Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Curiga
Aku gelagapan mendengar pertanyaan Mery.
"Kemarin itu Kakak 'kan nelpon aku. Tapi Mery masih tidur. Trus saat Mery telpon balek Kakak gak aktif. Mungkin susah signal selama Kakak di kampung. Tapi barusan aku telpon nomor tetap gak aktif." Tutur Mery seraya mencoba meneleponku.
"Tuh 'kan gak aktif."
"Eh, masa sih. Beberapa hari ini Whatshap Kakak memang eror." dustaku lalu memeriksa ponselku. Secepat mungkin aku membuka blokiran agar Mery tidak curiga.
"Nah, ini baru masuk Kak. Sepertinya sudah pulih."
"Oh, iya udah masuk nih pesannya." Ternyata ada beberapa pesan yang dikirim Mery.
"Kok aneh ya. Jangan-jangan Whatsap Kakak kena hack." Mery menatapku curiga.
"Lho, apaan ini?" Mery mengamati sesuatu di ponselnya.
"Kenapa Mer?" tanyaku heran saat Mery menatapku bergantian dengan ponselnya.
"Ini ada vidio lewat berandaku, dibagikan seorang teman. Kok orang ini mirip sama Kakak? Eh, bukan mirip lagi, tapi memang kakak ini. Pakaian Kakak yang di vidio sama persis dengan yang Kakak pakai. Siapa yang membully Kakak!" seru Mery kaget.
"Vidio apaan Mer?" tanyaku bingung. Aku meraih ponsel Mery, aku kaget sekali melihat isi vidio itu. Ternyata perempuan sialan itu nekad juga mengviralkan kejadian tadi.
"Siapa mereka Kak? Apakah semua ini ulah, Gladys? Keterlaluan. Jangan sampai vidio ini ketahuan sama Mama." beliak Mery cemas. Sama halnya seperti diriku, aku sangat juga sangat khawatir.
Aku memandang ke arah ibu mertua saat dimana beliau sedang menerima telepon seseorang. Seketika darahku berdesir, jangan-jangan telepon itu .... Ibu mertua berjalan bergegas ke arah kami. Wajahku benar-benar pucat.
"Rania, apa seseorang barusan menyakitimu?" Ibu mertua menatapku dari kaki hingga kepalaku.
"Aku baik-baik saja, Inang," ucapku kebingungan dengan sikap ibu mertua. Aku menatap Uly, Uly balas menatapku juga tanpa berani berucap.
"Tapi ini, sepertinya kejadiannya baru beberapa menit yang lalu. Siapa perempuan itu, berani sekali memaki menantuku. Tatapan ibu mertua beralih kekerumunan yang masih menyisakan beberapa orang. Yang aku khawatirkan terjadi juga.
Ibu mertua lantas merangsek ke arah sana, tanpa sempat aku cegah. Astaga! Apa yang hendak ibu mertua lakukan.
"Inang, tunggu!" Aku berlari mengejar ibu mertua diikuti Uly juga Mery.
"Eh, Mama mau kemana? Tunggu Ma!" Mery juga mengejar ibu mertua yang sudah tiba di depan toko penjual perhiasan itu. Ternyata perempuan yang menjambakku masih berada di sekitaran toko itu. Ibu mertua mengenalinya dan langsung mengahmpiri perempuan itu.
"Plak! Atas dasar apa kamu punya hak menampar Rania!" Ibu mertua berkacak pinggang dan menatap bringas perempuan itu. Lantas dia berbalik seraya mengusap pipinya yang terasa panas.
Aku terkejut akan tindakan ibu mertua. Dan lebih terkejut lagi ada Gladys diantara mereka. Tadi mereka hanya berdua dan kini sudah berempat. Apakah tadi Gladys sengaja sembunyi dan menyaksikan semua perbuatan temannya.
"Oh, kamu lagi ya? Kamu sengaja bawa nenek lampir ini sebagai pelindungmu?" ejek perempuan itu, saat melihatku. Dia tidak mengenali siapa ibu mertua. Gladys sempat menarik lengan temannya. Sepertinya berusaha memberitahu siapa ibu mertua. Tapi temannya itu mengabaikan peringatan itu.
"Plak!" sekali lagi ibu mertua melayangkan tamparannya.
"Hei, wanita tua! Beraninya kamu menampar aku!" ringisnya dan berusaha membalas. Tapi aku menahan lengan itu dan mendorongnya hingga terjatuh.
"Berani-beraninya kamu sama orang tua. Dasar manusia tidak beradab!" makiku penuh amarah.
