“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Darrel bangkit mendekat. Fio gelisah di tempat tidurnya, keringat dingin membasahi pelipisnya, bibirnya bergetar seperti sedang bertahan dari sesuatu yang menakutkan.
“Fio…” panggil Darrel pelan, menyentuh bahunya.
Tapi Fio justru meronta pelan, matanya masih terpejam.
“Jangan… jangan deketin gue! Dia ayahku!”
Suara Fio naik, nyaris seperti bentakan. Darrel langsung menahan napas... antara kaget dan bingung. Ia menggenggam tangan Fio, berusaha menenangkan.
“Fio, ini aku, Darrel… kamu aman di sini.”
Tapi Fio terus menggeliat, seolah sedang menghindari seseorang. Tangis lirihnya pecah di sela igauannya.
“Jangan sakitin gue…”
Darrel tercekat. Ia belum pernah melihat Fio seperti ini... ketakutan, gemetar, seolah mengingat sesuatu yang sangat kelam.
“Fio…” bisiknya lagi. Ia menarik Fio ke dalam pelukannya, membiarkan kepala gadis itu bersandar di dadanya. “Udah, tenang. Kamu aman.”
Pelan-pelan Fio berhenti meronta, napasnya mulai melambat meski air mata masih menetes.
Darrel menatap wajahnya yang lemah, matanya menyimpan campuran marah dan cemas.
“Dia ayahku…” gumam Fio lagi, kali ini dengan suara lirih sebelum kembali terlelap.
Darrel diam lama, menatap Fio yang kembali tertidur. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Dia ayahku.
Siapa yang Fio maksud? Kenapa sampai segelisah itu?
Darrel menatap kosong ke arah langit-langit kamar, perasaannya campur aduk. Untuk pertama kalinya, hatinya diliputi rasa takut, bukan karena Fio akan pergi, tapi karena mungkin… Fio menyimpan luka yang selama ini tidak pernah dia bayangkan.
***
Begitu azan Subuh berkumandang, Bu Rania sudah tak bisa memejamkan mata lagi. Hatinya gelisah sejak semalam. Setelah shalat dan menyiapkan sarapan sederhana, ia memutuskan naik ke lantai atas.
Tok! Tok! Tok!
“Rel, Nak… Mama boleh masuk?” suaranya pelan tapi terdengar cemas.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Darrel berdiri dengan wajah lelah, rambut berantakan, matanya sembab karena semalaman tak tidur.
“Masuk aja, Ma…” ujarnya lirih.
Begitu masuk, Bu Rania langsung menatap ke arah ranjang. Fio masih berselimut hingga ke leher, tubuhnya meringkuk membelakangi mereka.
“Gimana keadaannya?” tanya Bu Rania setengah berbisik, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.
“Masih sama, Ma. Dari semalam cuma diam, tidak mau makan, tidak mau bicara.” Darrel duduk di tepi ranjang, memandang Fio dengan tatapan sedih. “Cuma sesekali nangis dan ngigau juga.”
Bu Rania mendekat perlahan, lalu duduk di sisi tempat tidur. “Fio, Nak… ini Mama, sayang. Kamu kenapa, hm?”
Fio menggeliat sedikit, lalu perlahan menoleh. Air mata sudah lebih dulu menetes di pipinya. Ia hanya menggeleng, seperti semalam... tanpa suara, tanpa penjelasan.
“Fio…” Bu Rania menarik napas berat, tangannya mengusap lembut pipi Fio. “Kalau kamu tidak mau bicara sekarang, nggak apa-apa. Tapi jangan simpan sendiri, Nak.”
Isak kecil terdengar. Fio memeluk Bu Rania erat-erat, menangis sesenggukan di pelukannya.
Darrel menunduk, hatinya seperti diremas. Ia benci melihat Fio seperti itu tapi juga tak tahu harus berbuat apa.
Setelah tangisnya sedikit reda, Fio berbisik pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Maaf, Bu… aku nggak mau lanjut kuliah lagi.”
Bu Rania menatapnya lama, lalu mengangguk lembut. “Ya sudah, Nak. Sekarang istirahat dulu, ya. Kita bicarakan nanti kalau kamu sudah siap.”
Darrel spontan menimpali, “Tapi Ma, Fio lagi persiapan skripsi. Masa berhenti sekarang?”
Bu Rania menatap putranya dengan sorot mata tegas namun lembut. “Rel, biar dulu. Sekarang bukan waktunya menuntut apa-apa. Yang penting dia pulih dulu.”
Darrel terdiam. Ia tahu ibunya benar, tapi hatinya tetap sesak oleh rasa khawatir... dan rasa bersalah karena tak tahu apa yang sebenarnya menimpa Fio.
Bu Rania menatap Darrel kembali, lalu menggeleng pelan. Ia mengulagi lagi ucapannya, “Nak, bukan waktunya bahas itu dulu, ya. Lihat Fio…” suaranya melembut, tangannya masih mengelus rambut Fio yang kusut. “Yang penting sekarang dia tenang dulu.”
