Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian hangat, Puri berjalan pelang menuju ruang tengah, rambut Puri yang masih masih basa tergerai bebas, sedangkan tangannya menggenggam sebuah amplop berisi uang yang diberikan oleh Pak Sasongko tadi siang.
Di ruang tengah, Mama Wiwik terlihat sibuk melihat baju cucian yang sudah kering, Puri segera duduknya di samping lalu ikut membantu.
Menyadari kehadiran Puri Mama Wiwik pun tersenyum lembut menyembunyikan kelemahan dibalik senyumannya.
"Ma..." panggil Puri lembut.
Mama Wiwik pun menoleh."Iya Nak," sahutnya lembut.
Puri membuka tasnya perlahan, mengeluarkan amplop putih, dan menyodorkannya.
“Ini ada uang sedikit dari Puri… Tadi Puri dapat arisan,"
Ia terpaksa berbohong, meski hatinya berat. Ia tahu, kalau ia bilang uang itu dari Om Sasongko, Mama pasti akan menolak.
Mama Wiwik menatap amplop itu, lalu memandang Puri dengan mata berkaca-kaca.
“Puri… kamu ikut arisan dari mana, Nak? Kan kamu masih kuliah ...”
Puri mengangguk cepat sambil tersenyum, menutupi rasa bersalahnya.
“Iya, Ma. Sama teman-teman kampus. Lumayan, bisa buat bantu-bantu dikit,” ujar Puri.
Mama Wiwik akhirnya menerima amplop itu dengan tangan gemetar.
Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya memeluk Puri erat, membiarkan air matanya jatuh di bahu anaknya.
Puri balas memeluk, dalam hati berdoa agar kelak ia bisa memberi lebih… tanpa harus berbohong.
Setelah pelukan hangat itu, Mama Wiwik mengusap air matanya dan berdiri perlahan.
Ia mencoba menyembunyikan haru di wajahnya dengan senyum kecil.
“Ayo makan dulu, Nak… Mama masak sayur asem, empal daging, sama sambal kesukaanmu,” ucapnya sambil berjalan ke dapur.
Mata Puri langsung berbinar. “Wah, serius, Ma? Udah lama banget Puri nggak makan empal daging buatan Mama!”
Tak lama kemudian, mereka berdua duduk bersila di ruang makan kecil yang sederhana namun penuh kehangatan.
Uap dari sayur asem mengepul lembut, aroma segar daun salam dan asam jawa bercampur dengan gurihnya empal daging yang digoreng kecoklatan. Sambal terasi buatan Mama yang selalu jadi favorit Puri tersaji di cobek batu kecil.
Puri menyuap nasi hangat bersama sambal dan empal, lalu menutup mata sejenak.
“Enak banget, Ma… kayak obat buat hati yang capek.”
Mama Wiwik tertawa pelan, “Ya ampun, lebay kamu. Tapi Mama senang kalau kamu suka.”
Di tengah kesederhanaan itu, tawa kecil dan percakapan hangat mengisi malam mereka.
Untuk sesaat, dunia luar terasa jauh dan yang ada hanya Puri dan Mama, dalam rumah kecil penuh cinta.
Setelah selesai makan malam yang hangat, Puri kembali ke kamarnya dengan perut kenyang dan hati lega.
Ia membuka kembali catatan kuliahnya tentang sistem pengisian listrik mobil yang sempat ia perbaiki siang tadi.
Lampu meja menyala temaram, suara hujan mulai reda di luar.
Puri mulai fokus membaca, menandai bagian penting dengan stabilo warna kuning.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah. Tok tok tok.
Puri sempat terdiam, bingung siapa yang datang malam-malam begini.
Mama Wiwik yang masih merapikan dapur segera berjalan ke pintu dan membukanya.
Di luar berdiri seorang pemuda tinggi dengan jaket jeans, rambut sedikit acak, dan senyum yang khas—Yudha, teman kampus Puri yang diam-diam cukup dekat dengannya.
“Permisi, Tante. Maaf ganggu malam-malam. Saya mau ketemu Puri… ajak nonton film, kalau boleh.”
Mama Wiwik terkejut sebentar, tapi segera tersenyum ramah.
“Oh, Yudha ya? Tunggu sebentar.”
Mama memanggil Puri dari balik pintu kamar. “Nak, itu Yudha datang. Katanya mau ajak kamu nonton.”
Puri buru-buru keluar dari kamar, masih memegang pulpen di tangannya. Matanya membesar saat melihat Yudha.
Yudha melambaikan tiket dari tangannya. “Masih ada tayangan terakhir, mau ikut?”
Puri menatap Mama, seolah minta izin tanpa bicara. Mama Wiwik hanya tersenyum dan mengangguk.
“Pergi aja, tapi jangan pulang larut ya.”
Puri tersenyum lebar. “Iya, Ma. Makasih.”
