Love, Me Please!
Tentang Lily yang berada di antara hubungan Theo dan Shylla.
Tentang Lily yang tidak diinginkan dan dicintai oleh Theo. Hanya Shylla yang diinginkan oleh Theo tapi Lily memisahkan mereka karena suatu malam Lily menjebak Theo karena ingin memiliki Theo agar menjadi suaminya.
Pernikahan tanpa cinta, meski sudah berhasil mendapat Theo Lily tidak merasa bahagia karena dia merasa tertolak dan tidak dicintai oleh suaminya. Lily tentunya iri dan mengharapkan cinta dari suaminya namun Theo lebih mencintai Shylla.
Sakit yang Lily rasakan ketika dia bisa hidup bersama raga Theo tapi hati dan pikiran Theo tertuju pada Shylla. Sakit yang Lily rasakan saat Theo bersikap kejam padanya namun lembut kepada Shylla.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ncy Jana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Theo berjalan menjauh dari Lily untuk menjawab panggilan telpon dari ayahnya. Ia mencoba untuk menekan gairahnya, Theo tidak bisa mengabaikan panggilan dari Frederick.
Theo mengusap wajahnya gusar, ia pun meletakkan ponselnya di telinganya.
“Halo Pah.”
Di sisi lain, Lily buru-buru memperbaiki keadaannya. Lily berterima kasih kepada Frederick—ayah mertuanya, mau bagaimanapun telpon itu telah berhasil menyelamatkannya keluar dari cengkraman Theo.
Lily tidak tahu apa yang sedang Theo bicarakan, lebih tepatnya peduli. Yang hanya Lily lakukan adalah cepat-cepat pergi dari dalam ruangan ini mumpung lagi ada kesempatan.
Sementara keadaan diluar ruangan ternyata sudah ada Bi Emma yang baru datang. Saat ingin mengetuk pintu ruangan itu, Bi Emma melihat pintu itu terlebih dahulu terbuka bersama dengan keluarnya Lily dari ruangan kerja tuannya.
Keduanya sama-sama terkejut. Lily yang mengetahui keberadaan Bi Emma ditempat ini jadi tersenyum tersenyum canggung, ia pun memutuskan buru-buru pergi dari sana.
Masih di dalam ruangannya, Theo tampak sudah mengakhiri percakapan dengan ayahnya ditelpon. Theo memutarkan badannya lalu mengamati sekelilingnya, ia sudah tidak melihat keberadaan Lily disana.
Setelah memasangkan gespernya, Theo beranjak keluar dari ruangan kerjanya. Saat sampai di pintu Theo melihat Bi Emma yang ternyata masih setia berdiri di sana menunggui tuannya keluar dari ruangan.
Theo menatap Bi Emma dengan tajam dan seakan bertanya ‘ada apa?’
“Tuan, tadi nyonya besar menelpo—”
“Hm, saya tahu.” sela Theo.
Bi Emma mengangguk mengerti. Ia pun membungkuk hormat hendak pergi dari sana tapi Theo kembali memanggilnya dan menyuruh Bi Emma untuk memberitahu sopir agar segera menyiapkan mobil.
“Baik tuan.”
__
Suasana hening menyelimuti pasangan suami istri yang lagi ada di dalam mobil, itulah yang membuat Lily termenung menatapi bangunan tiap bangunan yang terlewat dengan cepat dari pandangannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan selama perjalanan menuju kekediaman Tanujaya. Lily hanya berdandan sekadarnya. Tadi ia harus dikejar waktu karena Bi Emma juga mendadak datang ke kamarnya, menyuruhnya untuk cepat-cepat bersiap. Itupun Bi Emma terus-terusan mendesaknya untuk cepat supaya tidak membuat Theo dengan yang namanya menunggu.
Hari ini semua keluarga besar akan datang berkumpul dikediaman keluarga Tanujaya untuk mengadakan acara makan malam. Dan kali ini lebih spesial karena nenek Theo dari Singapura datang berkunjung ke Indonesia.
Lily menoleh ke samping menatap cemas ke arah Theo yang duduk di sebelahnya. Pria itu tengah fokus mengemudikan mobil. Tak mau kepergok, Lily pun segera memalingkan wajahnya ke arah semula.
Lily tidak menyangka kalau Theo akan mengajaknya ikut berkunjung kekediaman orang tua pria ini. Lily tahu kalau mereka akan berkunjung ke sana dari penuturan Bi Emma bukan dari mulut Theo. Boro-boro bicara padanya, sedangkan untuk melihatnya saja sekarang Theo enggan padahal posisi mereka duduk bersebelahan.