Darrel menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke dinding. “Aku cuma khawatir, Ma. Fio udah sejauh ini, masa tiba-tiba nyerah gitu aja.”
Fio menunduk, matanya sembab. Ia menggigit bibir bawahnya menahan getar. “Aku capek… aku nggak sanggup lagi ke kampus.”
“Kenapa, Sayang? Apa ada yang ganggu di kampus?” tanya Bu Rania lembut. Tapi Fio hanya menggeleng cepat, lalu memeluk bantalnya erat-erat.
Darrel hendak bertanya lagi, tapi tatapan ibunya menahannya. “Udah, Rel,” kata Bu Rania pelan tapi tegas. “Kalau terus ditekan, dia makin tertutup.”
Darrel akhirnya diam. Ia menatap wajah Fio lama, hati kecilnya penuh tanda tanya.
Ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, sesuatu yang berat, dan mungkin… menyakitkan.
***
Darrel duduk di kursi dekat jendela sambil memperhatikan Fio yang masih diam di tempat tidur. Sinar matahari pagi menembus tirai, tapi kamar itu terasa kelabu dan dingin. Seharusnya pagi itu ia sudah berangkat ke kantor, tapi hatinya tak tega meninggalkan Fio sendirian.
Ketika Bu Rania mengetuk pintu dan menyodorkan segelas susu, beliau sempat bertanya, “Kamu gak kerja, Nak?”
Darrel hanya menggeleng pelan. “Aku nungguin dia, Ma.”
Bu Rania menatapnya sebentar, lalu mengangguk penuh pengertian sebelum menutup pintu perlahan.
Setelah suasana kembali hening, Darrel berjalan ke arah ranjang. “Fio, kamu gak harus diam terus begini,” ucapnya lembut. “Aku di sini, kamu gak sendirian.”
Fio menatap ke arah lain, pandangannya kosong. “Aku gak pantas ditungguin, Tuan…” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.
Darrel mendekat, duduk di tepi ranjang. “Kata siapa?” tanyanya tenang, walau di dalam dadanya mulai terasa sesak.
Fio hanya tersenyum miris, bibirnya bergetar. Lalu dengan suara yang pelan dan terputus-putus, ia bergumam, “Dia ayahku… dia ayahku… tapi dia merebutnya.”
Dahi Darrel berkerut, matanya menatap Fio dengan bingung. “Fio?”
Fio menatap ke depan tanpa fokus, lalu menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. “Gak pantas aku jadi anaknya…” katanya lagi, lebih lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam isakan kecil yang tertahan.
Darrel menatapnya lama. Ia ingin memeluk, tapi juga takut membuat Fio semakin terpuruk. Tangannya menggantung di udara, lalu perlahan menyentuh punggung tangan Fio.
“Fio, kamu bicara apa? Siapa yang kamu maksud ayahmu?”
Namun Fio tidak menjawab. Matanya menatap jauh ke luar jendela, seolah melihat sesuatu yang hanya dia sendiri tahu... dan seketika Darrel sadar, ada luka besar yang belum tersentuh oleh siapa pun.
Fio tiba-tiba menegakkan tubuhnya, wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca tapi penuh kemarahan yang ditahan terlalu lama.
“Dia ayahku!” teriaknya tiba-tiba, membuat Darrel terkejut dan spontan berdiri dari duduknya.
“Dia ayahku! Lo yang meracuni otak ayah supaya gak peduli sama gue!”
Suara Fio pecah di kamar yang tadinya hening. Isak dan teriakannya berbaur jadi satu. Ia menatap Darrel dengan pandangan penuh luka... pandangan yang menusuk hati siapa pun yang melihatnya.
“Lo yang udah bikin ayah bvta! Bvta kalau anaknya itu bukan gue!” Suaranya gemetar, dadanya naik turun cepat.
Darrel terpaku di tempat. Kata-kata Fio bagai tamparan yang membuat napasnya tertahan. Ia mencoba mendekat, tapi Fio mundur, tubuhnya bergetar hebat.
Tanpa bisa menahan dorongan hatinya, Darrel langsung memeluk Fio... erat, kuat, seolah ingin menenangkan badai di dada gadis itu.
Namun Fio berontak keras. “Lepasin gue! Dia udah merebut ayah dari gue!” teriaknya sambil memukul dada Darrel bertubi-tubi.
“Lo juga udah hancurin pendidikan gue!”
Tangannya yang kecil menghantam dada Darrel, tapi lelaki itu tak bergeming, hanya memeluk lebih kuat.
“Fio, cukup…” suaranya pelan namun tegas, menahan setiap pukulan yang datang. Tapi Fio tak berhenti, air matanya semakin deras.
“Lo pikir mudah cari bahan skripsi, hah?” suaranya serak, penuh keputusasaan. “Lo pikir gampang ngatur semuanya pas dosen gue mulai gak percaya sama gue?! Lo gak ngerasain jadi gue, Darrel!”
Fio jatuh berlutut, menangis sejadi-jadinya di lantai. Tangannya menggenggam ujung selimut dengan gemetar.
