simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia. "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!" "Mama!" "Aku bilang diam!" Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya. Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—" "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny. Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti akan potensi Julia. Apa pun yang dia katakan, sepertinya akan selalu dimentalkan olehnya. "Apalagi yang kau tunggu? Cepat pergi sana!" bentak Fanny lagi. Ujung-ujung bibir Martin melengkung ke bawah. Dia tatap sebentar Julia, memberi isyarat dengan gerakan kepala kalau dia akan masuk ke kamar duluan. Julia menatapnya sedih, tapi kemudian mengangguk juga. Lagi-lagi, keluarganya memperlakukan Martin dengan buruk. Setelah Martin masuk, Julia kembali menatap Fanny; sorot matanya berubah tajam. "Mama ini kenapa sih? Selalu saja menyalahkan Martin!" kata Julia. "Tadi aku menerima tugas khusus dari Kakek karena aku ingin mencobanya, karena aku percaya aku bisa. Ini tak ada hubungannya dengan Martin!" sambungnya. Fanny menatap Julia dengan mata membuat. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi Julia cepat-cepat melengos dan masuk ke rumah. Fanny pun menggeram, mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menghentakkan kaki. Dia kesal karena putrinya itu mulai terkena pengaruh buruk dari Martin. Sementara itu di kamar, Martin duduk di tepian kasur. Baru saja dia melepas kausnya dan melemparnya ke keranjang cucian. Kini dia bertelanjang dada. Badannya berkeringat. Dari saku celananya, Martin mengeluarkan ponselnya. Dia hendak menelepon Ben untuk memintanya melakukan sesuatu. Di titik ini, pintu kamar dibuka dan masuklah Julia. Julia terbelalak, tak menduga Martin akan melihat suaminya bertelanjang dada. Meski mereka sudah menikah bertahun-tahun, mereka terbilang jarang berhubungan badan. Seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Dinding ini ada karena keluarganya Julia tak menerima kehadiran Martin di rumah itu. "Ada apa? Kau baik-baik saja?" tanya Martin, heran mendapati Julia menatapnya seperti itu. "Ah, tidak. Bukan apa-apa," jawab Julia sambil memalingkan muka dan menutup pintu. Dia tak terbiasa melihat suaminya bertelanjang dada seperti ini. Dia seperti kembali diingatkan kalau Martin memiliki tubuh yang atletis. Otot-otot dadanya terbentuk sempurna, begitu juga otot-otot perut dan lengannya. "Martin, aku minta maaf atas apa yang dikatakan Mama di luar tadi. Dia tak semestinya membentak-bentakmu begitu," kata Julia, duduk di tepian kasur di samping Martin, matanya sedikit berair. "Jangan minta maaf begitu. Kau kan tidak salah apa-apa. Kau fokus saja ke tugas khususmu itu, ya. Jangan dulu pikirkan yang lain," balas Martin. Tiba-tiba saja, air mata mengalir di pipi Julia. Martin mengernyitkan kening, bertanya, "Kenapa kau menangis, Julia? Apakah kata-kataku ada yang menyakitimu?" Julia mengusap air mata di pipinya itu dengan punggung tangan, menggelengkan kepala. "Aku hanya sedang bingung saja, Martin. Bingung dan cemas. Misalkan aku gagal mendapatkan proyek itu, dan Kakek jadi memecatku, aku tak akan punya penghasilan bulanan lagi. Lalu bagaimana aku akan membiayai Jesina dan ibumu yang masih koma itu?" Kini giliran Martin yang matanya berkaca-kaca. Tak disangka, dalam situasi sedang tertekan pun, dia masih memikirkan ibunya. Ibunya itu memang masih sakit-sakitan dan harus sesekali cuci darah. Tentu saja, biaya