Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Sandiwara darimu, jelek!
Kembali, aku duduk di tempat semula menunggu Ain sambil menyalakan sebatang rokok.
“masih lama Sek!”pesan kukirim padanya.
Secara berkala, mobil juga motor para wali santri mulai berbaris keluar gerbang. Aku mengamati dengan diam, beragam ekspresi terlihat dari para santri, ada yang senyum sumringah karena menyambut libur panjang, ada pula yang sudah nampak lemas tak kuasa menahan kantuk.
Hampir 20 menit berlalu dan Ain belum juga muncul, dia bahkan tidak membalas chat ku. Rasa bosan bercampur ngantuk mulai kurasakan, kembali aku menyalakan sebatang rokok untuk menahannya. Keadaan sekitar sudah mulai sepi, aku memandang seksama beberapa santri yang sibuk memasukan sampah bekas nasi kotak pada karung, mereka bergurau dengan lepasnya. Mengingatkanku kembali pada masa SMP, saat itu aku juga berposisi seperti mereka saat ini.
Akhirnya Ain muncul dari dalam gerbang, dia menghentikan laju motornya, hanya berjarak beberapa meter dari tempatku duduk, tas ransel warna hitam berukuran sedang dia letakkan di lantai motor, wajahnya tampak tidak ceria, mungkin dia kecapekan. Batinku menebak, karena sekarang memang sudah pukul 22.00. lebih.
Ketika aku bersiap berdiri untuk berjalan ke arahnya. Tiba-tiba motor beat hitam berhenti tepat di sampingnya, yang membuat hatiku mendadak berontak adalah karena pengendara motor itu lagi-lagi lelaki yang sama. Dengan terpaksa aku menghentikan langkah, meski jarakku dan mereka tinggal beberapa meter saja.
“apalagi…”sergah Ain berwajah serius, pada lelaki yang baru saja turun dari motornya itu. Dia memasang wajah penuh cemas, seakan mereka berdua baru saja membahas sesuatu yang serius.
“tolong pertimbangkan lagi Inn, aku serius dengan tujuanku.”lelaki itu memohon dengan nada kalem, satu tangannya memegang gagang spion Ain, tatapan mereka saling beradu. Ain pun turun dari motor, hanya saja dia berada di sisi lain dari motornya. Aku mendengar jelas percakapan mereka, karena memang jarakku berdiri cukup dekat.
“aku tak bisa mas. Bukankah dari dulu aku sudah bilang. Jangan berharap lebih padaku!”kali ini Ain sedikit meninggikan nada bicaranya. Aku tak bisa melihat jelas wajah Ain, dia sepenuhnya berhadapan dengan lelaki itu.
Namun lelaki itu belum menyerah. Dia masih berusaha meyakinkan Ain dengan kata-katanya. Dia bahkan mengabaikan beberapa pasang mata yang mengamati penuh penasaran, termasuk aku yang berdiri mematung di belakang Ain, dia benar-benar hanya fokus pada wajah wanita yang ada di depannya.
Aku mulai paham dengan apa yang sedang mereka perdebatkan. Hatiku bereaksi, ada rasa nyeri pada dada sebelah kiri. Aku tidak tau harus berbuat apa, aku masih mematung tak mengubah posisi.
Lelaki itu masih kekeh dengan usahanya. Aku sempat berfikir, jika perkataannya mulai kasar maka aku akan memaksakan diri masuk. Tapi, meski penuh tekanan pada nada bicaranya namun cara dia menyampaikan masih dengan nada kalem dan hal itu semakin memunculkan kekhawatiranku. Awalnya aku merasa lega karena mendengar penolakan Ain. Namun, lama-kelamaan perasaan takut jika Ain tiba-tiba luluh, itu ada. Hati dan pikiranku mulai berdebat.
Hanya saja, jika menyangkut diriku sendiri apalagi tentang perasaan, aku tetap tak mampu menjadi egois. Nafas panjang kubuang kasar, aku memilih menjauh dari mereka agar tidak lagi mendengar pembicaraan mereka. Biarkan keputusan itu mengalir seperti seharusnya, tanpa campur tangan dariku. Namun, ketika aku mulai membalikkan punggung, suara Ain memanggilku.
”mas…”
Tentu saja aku segera menengok dan menatap wajahnya. Cukup terkejut, karena dia tampak dewasa, ekspresi wajah yang baru kali ini kulihat. Saat bersamaku, selalu wajah manja dan kekanak-kanakannya yang mendominasi.
