Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Air mata seorang kakak.
Kedua penjaga rumah keluarga Winston berdiri seraya tertunduk. Mengetahui keadaan nona muda mereka, Danny dan Jack, nama kedua penjaga tersebut, memberanikan diri bicara pada Liam. Kebetulan orang suruhan Liam juga berada di sana.
Dengan penuh ketakutan, kedua penjaga tersebut menceritakan soal kedatangan Reagen dan kepergiannya bersama Zenaya. Namun, mereka pikir hal tersebut bukanlah suatu masalah besar.
Liam meradang. Dengan penuh amarah dia melempar salah satu vas bunga mahal kesayangannya ke dinding, hingga nyaris mengenai Jack dan Danny. Matanya kemudian menatap Zenaya melalui pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Gadis itu sedang duduk di atas ranjang tanpa suara.
Amanda yang juga turut mendengar penjelasan para penjaga hanya bisa memeluk Zenaya sambil menangis sesenggukan. Wanita itu sama sekali tidak menyangka, bahwa pria baik-baik yang selalu datang ke rumahnya tersebut tega melakukan hal keji terhadap sang putri kesayangan.
"Maafkan Mama, Zen, maafkan Mama!" pekik Amanda pada putrinya yang kini hanya mampu terdiam tanpa suara. Sorot mata gadis itu begitu kosong dan pucat.
Di lain sisi, Adryan tampak sangat terluka. Air mata bahkan sudah menggenangi pelupuk pria itu. Hatinya hancur lebur.
Perasaan bersalah kontan menyelimuti Danny dan Jack. Melihat Reagen sering bertandang ke sana membuat mereka tidak begitu mengkhawatirkan Zenaya saat dibawa pergi. Mereka pikir, keduanya hanya sedang bertengkar biasa.
"Maafkan kami, Tuan. Silakan hukum kami. Kami siap menanggung segalanya." Jack dan Danny bersimpuh, tetapi Liam segera menahannya. Biar bagaimanapun ini bukan kesalahan mereka berdua
Suara isak tangis Zenaya kemudian terdengar. Adryan dan Liam dengan sigap masuk ke dalam kamar gadis itu.
Tak ada lagi raut kebahagiaan yang tersisa di wajah cantik Zenaya. Sinarnya yang dulu ceria kini redup dan layu. Zenaya saat ini tak ubahnya sebuah boneka usang yang rapuh.
Perasaan bersalah lantas menghantam batin Adryan. Andai saja dia membiarkan Zenaya tetap di rumah sakit, mungkin malapetaka ini tidak akan terjadi.
Adryan lantas mengambil alih posisi Amanda, lalu memeluk erat tubuh Zenaya yang terasa ringkih itu.
"Maafkan Kakak," ucap Adryan lirih.
Tangis Zenaya semakin pecah.
Sesaat kemudian, salah seorang asisten rumah tangga mereka tiba-tiba datang dengan langkah tergopoh-gopoh.
"Tuan, ada beberapa orang tamu yang memaksa untuk bertemu Anda," ujar asisten rumah tangga tersebut dengan wajah takut dan bingung.
"Siapa?" Adryan turut bersuara.
"Mereka bilang dari keluarga Walker."
Mendengar nama itu disebut, tangis Zenaya mendadak terhenti. Dia melirik asisten rumah tangga itu dingin dan menyuruhnya untuk mengusir mereka. Mata gadis itu kemudian beralih pada sang ayah, memohon agar beliau turut membantu mengusir mereka.
"Tidak perlu!" tukas Adryan seraya melepas pelukannya pada Zenaya. "Baguslah, setidaknya aku tidak perlu repot-repot mencari bajingan itu!" kata Adryan sambil berlalu.
Melihat kepergian putranya, Liam pun ikut menyusul.
Tepat di ambang pintu rumah mereka, sudah berdiri sepasang suami istri berusia enam puluhan, dan seorang pria dalam kondisi babak belur. Sementara tidak jauh di belakang sana, berdiri sepasang suami istri muda lainnya.
"Selamat malam, Tuan Liam Chester Winston." Craig menundukkan kepalanya begitu melihat Liam.
Liam memandang Craig dingin. Baru saja dia hendak membuka suaranya, Adryan tiba-tiba menarik kerah kemeja Reagen dan menyeretnya ke dalam rumah. Pria itu membanting Reagen ke lantai, sebelum kemudian meninju keras-keras pipi pria itu hingga tubuhnya membentur pajangan guci bernilai fantastis sampai pecah.
"Bedebah sialan, berani-beraninya kau muncul setelah menghancurkan adikku!" hardik Adryan seraya terus memukuli Reagen.
Jennia menangis sesenggukan. Dia ingin maju untuk menolong putranya, tetapi Craig menahan wanita itu. Noah dan Krystal pun tidak dapat melakukan apapun, selain hanya meratapi adik mereka yang sedang dihajar sedemikian rupa.
Liam berdiri angkuh sembari memandang Reagen dingin. Semula dia ingin menghajar pria itu, tetapi sang anak sudah lebih dahulu melakukannya.
Craig menatap Liam sendu. Meski Liam berusaha kuat, tetapi Craig dapat melihat kerapuhan yang ada di mata tuanya. Dia memang tidak memiliki anak gadis, tetapi dia sangat memahami bagaimana hancurnya perasaan seorang ayah jika anaknya terluka.
Reagen sendiri sama sekali tidak melawan. Dia menerima pukulan yang diberikan Adryan bertubi-tubi. M4ti pun rasanya dia rela, jika memang itu dapat menebus semua kesalahan fatalnya pada Zenaya.
"Kau sudah menghancurkan hidup adikku, sialan!" Tangis Adryan pecah. Lelehan air mata mengalir membasahi pipinya. Kepedihan yang sedari tadi tertahan kini lepas juga.
Mendengar suara ribut-ribut di lantai bawah membuat Zenaya bangkit dari ranjang. Gadis itu mengkhawatirkan kedua orang tercintanya.
"Mau ke mana Sayang? Jangan pergi ke mana-mana, di sini saja," pinta Amanda yang sebenarnya juga mengkhawatirkan mereka berdua.
Zenaya enggan mendengar, dia memohon pada Amanda untuk membiarkannya keluar dan melihat mereka dari depan kamar. Zenaya benar-benar takut sesuatu hal terjadi pada ayah dan kakaknya.
Amanda pun akhirnya memapah Zenaya menuju ke luar. Dari balkon lantai dua, gadis itu dapat melihat kekacauan yang dibuat Adryan. Sang kakak saat ini bahkan sedang menduduki tubuh Reagen yang sudah babak belur dan tidak berdaya. Sementara tak jauh dari mereka terdapat banyak pecahan guci. Liam sendiri tampak berdiri sambil memegangi dadanya sesekali.
Adryan baru berhenti memukuli Reagen setelah kehabisan tenaga. Dia bangkit dari atas tubuh pria itu dan terduduk di sebelahnya. Adryan menekuk kedua lututnya lalu menyembunyikan kepalanya di sana. Tangan pria itu tampak gemetar hebat, dengan bercak d4rah Reagen yang tertinggal di sana.
Melihat keadaan sang kakak, Zenaya tentu saja menangis. Sambil bersandar pada teralis balkon lantai dua, dia berulang kali menggumamkan kedua orang tercintanya itu.
Dengan napas terengah-engah Reagen bangkit dari posisinya dan duduk di sebelah Adryan. Wajah tampan pria itu benar-benar sudah babak belur setelah dihajar habis-habisan oleh Adryan.
Craig lalu maju menghadap Liam sambil berkata, "Mr. Liam, sebelumnya dari lubuk hati yang paling dalam kami memohon maaf sebesar-besarnya," ucap pria itu santun.
Liam enggan membalas.
"Selain untuk meminta maaf, kedatangan kami kemari ad—"
"Uncle, izinkan aku bertanggung jawab dengan menikahi Zenaya!"
Suasana mendadak sunyi sesaat setelah mendengar perkataan Reagen, yang memotong pembicaraan ayahnya. Pria itu dengan penuh kesungguhan bersimpuh di kaki Liam guna meminta izin.
Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut keluarga Winston, selain hanya raut keterkejutan yang terpampang. Namun, kesunyian itu seketika buyar saat Zenaya dengan lantang berteriak, "TIDAK!"
Reagen beserta seluruh anggota keluarganya refleks menoleh ke arah sumber suara. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa Zenaya sedari tadi berada di sana.
Melihat kondisi Zenaya yang tampak mengenaskan, membuat Reagen terperanjat. Dia pun menanyakan keadaan gadis itu pada Liam.
"Dia hampir m4ti kecelakaan saat lari dari pria bi4dab sepertimu!" jawab Liam dingin.
Reagen terbelalak. Perasaan bersalah semakin menghujam jantungnya.
Jennia yang turut menyaksikan keadaan Zenaya, kini mulai tersadar. Dia tak lagi berpikir untuk membela Reagen.
"Bolehkah saya menemui Zenaya?" ucap wanita itu pada Liam.
Liam menoleh ke arah sang istri, sebelum akhirnya mengijinkan wanita itu untuk menemui putri mereka.
Ditemani Krystal, Jennia naik ke lantai dua dan langsung memeluk Zenaya. "Maafkan kami, Nak, maafkan kami," ucap Jennia terisak-isak.
Selain meminta maaf pada Zenaya, Jennia juga meminta maaf pada Amanda. Sebagai seorang ibu, dia memahami betapa hancurnya Amanda.
Amanda sendiri menerima pelukan Jennia dengan hati terbuka. Biar bagaimana pun, Jennia pasti merasa terguncang seperti dirinya juga.
Melihat interaksi Amanda dan Jennia, Liam mengembuskan napasnya. Pria baya itu mencoba berbesar hati dengan mempersilakan Craig dan Noah untuk duduk di ruang tamu. Dia juga meminta pada salah seorang asisten rumah tangga untuk mengambil kotak P3K.