Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Ruang yang Tidak Diminta
Sunandar duduk di sebuah ruangan bersama Jenderal Bianto, yang baru kembali dari penugasan di provinsi lain. Mereka belum sempat berbincang panjang ketika seorang perwira melintas di koridor kaca luar.
Bianto sedikit mengangkat alis.
Pandangannya tertahan pada tanda pangkat di bahu seragam itu sebelum sosoknya menghilang di tikungan lorong.
“Anak itu… sudah Kapten?” tanyanya akhirnya.
“Benar,” jawab Sunandar datar. “Dua puluh dua.”
Bianto terdiam sepersekian detik. “Usianya terlalu muda untuk pangkat itu,” ujarnya pelan.
Sunandar tidak tersenyum.
“Tapi Anda tahu,” katanya tenang, “aturan itu tidak berlaku untuk orang yang sudah melewati tingkat risiko yang tidak pernah masuk kurikulum.”
Bianto mengangguk pelan. “Penyesuaian struktural,” gumamnya. “Di luar sistem terbuka.”
Hening menyela.
“Dalam sistem tertentu,” lanjut Sunandar, suaranya rendah, “pangkat tidak mengikuti usia.”
Ia berhenti sejenak.
“Ia mengikuti seberapa banyak kebenaran yang harus kau kubur.”
Bianto menoleh. “Jadi benar,” katanya pelan, “dia Kapten yang sudah dua kali menolak map hitam.”
Sunandar mengangguk singkat. “Benar.”
Bianto menghembuskan napas pendek. Bukan heran, lebih seperti mengukur ulang. “Aku tak menyangka,” ujarnya lirih, “ada yang bisa menolaknya semudah itu.”
Sunandar menatap lurus ke depan. “Karena baginya,” katanya pelan, “ada hal yang lebih mahal daripada pangkat.”
Bianto terdiam sejenak. “Manusia,” gumamnya.
Sunandar tidak menoleh. “Atau seseorang,” jawabnya.
Hening jatuh di antara mereka. Hening yang hanya dipahami oleh orang-orang yang tahu, berapa harga yang harus dibayar untuk menjadi senjata, dan betapa mahalnya memilih tetap manusia.
Dalam sistem operasi tertutup, ancaman terbesar bukan musuh, melainkan ikatan personal yang tidak bisa dikendalikan.
Dan karena itu, Raska menolak map hitam bukan karena takut bertarung, melainkan karena ia menolak hidup di sistem, yang menganggap orang yang ia cintai, sebagai kerugian operasional yang dapat diterima.
Bukan karena Elvara salah, melainkan karena ia terlalu berarti untuk diperlakukan sebagai variabel.
***
Tak terasa, enam tahun berlalu di bawah langit asing.
Dalam satu tahun terakhir, Adrian semakin sering berada di sekitar Elvara.
Sebagai supervisor koas, ia hadir dengan cara yang nyaris tak terasa. Tidak pernah masuk ke ruang hati Elvara, namun selalu ada di batasnya.
Dewasa. Tenang. Tidak menuntut.
Rava pun tumbuh nyaman di dekatnya. Bukan karena Adrian menggantikan siapa pun, melainkan karena anak itu menemukan sosok pria yang sabar mendengarkan, yang menunggu tanpa janji.
Elda menyaksikan semua itu tanpa komentar. Namun setiap kali Elvara lengah, ia selalu mengingatkan dengan nada yang sama:
“Kau masih terikat janji, Ra.”
Elvara tahu. Ia menjaga jarak. Menjaga diri.
Sementara itu, di tanah air, nama Raska semakin dikenal.
Kapten termuda yang dihormati bawahan dan dihargai atasan. Misi-misinya bersih. Anak buahnya pulang hidup.
Beberapa petinggi bahkan mulai menyebut namanya, bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai calon menantu.
Namun tak satu pun dari mereka tahu:
bahwa yang paling sulit bagi Raska bukan medan tempur, melainkan waktu yang terus berjalan tanpa menunggunya.
Di rumah sakit tempat Elvara koas, acara sederhana diadakan.
Bukan pesta besar, bukan pula seremoni penuh pidato. Hanya ruangan kecil di rumah sakit, beberapa rekan koas, supervisor, dan satu spanduk putih bertuliskan selamat.
Doctor Elvara Anindya.
Namanya tercetak rapi. Tanpa embel-embel. Tanpa sorotan berlebihan.
Adrian berdiri sedikit ke samping saat Elvara menerima ucapan selamat. Ia tidak bertepuk paling keras. Tidak pula mendekat pertama kali. Ia menunggu, seperti biasa.
Ketika ruangan mulai lengang, ia mendekat.
“Congratulations,” katanya pelan. Suaranya rendah, stabil. “You earned it.”
Elvara menoleh. Tersenyum tipis. Bukan senyum euforia, melainkan lega yang dalam.
“Terima kasih,” jawabnya. “Untuk semuanya.”
Adrian mengangguk. “Dinner?” tanyanya ringan. “No celebration crowd. Just food.”
Elvara ragu sepersekian detik. Lalu mengangguk. "Oke. Makan saja.”
Restoran kecil itu tenang. Lampu kuning, musik nyaris tak terdengar. Adrian memilih tempat duduk yang tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.
“Next step?” tanyanya setelah pesanan datang. “Spesialis?”
Elvara mengaduk minumnya pelan. “Aku pulang.”
Adrian berhenti sejenak. Bukan kaget yang berisik. Hanya jeda kecil. “Pulang… ke Indonesia?” tanyanya memastikan. "Untuk sementara?”
Elvara menggeleng pelan. “Pulang. Untuk waktu yang lama.”
Ia menatap meja. “Ibuku tidak pernah benar-benar betah di sini. Dia istri prajurit. Baginya… tanah air bukan sekadar tempat tinggal. Itu jiwa.”
Adrian mendengarkan tanpa memotong. Lalu ia tersenyum kecil. Bukan kecewa. Bukan pula menahan. “Aku sudah menduganya,” katanya jujur.
Elvara menatapnya. “Benarkah?”
“Iya.” Adrian mengangguk. “Kau tidak pernah membangun hidupmu di sini. Kau hanya… menyelesaikan sesuatu.”
Ia terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada yang tetap tenang: “Aku tertarik padamu sejak lama, Elvara. Tapi aku tahu, itu bukan waktuku.”
Elvara menatapnya. Tidak terkejut. Tidak menunduk. Tidak menghindar.
“Bahasa Indonesiaku juga lumayan sekarang,” lanjut Adrian ringan. “Sejak kenal kamu.”
Elvara tersenyum tipis. “Kau sedang menyatakan perasaan?”
Adrian menatapnya lama, kemudian tersenyum samar. “Kalau iya, apa sudah terlambat?”
Elvara tersenyum. Senyum yang tidak sepenuhnya sampai ke matanya. “Aku masih terikat dengan seseorang.”
Adrian tidak langsung menjawab. “Ayah Rava?” tanyanya pelan.
Elvara mengangguk.
Adrian tersenyum tipis. Tidak terluka. Tidak mundur. “Kalau begitu, aku bisa sabar,” katanya tenang.
Elvara menghela napas pelan. "Aku...tak bisa menjanjikan apapun padamu."
“Tak masalah,” jawab Adrian tenang. “Aku tidak butuh janji. Aku hanya ingin jujur, dan tetap ada… tanpa memaksa.”
Elvara terdiam sejenak. “Kau ingin tinggal di sana?” tanyanya akhirnya.
Adrian tersenyum, kali ini sedikit lebih dalam, lebih jujur.
“Aku ingin melihat,” ujarnya pelan, “apakah suatu hari ada ruang di hidupmu… setelah yang lama benar-benar kau tutup, bukan sekadar kau tinggalkan.”
Tidak ada janji. Tidak ada paksaan. Hanya kejujuran.
Elvara menghela napas pelan. “Aku tidak bisa memberi apa-apa sekarang.”
“Aku tahu.” Adrian mengangguk. “Dan aku tidak memintanya.”
Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang tetap tenang, tanpa nada memelas, tanpa tuntutan:
“Dan jika suatu hari kau tahu… aku tidak akan pernah bisa menjadi pria yang kau pilih, kita tetap bisa berdiri di tempat yang sama. Sebagai dua orang dewasa yang saling menghormati.”
Ia mengangkat gelasnya sedikit. “Untuk dokter Elvara. Yang akhirnya selesai… dan berani pulang.”
Elvara tersenyum.
Kata-kata Adrian tidak menabraknya. Tidak juga mengetuk keras pintu hatinya.
Ia masuk pelan, seperti udara dingin yang menyusup lewat celah jendela yang tak ia sadari terbuka.
Elvara tetap tersenyum, sopan, terkendali. Namun di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergeser satu langkah.
Bukan karena janji. Bukan karena harapan. Melainkan karena ketiadaannya.
Ia terbiasa dengan lelaki yang datang membawa kepastian, tuntutan, atau rasa memiliki.
Adrian datang membawa ruang. Dan kesediaan untuk membiarkan ruang itu tetap kosong.
Itu yang mengguncangnya.
Bukan perasaan yang tumbuh, melainkan kesadaran bahwa ada seseorang yang mampu berdiri di dekatnya, tanpa berusaha menggantikan siapa pun.
Dan itu… tidak pernah ia latih untuk dihadapi.
Elvara menurunkan pandangan sejenak. Bukan untuk menghindar, melainkan untuk menata napasnya sendiri.
"Ini tidak aman," batinnya pelan.
Bukan karena dia memaksa, melainkan karena dia tidak.
Ia tahu satu hal dengan jelas: Adrian bukan ancaman bagi masa lalunya. Namun justru karena itu, ia berpotensi menjadi ujian bagi keteguhan yang sedang ia bangun.
Dan Elvara, perempuan yang sedang belajar pulang, belum tahu apakah ia siap, diguncang, tanpa luka.
Di luar restoran, malam terasa dingin.
Dan di antara mereka, ada jarak yang tidak diisi harapan kosong, melainkan pengertian.
Tidak semua ketertarikan harus dimenangkan. Sebagian hanya perlu dihormati, sambil menunggu kebenaran, menyelesaikan dirinya sendiri.
...🔸🔸🔸...
...“Dalam sistem tertentu, pangkat tidak mengikuti usia....
...Ia mengikuti seberapa banyak kebenaran yang harus kau kubur.”...
...“Tidak semua ketertarikan harus dimenangkan....
...Sebagian hanya perlu dihormati.”...
...“Ia bukan ancaman bagi masa laluku....
...Justru karena itu, ia menjadi ujian.”...
...“Yang paling sulit bagi seorang prajurit bukan medan tempur,...
...melainkan waktu yang terus berjalan tanpa menunggunya.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??