Ini pertama kalinya Lily mendatangi kediaman mertuanya. Ada perasaan cemas yang menyerang hatinya. Pikirannya melalang buana memikirkan apa yang akan terjadi nanti saat mereka sudah sampai di sana. Lily tahu betul kalau tidak ada satupun keluarga Theo yang menyukainya. Lily sadar diri kalau dirinya pasti tidak akan disambut dengan hangat nantinya. Tidak hanya kedua orang tua Theo, tapi Lily akan bertemu dengan seluruh keluarga besar Theo yang saat ini sudah berkumpul di sana.
Perjalanan menuju kekediaman orangtua Theo membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah mengendara selama setengah jam lebih, akhirnya mobil Theo berhenti di halaman luas kediaman orang tuanya.
Theo keluar dari dalam mobilnya. Lily yang melihat Theo pun buru-buru membuka seatbelt nya menyusul suaminya. Sangat sulit bagi Lily untuk menyesuaikan langkah lebar Theo. Hingga akhirnya Lily jadi berlari kecil mengejar Theo menuju rumah besar itu.
Keduanya sudah sampai di teras lalu tangan Theo menekan bel beberapa kali sehingga pintu utama pun akhirnya dibuka dari dalam.
Disana Lily melihat seorang wanita tua berdiri di samping Elvana—adiknya Theo yang menyambut kedatangan mereka.
“Akhirnya kalian sampai juga,” ujar wanita itu tua menyambut mereka.
“Nenek, Bang, Elva masuk duluan ya.” usai mengatakan itu Elvana beranjak masuk, ia bahkan acuh tak acuh dengan kehadiran Lily.
Wanita tua itu mengabaikan sikap Elvana cucunya, ia sudah tak heran dengan tabiat cucunya yang selalu rada cuek itu, netranya kembali fokus menatap ke arah Theo yang baru datang membawa istrinya, “Gimana perjalanan ke sini, tidak ada kendala kan?”
Theo tersenyum lalu membawa neneknya ke dalam pelukannya, “Lancar. Apa kabar, Nek? Theo kangen banget.” Theo memeluk neneknya dengan erat melampiaskan rasa rindunya dengan memberi kecupan hangat pada kening sang nenek.
Lily menyaksikan itu terenyuh melihat bagaimana sikap Theo yang terlihat sesayang itu itu pada neneknya. Lily berandai ada diposisi itu ingin merasakan kasih sayang pria itu yang terlihat sangat tulus.
“Nenek juga merindukanmu.”
Keduanya melepaskan pelukan usia melepas rindu. Priyanka Anastasia—neneknya Theo dari pihak ayah kini berjalan mendekati Lily. Melihat itu Lily langsung menyalaminya.
Lily menyapa neneknya Theo lalu memperkenalkan dirinya. Lily dengan dalam situasi canggung, antara takut gelisah dan takut.
“Selamat datang nak. Maaf tidak bisa hadir dipernikahan kalian.” Oma Ana memeluk Lily.
Lily terkejut, ia seakan tidak percaya karena masih ada seseorang dari keluarga pihak suaminya yang bersikap hangat kepadanya. Oma Ana menyambutnya dengan sangat baik berbeda dengan keluarga Theo yang lainnya.
Oma Ana bahkan menggandeng Lily membawanya masuk ke dalam rumah untuk menghampiri keluarga yang sudah berkumpul di meja makan. Sesampainya disana Lily melihat semuanya sudah berkumpul. Semua keluarga besar Tanujaya ada disana membuat Lily mau tidak mau Lily menyalami mereka satu per satu. Jane menjadi orang terakhir yang Lily salami.
Lily tahu betul kalau Jane sebenarnya tadi enggan memberikan tangannya karena hingga detik ini Jane masih belum menerima Lily dengan baik. Tetapi semua orang disitu tampaknya berakting dengan baik. Meskipun begitu semua yang ada disana tampak bersikap biasa dengan kehadirannya.
Lily melirik ke arah Theo yang sudah mengambil kursi, dengan ragu ia pun melangkah dan mengambil tempat duduk tepat disamping Theo yang memang lagi kosong. Lily duduk di sana dan menyisakan satu kursi lagi yang tersisa disebelahnya.
Saat mereka ingin memulai acara makan, kehadiran seseorang menyita perhatian mereka semua.
“Kamu itu ya, Oma pikir kamu tidak akan.” Oma Nadine mengomel saat melihat kedatangan Navarro ditengah-tengah mereka. Lalu ia tersenyum kembali saat Navarro mendekat dan memberi kecupan pada puncak kepala Omanya.