Jari-jari Ain memberi isyarat, meminta untuk mendekat. Segera aku melangkah ke arahnya. Wajah penasaran terlihat jelas pada lelaki itu, akupun juga merasakan hal yang sama, aku tak tau apa tujuan Ain memanggilku.
Saat aku sudah tepat berada di sampingnya dia menatapku, lagi-lagi dengan sebuah isyarat. Mulutnya terlihat ragu untuk mengucapkan sesuatu.
“ada apa dek?”tanyaku, melihat mimik bibir Ain yang urung berucap. Kemudian aku melirik ke arah lelaki itu, kami hanya dipisahkan oleh motor Ain.
“mas, kenalin, ini Ridho.”
Akhirnya Ain bicara, ucapannya membuat kami saling menatap dan melempar senyum masam.
”dan, kenalkan, ini adalah mas ghozali. Kakak yang sering aku ceritakan.”
Deg deg deg…
Mendengar ucapan itu hatiku berulah”oh.. hanya kakak.”dengan reflek batinku protes.
”tapi... kami menyembunyikan sesuatu.”lanjutnya bicara penuh ragu. Pandangannya lebih fokus pada lelaki yang dulu pernah di sebut oleh Adik Laras, Ridho.
“sebenarnya… orang yang selalu ku ceritakan sebagai kakak. Dia adalah calon suamiku.”
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Saking kagetnya, aku hampir tersedak, nafasku rasanya tertahan di perut. Belum selesai otakku mencerna kalimat Ain, tiba-tiba dia meraih jari kananku.
”kami sengaja merahasiakannya, setidaknya sampai aku selesai skripsi. Begitulah kesepakatan kami.”kali ini dia memandang wajahku, meskipun aku masih diam kaku karena masih tak percaya dengan ucapannya. Dia meremas tanganku kuat, membuatku tersadar. Ke dua matanya penuh dengan isyarat.
“benarkan mas.”kembali, dia meremas tanganku, kali ini lebih kuat.
“oh, benar… kang.”jawabku kikuk, mencoba kembali tenang, mengambil nafas, memahami sandiwara dadakan Ain yang berada di luar nalar. Bercandanya jelek! Karena ulah Ain berhasil membuat hatiku gemetar.
"Tadinya aku ingin segera ikut campur. Tapi, setelah kupikir lagi, aku percaya dengan Ain, sepenuhnya.”ucapku lebih menyakinkan, sambil memandang wajah Ridho. Dengan sengaja aku mengusap jempolku pada punggung tangan Ain, seketika dia segera menguatkan genggamannya.
Aku tidak tahu, sejauh dan selama apa si Ridho ini dalam mengejar Ain. Wajah kecewa jelas terlihat dari gelagatnya. Dia pergi setelah menatapku cukup lama, senyum masam darinya menjadi penutup, aku salut karena dia masih berusaha menjaga kesopanannya, meski dia pergi tanpa sepatah katapun. Ain menundukkan wajahnya, tidak berani menatapku ataupun menatapnya.
Setelah Ridho menghilang dengan motornya, aku menatap wajah Ain dengan serius. Aku tahu dia hanya bersandiwara, tapi tetap saja respon hatiku berbeda. Wajahnya langsung memerah, belum sempat aku mengatakan apapun, dia langsung memotong.
“ayo pulang! Capek.”kilahnya menghindari tatapanku, berbicara dengan ketus seraya menyuruhku untuk segera naik motor.
Ketika motor mulai melaju dengan santai, aku mencoba kembali menanyakan tentang kejadian yang baru saja terjadi.
”Sek, jelaskan...”belum selesai dengan pertanyaanku, Ain menarik ujung kemejaku dengan tangannya, kuat.
“diam! Jangan di bahas!”suaranya tidak begitu terdengar, karena menyatu di antara suara angin malam yang sedang kami terjang. Kami berdua tidak menggunakan helm, Ain membenamkan wajahnya pada punggungku. Entah apa yang sedang di rasakannya, yang jelas saat ini hatiku rasanya sangat lega. Aku tak sabar untuk segera sampai di rumah, akan ku jadikan momen ini untuk mengungkapkan semua niat juga harapanku padanya.
Karena ini bukan jalur utama, di tambah dengan jam yang sudah berada di angka 23.00. tak heran jika jalanan terlihat sepi. Ketika kami melewati jalan di tengah pematang sawah, tiba-tiba ada 3 motor mendahului kami secara bergantian.
Pengendara motor terakhir melambaikan tangan, menyuruh berhenti. Firasatku tak enak, aku segera menghentikan laju motor karena di depan, mereka telah memblokir jalan untukku, jika berniat kabur. Aku berhenti berjarak sekitar 5 meter dari mereka yang juga berhenti.