Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Bertolak Belakang
Lari terbirit-birit adalah jalan ninja yang dilakukan Tya saat Diaz terbangun dan langsung duduk sambil menarik selimut untuk menutupi celana boxer yang mengembang berbentuk seperti pistol yang siap menembak. Larinya keluar kamar dan menuruni tangga dengan langkah cepat dengan wajah yang memerah. Penampakan pagi yang membuatnya teramat sangat malu.
"Hei, kenapa lari buru-buru gitu? Diaz udah bangun, Nak?" Ibu Suri sampai menghentikan langkah di bawah tangga karena melihat Tya turun tangga dengan tergesa-gesa serta wajahnya merah merona.
"Ini lagi olahraga, Bu. Mas Diaz udah bangun." Alibi yang diucapkan Tya sambil ngos-ngosan.
Nggak mungkin dong aku jujur. Malu.
"Gimana susah nggak banguninnya?"
"Iya susah banget mesti berulang kali percobaan. Menguji kesabaran juga ya, Bu." Tya meringis.
Ibu Suri tertawa. "Benar itu. Bikin jengkel dan kesal ya. Alhamdulillah sekarang tugas Ibu lebih ringan. Ada Tya."
Giliran Tya yang tertawa. "Bu, mau tanya soal sarapan Mas Diaz apa. Ya... setidaknya pengen cosplay jadi istri," ujarnya sambil tersenyum meringis. Tetapi kemudian melipat bibir saat ibu mertua menempelkan telunjuk di bibir.
"Jangan diulang lagi kata 'cosplay' nanti ada yang dengar," sahut Ibu Suri dengan suara pelan.
Tya mengangguk. "Maaf, Bu."
Ibu Suri tersenyum. Merangkul pundak Tya untuk berjalan bersama menuju ruang tengah. "Diaz biasanya olahraga dulu di teras belakang. Tya bisa bawakan air minum hangat segelas tinggi. Itu biasanya jadi tugasnya mbak Tuti. Mulai sekarang jadi tugas kau ya."
Tugasnya sih enteng. Tapi aku malu ketemu Daddy Cumi gara-gara tadi. Kayaknya di balik boxer nggak pakai cang cut. Ya ampun...hei pikiran kotor! Jangan kau racuni otakku.
"Tya...bisa, kan?" Ibu Suri menoleh karna Tya belum menjawab.
"Oh bisa, Bu."
"Untuk sarapan udah tugas Bi Saroh menyiapkan menu untuk kita semua. Diaz nggak ngopi pagi di rumah tapi nanti di kantor. Kau temani makan aja dan antar sampai teras saat Diaz berangkat kerja biar semua mata di rumah ini melihat keharmonisan kalian. Udah gitu aja. Nggak susah kan, Tya?"
"Enteng, Bu." Tya mengangkat dua ibu jarinya diiringi kedipan.
"Pagi...." sapa Tante Hani yang muncul di ruang tengah sudah berpenampilan rapi.
"Pagi, Tante. Pagi-pagi udah dandan cantik mau ke mana, Tante?" Tya mengakrabkan diri dan memang sudah jiwanya supel terhadap siapa pun yang sudah dikenalnya.
"Mau pulang ke Bandung, Tya. Kapan kau sama Diaz mau main ke rumah Tante? Harus lho!"
"Insya Allah, Tante. Aku sih nunggu diajak Mas Diaz aja. Kirain Tante tinggal di Jogja."
"Oh bukan. Udah lama menetap di Bandung sejak Ikram masuk SMA. Kemarin ke Jogja cuma buat hadir di wisuda S2 Ikram di UGM. Kalau S1 nya kan di UNPAD."
Tya manggut-manggut. Kemudian obrolan santai mengalir begitu saja berganti-ganti tema sehingga Tya menjadi tahu kalau kakak beradik itu akan umroh bersama-sama. Perhatiannya teralihkan karena mendengar suara laki-laki yang berbincang. Ia melihat Diaz dan Ikram berjalan bersama ke arah pintu belakang.
"Aku tinggal dulu, Bu, Tante. Mau siapin minum buat Mas Diaz."
"Silakan, Tya. Wah, mantu idaman ini, Suri."
Ibu Suri menyatakan persetujuan dengan tersenyum simpul diiringi anggukan. Sementara Tya memasang wajah tersipu malu lalu pergi ke arah ruang makan.