“Nggak mungkin Varo tidak datang. Tadi Varo kejebak macet makanya lama.” Navarro menjelaskan kemudian menyalami para orangtua disana.
Navarro berjalan memutari meja makan menghampiri kursi kosong yang memang tersisa untuknya. Ia sedikit tersenyum ke arah pemilik kursi disebelah sebelum akhirnya duduk ikut bergabung bersama mereka.
Makan malam itupun akhirnya dimulai setelah Opa Rajash—selaku orang tertua di keluarga itu memimpin doa.
Tinggggg!
Suara dentingan sendok mengejutkan semua yang ada di meja makan itu. Sumber kegaduhan itu berasal dari Lily yang tidak sengaja menjatuhkan sendok miliknya.
“Maaf.”
Lily merasa bersalah atas kegaduhan yang dia buat. Ketika ingin mengambil sendok nya, Lily dikejutkan dengan aksi Navarro yang terlebih dahulu bertindak mengambil sendok itu.
"Terimakasih." Ujar Lily.
Merasa acara makan mereka terganggu, Frederick pun bersuara memanggil pelayan untuk membawakan sendok yang baru ke meja makan.
Acara makan itu kembali berlanjut dan hingga makan malam akhirnya pun selesai. Semua para wanita berkumpul di ruang keluarga menghabiskan waktu untuk bersantai dan berbincang di sana. Sementara para lelaki mengambil tempat sendiri di area lain rumah itu.
Lily hanya duduk diam dan tidak ingin bergabung dalam percakapan mereka, lebih tepatnya tidak berani apalagi saat melihat tatapan tidak suka yang Jane perlihatkan ke arahnya.
“Sayang kenapa kamu diam saja?” tanya Oma Ana. Sedari tadi wanita tua itu sesekali memperhatikan Lily yang hanya terlihat diam mendengarkan mereka.
Lily tersenyum, “Tidak apa-apa nek.”
“Oh ya. Aku ingin menyampaikan kabar baik.” Sarah—anak sulung Jane dan Frederick kembali membuka obrolan ditengah suasana yang sempat hening.
Semua atensi tertuju pada Sarah yang tampak mengelus perutnya.
“Kamu hamil lagi, nak?” tanya Jane, wajahnya tampak bahagia dan terlihat antusias saat melihat Sarah menganggukkan kepala mengkonfirmasi jawaban atas pertanyaannya.
“Yeah, akhirnya Jeh dapat adik,” ujar Oma Nadine —ibunya Frederick pada Jehvairo yang sedang duduk dipangkuannya. Ia tampak bahagia mendengar kabar baik dari cucunya ditengah usainya yang sedang di masa menikmati masa tuanya.
“Jaga baik-baik kandungan kamu. Jangan sampai kelelahan karena pekerjaan.” Jane memberi nasihat pada Sarah, mengingat putrinya dulu sempat hampir kehilangan saat mengandung Jeh karena terlalu gila dalam bekerja.
“Iya, Ma.”
“Jadi kamu gimana Ly, sudah isi?”
Senja—adik dari Frederick tiba-tiba bertanya setelah matanya sedari tadi mengamati Lily.
Lily mengalihkan tatapannya kepada wanita yang sedari tadi duduk di sebelahnya, Ia terkejut ketika ditanyai oleh bibinya Theo. Lily terdiam sejenak, pikirannya melayang pada anaknya yang sudah pergi dan sayangnya tidak ada satupun di antara mereka kalau bayinya sempat bersemayam di rahimnya walau hanya sebentar.
Melihat respon Lily yang hanya menggelengkan kepala membuat Senja tidak bertanya lagi. Senja seakan bisa memakluminya, jadi dia menepuk pundak Lily pelan.
“Sudah. Jangan khawatir. Dulu Bibi pas mendapatkan Zoya juga butuh waktu yang lama. Jadi jangan sedih. Lagipula kamu baru menikah, jadi tidak perlu terburu-buru. Lebih baik kalian nikmati waktu berdua dulu.”
Lily hanya membatin, seandainya mereka tahu kalau dirinya juga sempat hamil. Apa mereka akan tetap bahagianya sama seperti ketika mendengar kabar kehamilan dari mbak Sarah tadi? Memikirkan itu Lily jadi sedih karena ia sudah kehilangan calon anaknya membuat orang-orang disana mengira kalau Lily seperti itu karena ucapan bibi Theo tadi.
__
To Be Continued
ditunggu yah author kebucinan theo 😂😃😍🫢🫢