"Sudah Susan. Mari kita kita pergi!" Gladys menolong temannya Susan. Tapi Susan sudah kadung malu dan terpicu emosi.
"Gladys, ternyata begini yang kelakuan kamu. Itulah sebabnya Ibu tidak pernah bisa merestui kamu dengan Arbi. Karena kamu adalah perempuan licik. Kamu tidak pernah tulus mencintai anakku. Kamu hanya ingin uang dan hartanya saja!" Ibu mertua meluapkan amarahnya. Susan yang sejak tadi nampak garang tiba-tiba seperti singa ompong.
"Kamu perempuan sinting, akan kutuntut atas apa yang kamu perbuat pada menantuku." Gladys dan ketiga temannya terpaku mendengar ucapan ibu mertua.
"Ibu boleh memakiku sepuas hati Ibu. Tapi apa Ibu tau kalau selama ini anak Ibu telah berbohong!" sahut Gladys tenang.
"Maksud kamu apa. Kebohongan apa yang telah dilakukan Arbian!"
"Inang, mari kita pergi saja. Jangan meladeni mereka." Aku menarik lengan ibu mertua perlahan. Aku takut Gladys semakin tidak bisa mengontrol ucapannya.
"Tunggu Rania, Inang ingin tau, kebohongan apa yang telah dilakukan Arbi. Apakah kamu juga mengetahuinya?" ibu mertua menatapku penuh selidik. Aku sungguh tidak berdaya untuk menjawabnya.
"Tentu saja Rania tidak akan bicara. Karena dia sendiri salah satu pelakunya."
Sialan! Sepertinya Gladys hendak menangguk di air keruh. Perempuan licik itu hendak memamfaatkan situasi ini untuk menyudutkan aku.
"Ada apa Rania. Kenapa kamu diam saja. Apa maksud dari ucapan si ulat bulu itu. Jangan takut bicara jujur sama Inang."
"Maafkan Rania Inang. Bukan disini tempatnya membicarakan hal itu."
"Hem, baiklah. Inang tunggu kamu di rumah. Dan kamu perempuan sinting, jangan sekali-kali mengganggu Rania."
"Kenapa takut Rania. Apa bedanya kamu bicara disini atau disana. Toh, kebusukan kamu akan terbongkar juga!"
Langkah kami terhenti karena ucapan Gladys. Dia benar-benar hendak mempermalukan aku dihadapan muka umum. Aku berbalik dan menghampirirnya.
"Jangan mengancamku Gladys. Jika aku berpisah dengan Arbi tidak akan ada yang berubah. Tapi kamu, selamanya tidak akan bisa masuk dalam keluarga itu. Semua upaya kamu untuk bersama Arbi akan sia-sia. Aku sangat kasihan melihatmu." Aku berucap penuh penekanan. Setiap kata yang aku ucapkan keluar dengan tajam dan aku pastikan hanya dia yang mendengar.
"Brengsek kamu, Ra. Aku pastikan juga kamu akan menyesali semuanya."
"Ambil saja dia dariku, silahkan. Tapi satu hal jangan pernah sakiti keluarganya. Aku tidak peduli soal Arbi. Tapi soal Inang, kamu harus berpikir dua kali berurusan denganku."
Segera kutinggalkan Gladys sebelum sempat membalasku. Ya, ini saatnya aku harus bicara jujur pada ibu mertua. Semoga saja beliau tidak syok!
"Rania sebebarnya apa yang terjadi antara kamu dengan Arbian. Apa maksud Gladys bicara seperti tadi." ibu mertua tidak sabar menunggu jawaban dariku. Beliau mengajakku singgah di sebuah kafe, suasananya begitu hening. Cocok untuk membicarakan hal pribadi tanpa khawatir ada orang lain yang menguping.
Aku menatap Mery dan Uly di kejauhan. Mencoba mengumpulkan keberanianku untuk bicara jujur pada ibu mertua.
"Maafkan Rania, Inang. Bila selama ini telah berbohong dengan keadaan rumah tangga kami." Ibu mertua mengernyitkan alisnya begitu aku memulai bicara.
Selama ini aku dan Arbian, hanya bersandiwara sebagai sepasang suami istri. Arbi tidak pernh bisa mencintaiku Inang. Tapi dia juga tidak tega menyakiti Inang. Sebelum kami menikah, Arbi menyuruhku menandatangani surat perjanjian pra nikah." Aku menarik napas dalam dan menghelanya perlahan. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor