Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Cahaya matahari pagi menerobos celah tirai, menciptakan bayangan-bayangan samar di dalam kamar hotel. Nara terbangun dengan kepala yang terasa berat dan pandangan yang masih kabur. Ia mencoba menggerakkan tangan, tetapi tubuhnya terasa berat dan lemas.
Perlahan, kesadaran mulai kembali. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Lalu, sebuah firasat buruk tiba-tiba menyergapnya.
“Aku kenapa?” gumamnya pelan.
Dengan susah payah, Nara membuka matanya. Pandangannya masih buram, tetapi rasa dingin dan sesuatu yang aneh membuat ia secara naluriah menarik selimut. Di bawah selimut, ia merasakan tubuh telan-jangnya dibalut hanya dengan sebuah handuk kimono tipis.
Dunia seakan terbalik. Cahaya pagi yang seharusnya membangkitkan rasa tenang, justru terasa seperti kilatan petir yang menyambar-nyambar.
“Ini di mana? Kenapa aku di sini?” Suaranya yang parau terdengar bergetar.
Ingatannya masih kabur, hanya fragmen-fragmen kejadian semalam yang muncul sesekali di pikirannya, membuatnya semakin panik dan bingung. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Ia seperti korban yang terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Kemudian, Nara melihatnya. Bentuk tubuh seorang pria tengah tidur dengan nyenyak tepat di sampingnya.
Pria itu hanya mengenakan handuk kimono yang sama tipisnya, sama persis seperti yang dikenakannya. Tubuhnya yang tegap terlihat jelas di bawah kain tipis tersebut.
“Nggak … nggak mungkin!”
Nara terkesiap, merasakan hawa dingin yang semakin menusuk. Bukan hanya dinginnya AC, tetapi juga dinginnya ketakutan yang mencengkeram jiwanya. Ingatannya tentang semalam benar-benar hampa, kosong, hanya kegelapan yang mencekik.
Keheningan di kamar itu terasa sangat mencekam, hanya diselingi oleh napas teratur pria di samping Nara. Bukan keheningan yang menenangkan, melainkan keheningan yang mematikan.
Wajah Nara pucat pasi. Ia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam. Kejadian itu membuatnya merasa takut sekaligus bingung. Tubuhnya terasa membeku, seakan waktu berhenti saat itu juga.
Setiap detak jantungnya terasa sangat keras, menggelegar di telinga. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam perangkap yang dibuatnya sendiri.
“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan semalam?” gumam Nara, kemudian menggigit bibir dengan mata menyipit.
Pria itu mulai terusik dan perlahan membuka matanya. Wajahnya terlihat tampan, tetapi senyumnya yang ramah tidak bisa menghilangkan rasa takut yang mengguncang jiwa Nara.
“Selamat pagi,” sapa pria itu. Suaranya menenangkan seolah ingin menghilangkan semua ketakutan Nara dengan mudah, tetapi itu hanya semakin membuatnya merasa terancam.
“Si … siapa kamu?” tanya Nara, suaranya hampir tak terdengar, bergetar dengan hebat.
“Devan,” jawab pria itu. “Kita bertemu di Klub Heaven semalam.”
Kata-kata itu menciptakan getaran yang semakin memperkuat rasa takut Nara. Ia mengingatnya, pria yang minumannya ia rampas di klub malam. Pria yang kemudian menjadi begitu dekat dengannya.
Nara terdiam. Ingatannya masih samar-samar. Ia ingat saat mabuk, ia ingat saat melampiaskan amarah, tetapi sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.
Dari semua ingatan samar itu, Nara hanya menyadari satu hal, mereka berdua sekarang berada di bawah selimut yang sama, hanya dengan handuk kimono sebagai penutup tubuh.
Rasa malu, panik, dan kebingungan memenuhi benak Nara. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sangat memalukan.
“Kita … kita nggak melakukan ….” Nara tergagap, kata-kata menumpuk di tenggorokannya, membuatnya semakin sulit bernapas.
Sementara itu, Devan mengangguk dengan senyum tipis. Tampilan ramahnya bertolak belakang dengan perasaan terancam yang menyergap Nara.
“Kita melakukannya,” jawab Devan terdengar begitu ringan.
Jawaban Devan membuat Nara menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan yang sangat besar. Kesalahan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
“Aku akan bertanggung jawab,” ujar Devan, senyum tipis mengembang di bibirnya.
Kata-kata itu terdengar begitu tenang, bahkan hampir acuh, berbeda dengan rasa gelisah yang masih membayangi Nara. Ingatan semalam masih samar, potongan-potongan kejadian yang membingungkan, meninggalkan rasa hampa dan sesal yang mendalam di hati Nara.
Nara memeluk erat selimutnya. Air mata diam-diam menetes. Dia merasakan beban berat di dada, sebuah rasa bersalah yang tak terperi.
Kejadian semalam … sebuah kekacauan yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Itu terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan mengerikan, meninggalkan jejak pertanyaan yang mengganjal.
“Aku akan menikahimu secepatnya,” lanjut Devan, suaranya masih tenang, tanpa sedikit pun raut khawatir. “Aku tidak ingin kamu menanggung beban ini sendirian. Apa lagi … jika nanti … kita harus menghadapi konsekuensi lainnya. Seperti kehamilan.” Ia menatap Nara, tatapannya seakan-akan membaca pikiran Nara.
Nara terisak, kepalanya tertunduk. Kata-kata Devan bagai pukulan telak yang membuatnya semakin terpuruk. Ia menyesali kejadian semalam, menyesali kepercayaan dirinya yang rapuh hingga terjerumus dalam situasi ini.
Nara belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tetapi ia merasakan sebuah kehampaan yang mencekam. Ketakutan akan masa depan yang tak pasti menguasai dirinya.
“Tapi ….” Nara masih terisak, suaranya hampir tak terdengar. “Bagaimana … bagaimana ini bisa terjadi?”
Devan meraih tangan Nara, sentuhannya terasa biasa saja, tidak mengandung emosi meyakinkan. “Semuanya sudah terjadi. Yang penting sekarang, kita akan menyelesaikan semuanya dengan baik. Pernikahan kita akan menutup semua ini,” jawab Devan. Nada suaranya tetap tenang, memberikan kesan bahwa ia sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Nara masih terdiam, sembari mengingat dengan keras apa yang terjadi semalam. Air matanya terus mengalir. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Devan, sesuatu yang membuatnya semakin takut dan bingung.
Lalu, sekelebat bayangan mulai muncul. Sepertinya, semalam memang Nara yang memulai duluan.
‘Kamu … kamu nggak kalah tampan dari Endra. Menurutmu, aku cantik nggak?’
Dalam bayangan itu, Nara yang dikuasai oleh alkohol mulai membelai wajah Devan yang tampan. Dia seperti wanita perayu yang handal, padahal selama ini tidak pernah dia lakukan pada siapa pun.
Ingatan itu hanya muncul dengan samar, lalu kembali menghilang. Sampai akhirnya, suara Devan kembali terdengar.
“Nara, kamu akan mengizinkanku bertanggung jawab dengan cara menikahimu, ‘kan?”
Pernikahan? Apakah itu solusi yang tepat? Atau … apakah ini hanya cara Devan untuk menutupi sesuatu? Keraguan itu semakin menguat dalam hatinya.
***
Kalau kalian jadi Nara, kalian terima apa tolak aja gaess? Komen yak.. Jangan lupa kembang kopinya 💋💋
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar