Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 10
Wanita itu masih diam, matanya menatap Sartika dengan nanar. Namun, meski samar, Sartika bisa melihat perubahan kecil di wajahnya, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang sedang berjuang antara menyerah dan bertahan.
"Aku tahu kau takut," lanjut Sartika, suaranya lebih lembut sekarang.
"Aku juga takut. Tapi kalau kita menyerah begitu saja, mereka akan menang. Aku tidak mau itu terjadi, dan aku yakin kau juga tidak mau."
Wanita itu menggigit bibirnya, wajahnya masih dipenuhi kebimbangan. Namun, tangan Sartika yang masih menggenggamnya seakan memberi kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Perlahan, Sartika mengambil kembali makanan yang jatuh ke lantai, kemudian menyodorkannya sekali lagi.
"Kumohon," ucapnya lirih.
Wanita itu menatap Sartika, lalu ke arah makanan di tangannya. Jari-jarinya yang gemetar akhirnya terangkat, mengambil sesuap nasi dari tangan Sartika dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Air mata menggenang di matanya saat ia mengunyah, seolah tubuhnya sendiri hampir tidak percaya bahwa ia akhirnya memutuskan untuk makan.
Sartika tersenyum tipis, merasa sedikit lega.
"Kita akan keluar dari sini," gumamnya sekali lagi, lebih kepada dirinya sendiri.
Wanita itu tidak menjawab, Sartika menatap wanita di hadapannya dengan penuh tekad. Ia tahu betapa hancurnya wanita itu, betapa ketakutan dan putus asanya. Tapi jika ia bisa menyalakan sedikit harapan, itu sudah cukup sebagai permulaan.
"Kau bisa panggil aku Sartika," katanya pelan, mencoba membangun kepercayaan. "Siapa namamu?"
Wanita itu tidak langsung menjawab. Matanya berkaca-kaca, seakan sedang berjuang dengan sesuatu dalam dirinya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya bibirnya bergetar, suaranya lirih nyaris tak terdengar.
"Laras…"
Sartika mengangguk, tersenyum kecil. "Baik, Laras. Kita akan keluar dari sini bersama. Aku janji."
Laras menatap Sartika, kali ini sedikit lebih lama, tetapi masih ada keraguan di sana. Mungkin ia ingin percaya, tapi pengalaman buruknya telah membuatnya sulit mempercayai siapa pun lagi.
Sartika menoleh ke arah pintu gudang yang tertutup rapat. Ia harus mencari cara keluar dari sini. Jika mereka tetap diam, mereka hanya akan semakin terjebak dalam mimpi buruk ini.
"Laras, apa kau tahu ada jalan keluar dari sini?" tanyanya, mencoba mencari petunjuk.
Laras menggeleng pelan. "Mereka selalu mengawasi. Setiap kali ada yang mencoba kabur, mereka akan dihukum…" Suaranya melemah di akhir kalimat, dan Sartika bisa melihat bagaimana ketakutan kembali menguasainya.
Sartika mengepalkan tangannya. Ia tidak mau berakhir seperti ini. Tidak.
Ia mulai mengamati sekitar, mencoba mencari kelemahan pada gudang ini. Dindingnya terbuat dari kayu tua yang sudah lapuk di beberapa bagian. Ada celah kecil di sudut ruangan yang memungkinkan sedikit cahaya masuk dari luar.
"Laras, kalau kita punya kesempatan, kau mau ikut aku?" tanya Sartika, menatapnya dengan serius.
Laras terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk ragu. "Aku… aku takut…"
Sartika meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Aku juga takut. Tapi kalau kita tetap di sini, kita tidak akan pernah bebas."
Mata Laras berkaca-kaca. Ia tidak menjawab, tapi genggamannya sedikit mengerat. Itu sudah cukup bagi Sartika untuk tahu bahwa Laras setidaknya bersedia mencoba.
Ia menghela napas, pikirannya mulai bekerja mencari cara. Ia tidak tahu berapa lama waktu yang mereka miliki sebelum seseorang kembali. Tapi satu hal yang pasti, ia harus menemukan jalan keluar.
Dan kali ini, ia tidak akan gagal.
Sartika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan berharga untuk menemukan celah. Ia kembali memperhatikan dinding kayu yang lapuk, mencoba menilai apakah ada bagian yang cukup rapuh untuk dirusak.
"Laras, bantu aku," katanya pelan, tidak ingin menimbulkan suara yang mencurigakan.
Laras tampak ragu, tetapi setelah melihat kesungguhan di mata Sartika, ia mengangguk lemah. Bersama-sama, mereka merangkak ke sudut ruangan, di mana cahaya samar masuk melalui celah kecil di antara papan kayu.
Sartika menekan papan itu perlahan. Kayunya terasa lemah, dan saat ia menekannya lebih keras, papan itu sedikit bergeser. Ada harapan.
"Kita bisa melonggarkan papan ini," bisik Sartika, matanya bersinar penuh tekad.
Namun sebelum mereka sempat melakukan lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat.
Jantung Sartika berdetak lebih cepat. Laras langsung mundur, tubuhnya gemetar ketakutan.
Pintu gudang terbuka dengan kasar. Seorang pria bertubuh besar berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam dan penuh kecurigaan.
"Apa yang kalian lakukan?" suaranya dingin, menggetarkan udara di dalam ruangan.
Sartika dengan cepat menutupi bagian papan yang lapuk dengan tubuhnya, berharap pria itu tidak memperhatikan. Ia menatapnya balik, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdegup kencang.
"Tidak ada," jawabnya singkat.
Pria itu menatap mereka bergantian, lalu melangkah masuk. Ia mendekati Sartika, mencengkeram dagunya dengan kasar.
"Kau mulai banyak bicara, ya," gumamnya, matanya menelusuri wajah Sartika dengan tatapan yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Sartika ingin menepis tangannya, tetapi ia tahu itu hanya akan membuat situasi semakin buruk.
Pria itu menyeringai, lalu melepaskan cengkeramannya. "Jangan macam-macam, atau kalian akan menyesal," ancamnya sebelum melangkah keluar dan mengunci pintu kembali.
Sartika mengusap dagunya yang masih terasa sakit. Ia melirik Laras, yang terlihat semakin ketakutan.
"Kita harus lebih cepat," bisiknya.
Laras masih tampak ragu, tetapi kali ini ia tidak menolak. Bersama, mereka kembali bekerja, mencoba melepaskan papan kayu itu secepat mungkin.
Mereka tidak punya banyak waktu. Dan Sartika tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk keluar dari mimpi buruk ini.
Sartika dan Laras bekerja dalam keheningan, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara usaha mereka melepaskan papan kayu. Sartika merasakan tangannya mulai sakit karena harus menarik dan mendorong kayu yang sudah lapuk, tetapi ia tidak peduli. Ia terus berusaha, karena ini satu-satunya kesempatan mereka.
Papan itu mulai goyah, sedikit demi sedikit. Sartika melirik Laras, yang juga mulai membantu dengan lebih berani. Wajahnya masih dipenuhi ketakutan, tetapi ada sedikit tekad yang mulai tumbuh di dalam dirinya.
"Kita hampir berhasil," bisik Sartika, menyemangati.
Namun, suara langkah kaki terdengar lagi dari luar. Kali ini lebih berat dan lebih banyak.
Sartika dan Laras langsung menegang. Dengan cepat, mereka menutupi celah papan itu dan kembali duduk di sudut ruangan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Pintu gudang terbuka dengan kasar. Sri masuk bersama dua pria bertubuh kekar. Tatapan matanya tajam, penuh kemarahan.
"Kalian benar-benar keras kepala," katanya dengan nada dingin. "Kupikir setelah apa yang terjadi sebelumnya, kau akan belajar, Sartika."
Sartika menelan ludah. "Aku tidak tahu apa maksudmu," katanya berusaha tetap tenang.
Sri menyeringai, lalu menoleh ke salah satu pria di sebelahnya. "Periksa ruangan ini."
Salah satu pria itu melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling. Jantung Sartika berdebar kencang. Jika mereka menemukan papan yang sudah longgar itu, rencana mereka akan gagal.
Pria itu mendekat ke sudut ruangan, tempat mereka tadi bekerja. Sartika menahan napas, tangannya mengepal erat di pangkuannya.
Laras tampak semakin panik, tubuhnya gemetar. Sartika menyentuh lengannya dengan lembut, mencoba menenangkannya.
Pria itu menunduk, tangannya menyentuh papan kayu yang sudah rapuh. Sartika hampir menutup matanya, bersiap untuk yang terburuk.
Namun sebelum pria itu sempat memeriksa lebih jauh, Sri berbicara lagi. "Sudah cukup."
Pria itu berhenti, lalu bangkit berdiri. Ia melirik Sri dengan sedikit kebingungan, tetapi tidak berkata apa-apa.
Sri mendekat ke Sartika, lalu menatapnya tajam. "Aku tidak punya waktu untuk menghadapi drama ini. Kalau kau terus mencoba melawan, aku pastikan nasibmu akan jauh lebih buruk dari Laras."
Sartika tidak merespons, tetapi matanya tetap menatap Sri tanpa takut.
Sri mendekatkan wajahnya, lalu berbisik di telinga Sartika, "Besok malam, kau akan dijual."
Darah Sartika seperti membeku.
Sri tersenyum puas melihat ekspresi kaget di wajah Sartika. "Jadi, nikmati malam terakhirmu di sini."
Ia berbalik, lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk pergi. Pintu gudang ditutup dan dikunci kembali, meninggalkan Sartika dan Laras dalam keheningan yang mencekam.
Laras mulai menangis pelan. "Kita tidak akan bisa keluar dari sini," isaknya.
Sartika menggigit bibirnya. Tidak. Ia tidak akan menyerah.
Besok malam ia akan dijual. Itu berarti mereka hanya punya waktu satu malam untuk kabur.
Ia menoleh ke arah papan kayu yang tadi sudah hampir lepas.
Mereka masih punya kesempatan.
"Kita harus kabur malam ini," kata Sartika, matanya dipenuhi tekad.
Malam ini terasa lebih panjang dari sebelumnya. Sartika dan Laras tidak bisa tidur, bukan hanya karena udara dingin dan bau apek yang menusuk di dalam gudang, tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara.
Setiap suara kecil dari luar membuat mereka menegang, takut ada seseorang yang datang memeriksa. Namun, setelah beberapa jam berlalu tanpa ada tanda-tanda pergerakan, Sartika tahu inilah saatnya.
Ia berjongkok di sudut gudang, kembali meraba papan kayu yang sudah longgar tadi. Dengan lebih hati-hati, ia menariknya, kali ini dengan seluruh kekuatan yang tersisa.
Krek!
Papan itu akhirnya terlepas. Sartika hampir tidak bisa menahan senyum lega. Ia segera menarik papan lain agar lubang yang mereka buat cukup besar untuk tubuh mereka keluar.
"Laras, ayo," bisiknya sambil menoleh.
Laras masih ragu. Matanya menatap lubang kecil di dinding dengan ketakutan. "Bagaimana kalau mereka menangkap kita?" suaranya bergetar.
Sartika menggenggam tangannya erat. "Kalau kita tidak mencoba, mereka pasti akan menang. Aku tidak mau menyerah begitu saja, Laras. Kau juga pasti ingin bebas, kan?"
Laras terdiam. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.
Sartika tersenyum kecil. "Baik. Aku duluan, lalu kau menyusul, oke?"
Laras mengangguk lagi, meskipun jelas ia masih gemetar ketakutan.
Sartika merangkak melewati lubang itu. Begitu tubuhnya berhasil keluar, ia langsung merasakan udara malam yang lebih segar daripada udara pengap di dalam gudang. Ia menoleh ke belakang dan mengulurkan tangan.
"Ayo, Laras," bisiknya mendesak.
Laras tampak ragu beberapa detik, tetapi akhirnya ia ikut merangkak keluar dengan bantuan Sartika. Begitu mereka berdua berhasil keluar, Sartika segera membantu Laras berdiri.
Mereka berdua sekarang berada di belakang gudang, tersembunyi di balik rerumputan tinggi.
"Kita harus pergi sebelum mereka sadar kita kabur," kata Sartika, menggenggam tangan Laras dan mulai bergerak perlahan.
Namun, baru beberapa langkah, suara teriakan dari dalam gudang terdengar.
"Mereka kabur!"
Jantung Sartika mencelos.
"Lari!" teriaknya sambil menarik Laras sekuat tenaga.
Mereka berlari secepat mungkin, menerobos semak-semak dan tanah berbatu tanpa peduli pada ranting-ranting yang melukai kaki mereka.
Di belakang, suara langkah kaki dan teriakan pria-pria itu semakin dekat.
Sartika tahu mereka tidak bisa berhenti. Jika mereka tertangkap, segalanya akan berakhir.