rumah sakit tidak murah. "Sudah, sudah. Tak usah kau pikirkan itu. Aku akan bekerja lebih giat dan mencari sampingan. Nanti ke depannya mereka berdua biar aku saja yang tanggung. Oke?" ucap Martin sambil mengusap-usap punggung Julia. Julia menatapnya dengan sendu. Martin benar-benar baik padanya. Bahkan kalaupun yang dikatakannya barusan sekadar penghiburan belaka, dia menghargai upaya Martin untuk menenangkannya. "Oh, ya. Aku harus pergi ke rumah sakit. Jesina pasti sudah menungguku dari tadi," kata Julia, berdiri dan mengambil tas jinjing yang ada di samping lemari, mengecek ulang isinya. "Kau mau pergi sekarang juga? Tak mau menunggu aku selesai mandi?" tanya Martin. Julia menggeleng. "Aku bisa sendiri kok. Kau mandi saja. Nanti kau bisa menyusul setelah kau makan malam. Kita ketemu di rumah sakit." "Ya sudah." Martin mengamati Julia yang kini membuka lemari dan mengambil beberapa potong baju dan memasukkannya ke tas jinjing itu. Julia seorang ibu yang sigap dan bertanggung jawab. Martin bukan hanya menyayanginya, tapi juga mengaguminya. "Oke. Aku pergi dulu, ya," kata Julia sambil membawa tas jinjingnya itu, berjalan ke pintu. "Hati-hati," kata Martin. Julia keluar dari kamar, meninggalkan Martin sendirian di tepi kasur, masih dalam keadaan bertelanjang dada dan ponsel di tangan kanan. Martin akhirnya menelepon Ben, dan ketika Ben mengangkatnya di dering kedua, dia berkata: "Paman Ben, aku ingin kau mengatur pertemuan darurat antara aku dan CEO PT Alat Kesehatan Makmur malam ini. Terserah mau pakai cara apa. Kuserahkan padamu." ... Satu jam kemudian, di kantor PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Kebanyakan lampu ruangan di gedung kantor itu sudah dimatikan. Hanya beberapa saja yang masih menyala. Salah satunya adalah ruangan CEO. Di situ Billy Rooney, sang CEO, berdiri di dekat jendela dengan mata terarah ke jalanan yang penuh dengan kendaraan berlalu-lalang. Sebenarnya dari tadi sore dia sudah berada di apartemennya. Tiba-tiba, dia dikabari oleh pamannya yang merupakan CEO kantor pusat bahwa seseorang yang sangat penting akan datang ke situ untuk bicara dengannya. Billy tak diberitahu si orang penting ini siapa, tapi jika pamannya sudah memintanya melakukan sesuatu secara mendadak, itu artinya ini sesuatu yang sangat krusial bagi keberlangsungan perusahaan. Billy mengecek jam tangannya, mendapati jarum pendeknya sudah melewati angka tujuh. Dia harap si orang penting ini cepat-cepat muncul dan menyelesaikan urusannya sehingga dia bisa lekas pulang. Kring! Kring! Telepon di meja kerjanya berdering. Billy cepat-cepat menghampiri meja dan mengangkatnya. "Hallo?" [Pak Billy, tamu yang Anda tunggu-tunggu sudah tiba. Dia bersikeras meminta bertemu dengan Anda di lobi.] Billy mengernyitkan kening. Yang barusan bicara padanya adalah satpam yang bertugas di gerbang depan. "Oke. Aku turun sekarang. Antar beliau ke ruang tunggu." [Baik, Pak.] Billy menaruh kembali gagang telepon ke tempatnya, menyambar jasnya yang dia taruh di sandaran kursi, lalu keluar dari ruangan kerjanya itu. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di benaknya saat dia berjalan menuju lift. Salah satunya pertanyaan soal seperti apa penampakan si orang penting yang sangat disegani oleh kantor pusat ini. Beberapa menit kemudian, Billy sudah tiba di lantai dasar dan memasuki ruang tunggu. Di sana ada seseorang yang sedang duduk; kakinya tersilang dan matanya terfokus pada layar ponsel yang dipegangnya. Billy mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan dan mengernyitkan kening. Tak ada lagi orang lain selain pria itu. Dan, dari penampilannya yang sangat biasa, Billy ragu kalau orang inilah yang dimaksud kantor pusat. "Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Billy, berusaha sopan dan profesional. "Kau Billy Rooney?" tanya pria itu, menatapnya dingin. Billy tak suka dengan cara orang ini bicara. Dia juga tak suka gestur yang dia tunjukkan. Terasa sekali arogansinya. "Benar, saya Billy Rooney, CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Ada yang bisa saya bantu, Pak..." "Martin. Panggil saja saya Martin." Nama ini terasa familier, tapi Billy tak tahu dia mendengarnya di mana. "Apa yang bisa saya bantu, Pak Martin? Anda sengaja datang ke kantor kami malam-malam begini untuk membicarakan sesuatu dengan saya?" tanya Billy lagi. "Ya. Aku ingin meminta kau untuk menerima tawaran kerjasama dari PT Mega Farma terkait proyek kalian yang bernilai 10 miliar itu. Besok mereka akan mengirimkan perwakilan untuk mengajukan tawaran resminya," jawab Martin. Billy kembali mengernyitkan kening. Apa maksudnya ini? Orang ini tak memperkenalkan dirinya siapa; tahu-tahu dia memintanya melakukan sesuatu untuknya. Kenapa orang berpenampilan teramat biasa ini bertingkah sok bossy di hadapannnya? "Mohon maaf, Pak Martin, tapi saya belum memahami apa yang Anda maksudkan. Besok akan ada orang dari PT Mega Farma yang datang kemari untuk mengajukan tawaran kerjasama mengenai proyek kami saat ini?" tanya Billy. "Betul. Yang akan datang itu perempuan. Namanya Julia. Julia Wiguna," jawab Martin. Kali ini Billy memicingkan mata. Dia tahu siapa Julia Wiguna. Wanita itu cukup terkenal karena kecantikannya. Dia disebut-sebut sebagai yang tercantik di Keluarga Wiguna. Tapi itu adalah satu hal, sedangkan yang sedang dibicarakan tamunya ini adalah hal lain. Julia Wiguna memang sangat cantik dan memesona, tapi apakah itu ada kaitannya dengan kemampuannya mengelola proyek bernilai miliaran rupiah? "Kalau boleh tahu, Pak Martin, apa hubungan Anda dengan Nona Julia? Kenapa Anda sampai jauh-jauh datang ke sini dan meminta saya menerima tawaran kerjasama yang akan disodorkannya besok?" tanya Billy. Martin menatap Billy dengan kening mengernyit, tampak memikirkan sesuatu, lalu berkata, "Dia istri saya." Seketika itu juga, pupil Billy melebar. Jika benar tamunya ini adalah suaminya Julia Wiguna, bukankah dia adalah pria menyedihkan yang disebut-sebut sebagai menantu tak berguna di Keluarga Wiguna, benalu yang menggantungkan hidupnya ke keluarga istrinya? Raut muka Billy langsung berubah. Dia tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Pria-pria seperti itu, di matanya, tak layak hidup di dunia ini. "Jadi, Anda datang ke sini, meminta bertemu dengan saya di malam-malam begini, untuk meminta kami menerima tawaran kerjasama dari PT Mega Farma? Begitu?" tanya Billy ketus. Martin menyadari perubahan yang kentara dalam cara bicara Billy. Dia pun memasang muka kesal, berkata, "Ya, itu yang kuminta. Pastikan besok dia meninggalkan kantor kalian ini dengan senyum cerah di wajahnya." Billy mendengus. Dia sudah tak bisa menahan diri lagi. Tingkah bossy tamunya ini membuatnya muak. "Mohon maaf, Pak Martin, tapi kami tak akan menerima tawaran kerjasama dari perusahaan kecil seperti itu. Sekarang silakan Anda pergi. Pembicaraan kita sudah selesai," katanya, menunjuk ke pintu ruang tunggu yang terbuat dari kaca. ...