Darrel ikut berlutut di depannya, mencoba menghapus air mata yang terus mengalir dari pipi Fio.
"Kalau aku tahu semua ini dari awal…” suaranya serak, “aku gak bakal biarin kamu nanggung semua sendirian, Fio.”
Tapi Fio hanya menangis lebih keras, menyembunyikan wajahnya di kedua tangannya—sementara Darrel memandanginya dengan mata basah, sadar bahwa yang dihadapinya bukan sekadar gadis yang terluka, tapi seseorang yang selama ini menanggung kesepian dan rasa ditolak oleh darah dagingnya sendiri.
Fio masih terisak di lantai, napasnya tersengal-sengal, tapi amarahnya belum padam. Tangannya mengepal, matanya memerah seperti menahan sesuatu yang hampir meledak.
“Lo… lo lempar laptop sama ponsel gue!” suaranya pecah, parau dan penuh tuduhan. “Lo hancurkan semuanya! Gue gak punya apa-apa lagi sekarang!”
Darrel terdiam sesaat. Keningnya kembali berkerut, mencoba mencerna ucapan Fio yang mulai tak beraturan. Suasana kamar seketika menegang.
“Siapa, Fio?” tanyanya pelan, tapi nada suaranya mulai berubah dingin.
Fio menatapnya sekilas, lalu menggeleng cepat, seolah takut. “Dia…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Dia yang merebut ayah.”
“Siapa dia?” Darrel menatap lebih tajam, kali ini nadanya menuntut jawaban. Tapi Fio justru menangis lebih keras.
“Dia... dia yang membuat ayah gak lihat gue lagi!” tangisnya pecah, tubuhnya bergetar. “Dia yang membuat gue gak punya siapa-siapa lagi, Tuan!”
Darrel mengepalkan tangan. Ia merasa campur aduk antara cemas, bingung, dan amarah yang tak tahu arah. Siapa yang dimaksud Fio? Apa benar ada orang lain di balik semua ini?
Ia berjongkok di depan Fio, suaranya kini tegas tapi tetap lembut, “Fio, dengar aku. Siapa orang itu?”
Tapi Fio hanya menggeleng keras, menutup telinganya sambil berbisik lirih berulang-ulang, “Dia ambil ayahku… dia ambil ayahku…” kemudian ia menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Darrel menatapnya lama, dada sesak oleh rasa tak berdaya. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar kehilangan kendali atas situasi... bukan karena marah, tapi karena Fio seolah berbicara dari dunia yang penuh luka yang belum bisa ia tembus.
“Lira bajngan!” teriak Fio tiba-tiba, sampai tubuhnya gemetar karena emosi. “Lo bajngan set*n! Lo kuliah pake duit ayah gue!”
Suara Fio menggema di kamar, penuh dendam yang selama ini terpendam. Wajahnya merah, matanya berair, tapi ucapannya terus mengalir seperti banjir yang tak bisa dibendung.
“Sedangkan anaknya sendiri harus nyari duit ke mana-mana! Sampe jual harga diri cuma buat bisa kuliah!” suaranya serak, nyaris terputus oleh tangis. “Tapi lo rebut juga bahan skripsi gue! Lo hancurin semua di sana!”
Darrel yang semula sudah berdiri, kembali mendekat. “Fio…” panggilnya pelan, suaranya nyaris bergetar. Ia tak sanggup melihat Fio seperti itu... pecah, terluka, dan kehilangan kendali.
Tanpa berpikir panjang, Darrel memeluk Fio. Pelukan yang awalnya ditolak oleh tubuh Fio yang menegang, tapi kemudian luluh dalam isakannya sendiri.
Darrel hanya bisa membelai punggung Fio perlahan, mencoba menenangkannya meski hatinya sendiri porak-poranda. Setiap kata yang keluar dari mulut Fio menusuk dadanya dalam-dalam.
Di sela tangis itu, sesuatu dalam diri Darrel runtuh. Kini ia paham… alasan Fio mau menikah dengannya bukan karena tawaran ibunya semata, tapi karena biaya kuliah... karena terdesak keadaan, bukan pilihan hati.
Tapi bukannya marah, Darrel justru merasa tersayat. Ada sesuatu yang hangat tapi menyakitkan menjalar di dadanya. Ia menunduk, matanya memerah menatap perempuan yang masih menggigil di pelukannya.
“Kenapa kamu harus sampai segininya, Fio…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Harusnya aku tahu dari awal, betapa berat hidup kamu.”
Fio masih menangis di dadanya, sementara Darrel hanya bisa diam... menahan perasaan campur aduk antara kasihan, sedih, dan penyesalan yang tak bisa diucapkan.
***
“Sayangi Fio, Rel. Jangan disakiti. Lihat betapa dia terlukanya… dia cuma butuh tempat aman buat pulih.”
Bersambung
ditunggu up nya
lira jg mencuri bhn skripsinya berarti mrk satu kampus dong ah bingung jg aku blom terlalu jelas masalahnya