Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Bab 26. Sebuah Keputusan
RUMAH ERIC – PAGI HARI
Langit Jakarta masih sedikit mendung ketika Eric berdiri di balkon apartemennya, menatap kosong ke arah lalu lintas yang mulai padat. Matanya merah, bukan karena kantuk, tapi karena semalam ia nyaris tidak tidur. Pikirannya penuh oleh satu hal—bagaimana cara menggagalkan pernikahan sahabatnya, Leon, yang ia yakini adalah kesalahan besar.
Ia menghembuskan napas berat, kemudian mengambil ponsel dan menelpon seseorang.
“Mischa, aku butuh pendapatmu,” ucap Eric cepat, bahkan sebelum sapaan dari ujung sana terdengar.
Mischa, yang masih setengah mengantuk di balik selimutnya, bergumam, “Tentang pernikahan Leon, ya?” terka Mischa yang tahu pasti arah pembicaraan Eric.
“Ya! Aku nggak bisa diam, Mischa. Aku tahu dia masih belum ingat semuanya, tapi hatinya jelas menolak pernikahan ini. Aku takut nanti dia sadar dan segalanya sudah terlambat.”
Mischa menarik napas panjang. “Aku juga bingung, Ric. Kamu tahu kan aku sempat ngobrol sama Sharon soal ini? Aku cerita bahwa bosku mau menikah, l api reaksinya. .. datar. Bahkan nggak tertarik tanya lebih jauh.”
Eric mengernyit. “Dia beneran nggak tahu siapa Leon?”
“Entahlah. Atau mungkin dia pura-pura nggak tahu.”
Diam sesaat menyelimuti percakapan mereka.
“Dia harus ke Yogyakarta, Mischa,” kata Eric akhirnya. “Dia harus ketemu anak-anak itu. Aku yakin ... itu akan membangkitkan ingatannya.”
“Tapi, hari ini pernikahannya, Ric. Semua media nasional akan meliput. Mana mungkin dia tiba-tiba menghilang?”
Eric tak menjawab. Dalam hati, ia pun membenarkan kata-kata Mischa.
"Apa kita beritahu saja kalau Xaviera dan Xaviero itu anak-anaknya?" tanya Eric yang langsung ditolak Mischa.
"Jangan! Itu hanya akan membuat segalanya kacau. Bagaimana kalau ia tidak percaya? Atau yang paling parah, bagaimana kalau Tuan Leon justru ingin mengambil si kembar? Nggak. Kamu nggak boleh melakukan itu."
Eric menghembuskan nafas kasar. Ia hanya berharap, pernikahan ini segera batal. Titik.
...***...
BALLROOM HOTEL ANGKASA
Ballroom megah itu dipenuhi kemewahan, kristal mewah menggantung di langit-langit, karpet merah membentang panjang menuju altar yang dipenuhi bunga putih dan mawar merah. Kamera-kamera televisi menyorot setiap sudut, menyampaikan momen glamor ini ke seluruh penjuru negeri.
Para tamu berpakaian elegan memenuhi ruangan. Musisi orkestra memainkan lagu romantis lembut. Semua tampak sempurna.
Di balik panggung rias, Metha duduk dalam gaun pengantin rancangan desainer ternama. Wajahnya terlihat cantik dan anggun.
Ibu Metha–Lara berdiri di sampingnya, mengamati segalanya dengan penuh kepuasan.
“Kau akan menjadi istri dari pewaris keluarga Reynaldi, Sayang. Ini hari terpenting dalam hidupmu,” ucapnya lembut dengan binar kebanggaan.
Metha tersenyum tipis. Ia pun merasa bangga dan bahagia. Sebentar lagi ia akan menjadi Nyonya Reynaldi. Banyak wanita yang memimpikan posisi ini tapi tidak ada yang sanggup melakukannya. Karena hanya dia yang pantas menjadi pendamping seorang Leon Xavier Reynaldi.
"Mama benar. Akhirnya, hari yang aku tunggu-tunggu sudah tiba."
Sementara itu, di ruang lain, Leon berdiri di depan cermin. Mengenakan jas putih gading, dasi kupu-kupu rapi, ia terlihat sempurna. Namun di balik ketampanan itu, wajahnya tegang. Matanya kosong. Hatinya tak tenang.
Eric masuk, mengenakan tuxedo. “Bro, Apa ada yang kau butuhkan?" tanya Eric masuk ke ruangan Leon. Wajahnya tampak tidak bersemangat, namun berbeda dengan Leon yang tersenyum sumringah. Eric menghela nafas pelan. Ia pikir Leon sedang berbahagia karena akan segera menikah.
"Hubungi operator pesawat pribadi kita. Suruh semua tim segera bersiap."
"Apa? Memangnya kau mau ke mana? Ah, kau pasti ingin pergi berbulan madu setelah ini."
"Berbulan madu?" Leon terkekeh. Namun, kekehannya terdengar aneh. Seperti ada sesuatu yang sedang Leon rencanakan.
"Suruh mereka semua bersiap dalam 1 jam. Kita akan terbang ke Yogyakarta pagi ini juga," putus Leon membuat Eric terkejut setengah mati. Mulutnya sampai menganga dengan mata melotot.
