Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mewujudkan Keinginan Seruni
Dengan diantar oleh Arvid, akhirnya Nateya dan Julian sampai di rumah menjelang siang.
Begitu memasuki halaman, mereka langsung disambut Victor dan Anelis yang terlihat baru pulang sekolah. Seragam gadis kecil itu masih rapi dengan wajah yang tampak cerah.
Anelis langsung berlari kecil ke arah sang ibu. Nateya pun merentangkan tangan dan memeluk putrinya erat.
“Sayang, sudah pulang ya. Cuci tangan dulu, nanti makan siang dengan Julian,” ujar Nateya lembut.
Nateya lalu memanggil Bi Warti yang ikut keluar dari dalam rumah.
"Bi Warti, siapkan makan siang untuk Anelis dan Julian, ya. Aku ada hal yang ingin kubicarakan dengan Victor.”
Bi Warti mengangguk patuh, sementara Nateya melangkah ke ruang tamu dengan Victor yang setia mengikuti di belakang.
Di dalam, suasana ruang tamu terasa hening. Victor berdiri tegap, tetapi Nateya bisa melihat gurat keheranan di wajahnya.
“Nyonya, ada apa memanggil saya?" tanya Victor penasaran.
Nateya menarik napas dalam, sebelum duduk di kursi empuk. Pandangannya lurus menatap Victor.
“Victor, besok aku akan pergi ke suatu tempat yang cukup jauh. Karena itu, hari ini adalah hari terakhirmu bekerja sebagai ajudanku.”
Ucapan Nateya seakan meruntuhkan keteguhan Victor. Wajahnya menegang, bahunya sedikit bergetar.
“Mengapa tiba-tiba saya diberhentikan?" tanya Apakah saya melakukan kesalahan selama menjaga Nyonya? Jika iya, saya bersedia memperbaikinya. Beri saya kesempatan.”
Nateya tersenyum samar, meski dalam hatinya bergemuruh penuh debaran. Kalau saja dia hanyalah Seruni dalam kisah asli novel, mungkin dia akan percaya pada kesetiaan Victor. Namun, ia sudah tahu bahwa Victor kelak akan menusuknya dari belakang.
Namun, bibir Nateya tak mengungkapkan itu. Ia hanya berkata lembut.
"Victor, kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Hanya saja, aku merasa lebih baik bila kau kembali meraih karier yang cemerlang sebagai prajurit," jawab Nateya diplomatis.
"Kau layak berada di medan yang lebih luas, bukan terikat hanya padaku. Nanti, Jenderal Elias sendiri yang akan memberimu tugas baru.”
Victor terdiam lama, seperti menelan pil pahit. Lalu ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan guratan kecewa di matanya.
“Kalau itu memang keputusan Nyonya, saya hanya bisa menurut. Terima kasih telah memberi kesempatan selama ini," ucapnya dengan berat hati.
Nateya bangkit dari kursinya, menepuk bahu Victor sekilas. “Aku juga berterima kasih atas dedikasimu. Aku tidak akan melupakannya.”
Tanpa menunggu tanggapan dari Victor, Nateya melangkah ke ruang tengah. Di sana, ia mendapati Julian dan Anelis sudah duduk manis di meja makan. Bi Warti sibuk melayani mereka, menuangkan sayur dan mengatur piring.
“Warti,” panggil Nateya sambil duduk di sisi meja, “kemarilah, duduk di sebelahku.”
Bi Warti terlonjak kaget, hampir menjatuhkan sendok di tangannya. “Aduh, Nyonya, saya tidak pantas duduk semeja. Saya hanya pelayan.”
Nateya tersenyum, kali ini hangat dan tulus. Ia meraih tangan kasar milik Bi Warti, menggenggamnya erat.
"Bi Warti sudah kuanggap keluarga sendiri. Karena itu, selama aku pergi, aku ingin menitipkan Anelis dan Julian padamu. Tolong, jagalah mereka seperti anakmu sendiri.”
Mata Bi Warti membulat, tak percaya mendengar perkataan Nateya
"Nyonya mau pergi ke mana?” tanyanya dengan suara gemetar.
"Aku akan pergi ke rumah peristirahatan warisan kakekku, di pegunungan. Aku ingin menenangkan diri sementara di sana."
Ruangan seketika hening. Bi Warti menunduk, berusaha menahan air mata. Sementara Anelis langsung menoleh pada ibunya dengan ekspresi khawatir. Gadis itu memberikan isyarat dengan kedua tangan mungilnya.
Nateya langsung bisa menangkap maksud putrinya itu. Nalurinya sebagai seorang ibu membuat ia mengerti bahwa Anelis ingin ikut.
Sambil tersenyum lembut, Nateya meraih tangan Anelis yang dingin.
"Sayang, Mama tahu kau ingin ikut. Tapi, kau harus sekolah. Nanti saat libur panjang, kau bisa mengunjungi Mama di Gunung Arunika bersama Julian. Bagaimana?”
Anelis menatap ibunya dengan mata berbinar, seolah sedang menimbang-nimbang. Lalu ia mengangguk pelan, senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Pintar anak Mama,” ujar Nateya sambil mengecup kening putrinya. “Julian hanya ikut sementara karena dia sedang skorsing dari sekolah. Kalau sudah selesai, dia juga akan kembali belajar. Jadi, kamu jangan khawatir.”
Setelah menenangkan Anelis, Nateya mengajak si kembar untuk makan siang bersama.
Mereka pun menikmati hidangan yang sudah disiapkan Bi Warti. Suasana hangat itu membuat Nateya semakin yakin dengan keputusannya.
Selesai makan, Nateya mengusap mulut dengan sapu tangan dan menoleh pada salah satu pelayan muda yang membawa minuman.
“Gendis,” panggil Nateya lembut.
Pelayan muda itu—seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun, berkulit sawo matang dan berkepang sederhana—segera menunduk hormat. Ia adalah putri dari almarhumah Bi Padmi, pelayan setia keluarga besar yang dulu pernah merawat Nateya kecil.
“Ada yang bisa saya lakukan, Nyonya?” tanya Gendis dengan suara sopan, meski ada sedikit getar karena gugup.
Nateya menatapnya penuh keyakinan. “Besok aku akan pergi ke Gunung Arunika. Aku membutuhkan seseorang yang bisa menemaniku sekaligus membantu di sana. Apakah kau bersedia ikut denganku?”
Gendis terbelalak sejenak, tak menyangka akan mendapat tawaran sebesar itu. Wajahnya perlahan berubah, dari bingung menjadi haru.
“Saya… saya bersedia, Nyonya. Akan menjadi kehormatan besar bagi saya untuk mendampingi Nyonya Seruni.”
Mata Nateya berbinar gembira. “Bagus sekali. Aku senang mendengarnya, Gendis.”
Tanpa membuang waktu lagi, Nateya beranjak dari meja makan.
Ia melangkah dengan cepat menuju kamarnya. Meninggalkan Julian, Anelis, dan para pelayan yang masih menatapnya dengan campuran haru dan penasaran. Akhirnya, besok pagi dia akan berangkat ke tempat yang tenang, jauh dari orang-orang yang suka membuat drama.
Nateya ingat bahwa sebelum meninggal, Seruni asli sempat merindukan masa kecilnya di Gunung Arunika. Namun sayang, ia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat pembuangan.
"Seruni, kau akan bebas mulai besok. Aku akan mewujudkan semua keinginanmu," gumam Nateya.