan dia nggak tahu kalau kamu sudah menaklukkan Oma dan Ayah sebelum dia datang."
"Kita punya head start. Kita punya momentum."
"Makan siang nanti..." kata Juan, nadanya berubah menjadi instruktur perang.
"Ya?"
"Duduk di sebelahku. Jangan biarkan dia nyelip di antara kursi kita."
"Dia akan coba ambil alih percakapan dengan kenangan masa lalu."
"Potong dia."
"Gimana caranya?"
"Tanya soal masa kini. Tanya soal bisnisnya yang rugi. Atau tanya soal skandalnya di Bali kalau dia mulai kurang ajar."
Yuni tertawa kecil. Tawa yang sedikit jahat.
"Itu kejam."
"Itu pertahanan diri," kata Juan.
Lonceng makan siang berbunyi.
Ting. Ting. Ting.
Suara lonceng perak yang dibunyikan pelayan.
Medan perang selanjutnya telah dibuka.
Aroma makanan lezat mulai tercium, bercampur dengan aroma parfum Clarissa yang masih menggantung.
Yuni berdiri.
Meratakan rok batiknya yang sederhana.
Menegakkan punggungnya yang lelah.
"Ayo," katanya pada Juan.
Dia mengulurkan tangannya. Meminta digandeng.
"Mari kita lihat apa ular itu bisa makan sendok garpu."