"Yogyakarta?"
"Ya. Kau tahu, hari ini si kembar akan ikut festival cosplay. Aku akan datang ke sana untuk bertemu dengan mereka."
Mendengar hal itu, senyum Eric seketika melebar. Matanya berbinar-binar. "Tau begitu, aku nggak perlu pusing-pusing sampai begadang mikirinnya," dumel Eric dalam hati.
...***...
BANDARA SOEKARNO-HATTA
Eric tersenyum lega saat melihat Leon turun dari dalam mobil hitam yang mengantarnya. Pria itu kini mengenakan pakaian kasual—kaus putih bersih, jaket denim, dan celana jeans. Tak ada sisa formalitas pengantin dalam penampilannya. Jas pengantin putihnya kini hanya menjadi peninggalan dari keputusan yang baru saja ia ambil.
“Gila, Bro,” ucap Eric seraya mendekat. “Kau yakin mau pergi sekarang? Mereka pasti sudah mulai mencari-cari.”
Leon menatap Eric sejenak, lalu menepuk bahunya. “Biarkan mereka mencari. Aku harus melakukan ini.”
Pesawat pribadi keluarga Reynaldi sudah menunggu di landasan. Awak kabin bersiap, semua berjalan sesuai perintah yang Leon berikan kurang dari satu jam lalu. Secepat kilat, keputusan besar dibuat dan dieksekusi.
Eric masuk lebih dulu ke dalam pesawat, memastikan segalanya siap. Sementara itu, Leon sempat menoleh ke belakang, memandangi langit Jakarta yang mulai cerah. Ada semacam beban yang lepas dari pundaknya. Entah keberanian dari mana yang muncul, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ... benar.
Pesawat pun tinggal landas, membelah langit menuju Yogyakarta.
...***...
HOTEL ANGKASA – BALLROOM
Waktu berlalu. Musik pengiring berubah lebih syahdu. Tamu undangan mulai memperhatikan altar. Di ujung ruangan, Metha sudah bersiap. Gaun pengantinnya menjuntai anggun saat ia berjalan perlahan, menggandeng ayahnya.
Semua mata tertuju padanya. Kilatan kamera tak henti memotret. Presenter dari stasiun televisi nasional mengabarkan secara langsung: “Pernikahan megah pewaris LXR HOLDINGS akhirnya digelar hari ini. Leon Xavier Reynaldi dan Metha Adi Prawira akan segera bersatu dalam janji suci ....”
Namun, keganjilan muncul saat seseorang mendekati Lara dengan wajah panik. Ia membisikkan sesuatu.
“Apa?” desis Lara. “Leon tidak ada? Maksudmu dia belum datang atau bagaimana?”
Asisten itu mengangguk gemetar. "Tuan Leon awalnya menginap di salah satu kamar, tapi ... saat Nyonya Meylania menjemputnya, kamar itu kosong. Tuan Leon sudah tidak ada di kamarnya."
Panik langsung menyelimuti pihak keluarga pengantin. Metha, yang kini tinggal beberapa langkah dari altar, menyadari suasana yang mulai tak beres. Ia menoleh ke sekeliling, lalu berhenti di depan altar yang ... kosong.
Tak ada Leon. Dia belum datang.
Ke mana Leon? Kenapa dia belum datang?
Suara gaduh mulai terdengar dari para tamu. Kameramen bingung harus mengambil gambar ke mana. Presenter televisi gelagapan.
Dan pada saat itulah, Lara memegang tangan Metha kuat-kuat. “Tetap tersenyum. Jangan tunjukkan panikmu. Mungkin dia hanya terlambat atau ada hal penting yang harus segera diselesaikan,” bisiknya meski matanya menunjukkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan.
Metha berdiri kaku. Dadanya berdegup keras. Tapi dalam hati ... ada ketakutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
...***...
Sementara itu, Leon sudah duduk dengan tenang di dalam kabin pesawat, memandang awan-awan putih di luar jendela. Ia memegang ponselnya, membuka kembali pesan dari Xaviera.
“Uncle LXR! Kamu harus datang yaa! Nanti kita bisa foto bareng!”
Senyum tipis menghiasi wajahnya. Bukan senyum seorang pengantin. Tapi senyum seseorang yang akhirnya memilih ... hidup.
“Uncle akan datang, Nak,” bisiknya pelan.
Eric menoleh padanya. “Jadi ... kau yakin? Bahkan setelah semua yang sudah disiapkan?” tanya Eric ingin lebih memastikan.
Leon menatap sahabatnya. “Pernikahan tanpa cinta, Ric ... hanya akan jadi panggung sandiwara. Dan aku bukanlah seorang aktor.”
Eric tersenyum puas. “Selamat datang kembali, Bro.”
Setidaknya mendengar jawaban dari Leon, Eric bisa memastikan bahwa keputusannya sudah benar-benar bulat dan tak bisa diganggu gugat.
Dan pesawat itu terus melaju. Menuju Yogyakarta. Menuju dua bocah yang tanpa sadar telah mengisi kekosongan di hati Leon.
Menuju awal dari segalanya.
Bersambung...