Meski masih dilanda malu, Tya berusaha melangkah tenang dan percaya diri menuju teras belakang. Ia simpan segelas air di meja. "Mas, minumnya di sini ya."
"Iya, yang." Diaz hanya melirik sekilas karena tengah fokus berlari di treadmill.
Ugh..mesranya. Akting mode on nih.
Keberadaan Ikram yang tengah memberi makan si Cumi dan Luna menjadi keuntungan buat Tya. Membantu mencairkan suasana canggungnya. "Mas Ikram mau diambilin minum juga?" Ia ikut berjongkok di samping Ikram yang tengah menonton dua kucing gembul makan.
"Thank, Tya. Tadi udah minum. Kapan mau posting status baru?"
"Gini ya ditanyain fans secara live. Biasanya dapat DM atau kalau teman ya via chat. Berasa jadi selebgram nih. Maaf... ujung-ujungnya jangan minta tanda tangan ya."
Ikram tertawa lepas. "Tya, pernah ikut stand up comedy nggak sih?"
"Nggak. Kasihan nanti Raditya Dika, Bintang Emon, kalah pamor sama aku."
Ikram meneruskan tawanya. "Kau ini unik. Orang pada ingin terkenal, kadang ada yang sampai bikin sensasi yang amoral. Kau punya bakat lho, Tya. Ditunjang sama fisik yang "menjual" pasti mudah untuk meraih popularitas."
Tya memangku si Luna yang sudah selesai makan masih dengan posisi berjongkok di samping kiri Ikram. Tanpa ia tahu kalau Diaz sudah dua kali menoleh ke arahnya.
"Faktanya tidak semua orang menyukai popularitas. Dan aku diantaranya. Punya akun motivasi unfaedah aja cukup lah buat hiburan diri dan menghibur orang lain. Nggak pernah posting kegiatan pribadi karena itu privasi. Popularitas itu bisa menimbulkan tekanan, tuntutan untuk selalu tampil sempurna. Intinya bagi aku pribadi, popularitas bukan pencapaian yang harus dikejar."
"Proud of you, Nyonya Ardiaz." Ikram bertepuk tangan diiringi senyum yang merekah lebar.
"Luna, help! Hidung aku mekar nih. Pagi ini dapat dua pujian dari Tante Hani sama Mas Ikram." Tya menatap si kucing abu dengan memasang wajah memelas.
Ikram tertawa lagi. Gilirannya memangku si Cumi yang selesai makan malah rebahan santai sambil menatap ke arah Tya.
Diaz menyudahi olahraga pagi ini yang tidak maksimal karena konsentrasinya terganggu oleh tawa Ikram yang berjongkok di dekat Tya. Ia tak mendengar jelas apa yang mereka bahas. Hanya saja terlihat begitu akrab dan ia hanya bisa melihat wajah sepupunya yang berulang kali tertawa dengan wajah ceria.
"Yang, bantu siapin baju dulu! Aku mau mandi." Diaz sudah berdiri usai meminum segelas air yang dibawakan Tya. Intonasinya dibuat selembut mungkin meski sebenarnya ada sedikit kesal tertanam di dada gara-gara fokus olahraganya terganggu.
Tya menoleh dengan dua alis terangkat. Padahal ia ingat ucapan Diaz tempo lalu tentang privasi. Katanya jangan membuka lemarinya dan tak perlu menyiapkan baju untuknya.
Diaz menghampiri Tya dan berjongkok di hadapan perempuan yang tengah bengong campur bingung itu. "Ke kamar duluan aja. Sini Luna nya."
Seketika kucing abu dalam gendongan Tya memberontak. "Hm...tau aja nih si Luna sama bab.. eh daddy-nya."
"Kan emang Diaz bapakable, Tya. Nih si Cumi cemburu pengen dipangku juga." Ikram menurunkan kucing putih yang juga memberontak dari gendongannya. Dan langsung mendekati dengan kedua kaki depan naik ke lutut Diaz.
Tya meninggalkan teras belakang dengan sejumput tanya di pikiran. Tentang tugas yang diberikan Diaz yang bertolak belakang dengan aturan tak tertulis yang diucapkan tempo lalu.
Apa beneran harus nyiapin baju buat dia?
Ah tunggu aja dulu Mas Diaz nyusul ke kamar. Aku nggak tahu baju kerjanya kayak gimana.
aktor ama aktris nya the best da pokoknya 😁😁
gpp aku tungguin