Dan malam itu, setelah hari yang melelahkan, Puri akhirnya melangkah keluar lagi dan kali ini bukan untuk tugas, bukan karena tanggung jawab, tapi sekadar menikmati waktu muda… dan mungkin, sesuatu yang lebih dari sekadar film.
Suasana bioskop malam itu hangat dan ramai. Lampu-lampu neon memantul di lantai marmer, bau popcorn memenuhi udara.
Puri dan Yudha duduk berdampingan di bangku deretan tengah cukup sepi, memberi ruang bagi obrolan yang tak hanya soal film.
Selama film diputar, Yudha beberapa kali mencuri pandang ke arah Puri.
Senyumnya gugup, tangannya menggenggam secarik kertas kecil draft ucapan cintanya yang sudah ia susun berhari-hari.
Setelah film berakhir dan penonton mulai beranjak, mereka berjalan pelan ke luar.
Hujan sudah reda, malam terasa damai. Yudha memberanikan diri membuka percakapan.
“Puri…” ucapnya pelan, menoleh padanya.
Puri menatap Yudha, sedikit heran dengan raut wajah seriusnya.
“Aku… sebenarnya udah lama mau bilang ini…” Yudha menelan ludah, lalu tersenyum kikuk.
“Aku suka sama kamu, Puri. Bukan cuma karena kita sering bareng, tapi karena kamu…”
Bzzzzt…
Suara ponsel Yudha tiba-tiba berdering keras.
Ia melihat layarnya dan wajahnya langsung berubah panik.
“Astaga… ini dari rumah. Maaf, Puri, aku harus pulang sekarang. Ini darurat…”
Puri mengangguk, kecewa tapi memahami. Yudha buru-buru membuka dompet dan menyerahkan beberapa lembar uang.
“Ini, naik taksi aja, ya. Jangan pulang jalan kaki. Maaf banget…”
Yudha berlari ke arah parkiran, sementara Puri berdiri terpaku.
Ia memutuskan berjalan ke arah luar mal, menunggu taksi di pinggir jalan.
Tapi malam mulai sepi, dan kendaraan makin jarang lewat.
Saat sedang berjalan melewati gang dekat pertokoan yang tutup, tiga pria tak dikenal mulai mengikuti Puri.
Salah satu dari mereka bersiul mengejek, yang lain menyuruh Puri berhenti.
“Hai, cantik… malam-malam begini sendirian aja?”
Puri mulai panik, mempercepat langkah, tapi mereka malah mengejarnya.
Tiba-tiba suara motor terdengar dari kejauhan. Seorang pria berhenti dengan cepat di depan mereka.
Dengan wajah serius, Karan turun dari motor. “Ada masalah di sini?”
Para preman itu terdiam, melihat postur Karan yang tenang tapi tegas.
Salah satunya berbisik, “Udah, cabut aja… ribet urusan beginian.”
Mereka pergi, meninggalkan Puri yang masih gemetar. Karan mendekat, menatapnya penuh kekhawatiran.
“Kamu nggak apa-apa?”
Puri mengangguk pelan, masih terkejut.
“Terima kasih"
"Bukankah kamu Puri yang menolongku tadi?"
Puri mendongakkan kepalanya dan menatap wajah lelaki yang mobilnya mogok.
"M-mas Karan .... "
Karan menganggukkan kepalanya dan ia sangat senang bisa bertemu lagi dengan Puri.
"Kenapa kamu ada disini?" tanya Karan.
"A-aku mau pulang ke rumah tetapi tidak ada taksi yang lewat." jawab Puri.
Karan menawarkan helm cadangan. “Ayo, aku antar pulang. Ini bukan jam yang aman buat jalan sendiri.”
Suara mesin motor kembali menderu pelan saat Karan mengajaknya naik.
Tangannya yang hangat menggenggam tangan Puri sejenak sebelum membantunya naik ke boncengan.
Saat tangan Karan menyentuh pinggangnya untuk memastikan ia duduk dengan aman, jantung Puri berdetak tak karuan.
Ia bahkan bisa merasakan pipinya memanas, meski udara malam terasa dingin menusuk kulit.
“Pegangan yang kuat, ya. Jalannya agak berlubang,” ucap Karan lembut, namun tegas.
Puri mengangguk pelan dan memeluk pinggang Karan dengan ragu.
Detik itu juga, ada sesuatu yang asing tapi nyaman seperti perlindungan yang tak pernah ia sangka datang dari pria yang baru saja dikenalnya.
Motor melaju pelan, menembus dinginnya malam kota.
Lampu-lampu jalan menciptakan bayangan yang terus berganti di wajah mereka.
Setelah beberapa menit, Karan memperlambat laju motor dan berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan yang masih buka.
“Aku belum makan malam. Temani aku sebentar, ya?” katanya sambil menoleh ke belakang.
Puri yang masih sedikit canggung hanya menjawab singkat,
“I-iya, Mas,”
Karan lekas memesan nasi goreng, mie goreng dan dua gelas teh panas.