“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jully
...Nauru...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Kalau saja gue cerita jujur pas lagi bareng dia, gue yakin ujung-ujungnya dia bakal menyalahkan gue dan malah benci sama gue.
Tapi kalau gue gak ngomong jujur, bakal ada kebohongan yang mengganjal di antara kita, dan pada akhirnya dia juga bakal benci gue.
Semua orang bilang gue itu pengecut dan harusnya gue langsung saja cerita ke dia. Biar dia yang memutuskan.
Waktu itu gue lagi makan malam di rumah nyokap, Nenek masak mie andalannya yang terkenal itu.
"Kamu kelihatan capek banget, sih, sayang," kata Mama, duduk di samping gue di sofa.
"Itu bagus, sih. Pagi tadi Nauru dorong ban besar naik turun bukit habis lari. Joulle gak main-main."
"Mama bangga kamu kerja keras kayak gitu," katanya sambil senyum, terus Nenek duduk di kursi depan kita.
"Nenek pingin tahu lebih banyak soal cewek itu," katanya.
Nyokap gue ketawa. "Kamu gak ngomong banyak soal Ailsa minggu ini."
"Iya. Nauru lagi kasih jarak dulu."
Dia naikin alisnya. "Dia bikin kamu takut, ya?"
"Nauru gak takut sama dia, Ma."
"Kamu takut sama perasaanmu ke dia. Mama lihat sendiri gimana cara kamu ngelihat dia pas kita mampir ke tokonya minggu lalu, kebetulan kamu juga lagi di sana, kan?"
"Nauru lagi ngambil shake protein. Tempat dia sebelahan sama tempat Gym." Gue benar-benar nggak mau bahas soal itu sama mereka malam ini.
"Mama salah nangkep ini semua." Gue berdiri. "Nauru harus balik, istirahat. Makasih buat makanannya." Gue cium pipi mereka satu-satu terus ambil jaket gue.
"Love you." Mereka ngomong bareng.
Gue balik ke rumah, dan pas lagi mau memasukan kunci ke pintu, gue dengar suara kerikil diinjak. Gue langsung noleh.
Ailsa lagi jalan ke arah gue.
Marah banget mukanya.
Dia langsung dorong dada gue pakai tas belanjaannya. "Nih, Shake lo buat beberapa hari ke depan."
Habis itu dia memutar badan dan jalan pergi lewat gang.
"Eh!" Gue buru-buru menyusul.
Gue pegang pergelangan tangannya, tapi dia menyentak tangan gue. "Udah, Nauru. Lepas!"
"Berhenti."
Dia balik badan, dan air mata sudah mengucur di pipinya. Dada gue sesak banget. Gue coba mengusap air matanya pakai ibu jari, tapi dia tepis tangan gue.
"Gue nggak ngerti ... Lo habisin waktu sama gue, terus lo nyium gue, dan sekarang apa? Lo nggak suka, terus mutusin buat menjauh? Lo ngindarin gue di gym lo, dan bahkan nggak mau lihat gue."
Bibirnya gemetar.
Gue pingin banget meluk dia, tapi gue tahan. Tangan gue malah menyilang di dada.
"Jadi itu yang lo pikir? Ayolah, Ailsa. Lo lebih pintar dari itu."
"Ya udah, jelasin dong. Jelasin kenapa lo benci keluarga gue. Kenapa lo hukum gue atas sesuatu yang bahkan gue nggak tahu? Soalnya yang ada di otak gue cuma lo, tapi sekarang lo ninggalin gue gitu aja!"
"Gue mikirin lo tiap detik, Ailsa. Tiap detik ... Itu yang jadi masalahnya!" Gue sudah teriak sekarang. Gue taruh shake-nya ke tanah.
"Ya udah, lakuin sesuatu dong. Jangan kabur." Dia geleng-geleng kepala. "Gue kira lo bukan pengecut."
"Gue bukan pengecut. Gue bukan lagi ngelindungin diri gue sendiri. Gue lagi ngelindungin lo."
"Ya udah, kasih tahu gue. Kita hadapin bareng-bareng,” kata dia sambil mengusap air mata yang masih saja jatuh.
"Gue nggak tahu, kenapa Lo haru ngerahasiain banyak hal dari gue."
"Oke. Lo benar-benar mau tahu? Bokap gue punya rekan bisnis, dan keluarga kita dekat banget sama mereka. Mereka punya anak, Jully Prasangka. Kita tumbuh bareng. Kuliah bareng juga."
Ailsa tarik napas panjang.
"Kita nggak pernah pacaran. Tapi beberapa bulan sebelum gue lulus, dia datang ke tempat gue di kampus, mabuk berat. Teman-teman sekamar gue lagi nggak ada. Dia bilang dia kebanyakan minum dan butuh tempat buat nginep."
Tangan gue langsung mengepal. Rasanya darah gue mengeluarkan bara. "Anjing, dia ngapain lo?"
"Gue kasih dia bantal sama selimut. Gue suruh dia tidur di sofa. Terus gue masuk kamar dan tidur."
Suaranya bergetar.
"Tapi sejam kemudian, dia masuk ke kamar pas gue lagi tidur dan langsung naik ke badan gue. Dia berat banget dan itu serem. Gue coba teriak, soalnya gue mikir mungkin teman sekamar gue udah pulang, tapi dia nekan lengan bawahnya ke leher gue, jadi gue susah napas. Matanya… kosong. Dia coba maksa gue buat seks dan dia bilang kalau gue nggak ngelakuin itu, dia bakal bunuh gue. Tapi gue nggak tahu gimana caranya, gue bisa gerakin kaki dan tendang dia pakai lutut sampai dia jatuh dari ranjang. Terus gue pukul dia pakai lampu meja sebelum Lizza, teman sekamar gue masuk. Dia bilang semuanya cuma salah paham. Katanya, dia masuk kamar gue karena dikira toilet. Tapi itu bohong."
"Lo telepon polisi?"
Dia geleng-geleng. "Gue telepon bokap gue."
"Terus bokap lo ngapain?"
"Dia marah banget. Tapi dia bilang jangan lapor polisi. Terus Jully kabur sambil minta maaf."
"Dan bokap lo ngelepas dia gitu aja?"
"Nggak. Nggak segitunya juga. Dia benar-benar ngamuk. Tapi dia nggak mau gue lapor polisi, soalnya keluarga Jully itu orang politik. Kalau sampai ketahuan, bakal jadi berita. Dia nggak mau nama gue ikut kotor, jadi dia pikir mending kita simpan saja semua ini."
"Tapi kenapa lo yang malah takut nama lo jelek? Orang yang gila tuh dia!"
"Karena gue ngizinin dia tidur di sofa? Gue juga nggak tahu." Dia makin kencang menangis. "Bokap gue bikin surat larangan buat dia dan minta itu dijaga privat. Terus Papa bilang ke Jully, Papa bakal beberin semuanya ke publik kalau dia dekatin gue lagi. Dia juga maksa Jully buat nyari tempat rehab, dan katanya sekarang dia juga lagi terapi."
Tapi semua itu nggak masuk akal buat gue. Surat larangan tapi Ailsa nggak dilibatkan dalam prosesnya. Memang bisa dipercaya, kalau Bokapnya benar-benar sudah mengurus itu semua?
Gue berani taruhan kalau dia nggak ngelakuin apa-apa. Dia bukan takut nama anaknya dibawa-bawa. Dia cuma takut hubungan bisnisnya hancur.