Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.
Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.
Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.
Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25: Biarkan Saya Melakukannya Untukmu
Charlotte tertawa. Sebuah suara yang terdengar merdu memantul di ruangan beratap tinggi ini.
“Ada apa dengan kamu dan keberanianmu itu, Olivia, dari mana kamu mendapatkannya?” tanya Charlotte beranjak dari sofa dan perlahan berjalan ke arah gadis malang itu.
Olivia tidak hanya meremas kain gaunnya, tapi ia mengeratkan tinju di samping tubuhnya. Pandangannya yang memerah melihat ke arah gelas berisi wine yang dibawa Charlotte saat menghampirinya.
“Katakan saja, Yang Mulia Duchess, apa yang harus saya lakukan lagi untuk menghibur kebosanan kecil Anda?” tanya Olivia tepat saat Charlotte berhenti di depannya berjarak beberapa langkah.
“Kamu...” Charlotte menggoyangkan gelas berkaki itu membuat cairan burgundi di dalamnya bergerak-gerak. “Memang cerdas, aku akui itu.”
Olivia tersenyum kecil. Ia tahu alasan wanita itu mengatakannya cerdas, tidak lain adalah karena dirinya memanggilnya dengan sebutan duchess di saat dia dan sang duke belum resmi menikah.
Bukannya tidak tahu, melainkan gadis itu sangat paham. Charlotte ingin posisinya diakui dan ingin Olivia tahu diri bahwa sampai kapan pun ada perbedaan kasta yang tak terlihat di antara mereka.
Olivia melirik sekilas ke belakang Charlotte, terdapat Simon yang masih mempertahankan sikap santainya menatap ke arah mereka berdua.
Gadis itu mendengus pelan dan kembali menatap Charlotte. “Saya sudah melakukan pekerjaan saya sesuai permintaan Anda. Sekarang mohon izinkan saya pamit undur diri dan dengan sangat saya memohon kepada Anda berdua... tolong jangan menghubungi saya lagi.”
Olivia memberi sebuah penghormatan yang dalam dan cukup lama di hadapan Charlotte. Perbuatan yang mana hanya membuat wanita itu bertambah emosi.
Charlotte mengambil beberapa langkah mendekat, kemudian bertepatan dengan gadis itu mengangkat kepalanya, dengan sengaja ia menyiramkan wine itu ke dadanya.
“Apa yang—“ Olivia tercekat di tenggorokan, ia mengangkat wajah dan menatap Charlotte tak habis pikir.
Wanita itu di lain sisi, hanya memberi raut seakan terkejut dengan tingkah sengajanya. “Oh, astaga, maafkan aku. Sepertinya tanganku agak licin—“
“Minta maaflah dengan benar, Charlotte.” Suara rendah namun penuh ketegasan keluar dari bibir Simon yang sedari tadi hanya diam menonton.
Charlotte ternganga akan yang baru saja didengarnya, ia spontan berbalik menatap sang duke menuntut kejelasan.
Olivia secara naluriah mencoba menggosok-gosok noda cairan pekat yang menempel di gaun milik Betty yang ia pinjam, berharap noda itu dapat memudar.
Bukannya membalas tatapan Charlotte, kedua mata hijau emerald sang duke tidak bisa lepas dari sosok Olivia.
Apa yang bisa kamu lakukan tanpa bantuanku, Olivia?
Simon bangkit dari duduknya. Charlotte sontak membelalak dengan wajah memerah ia berteriak, “Berhenti, Simon! Aku perintahkan kamu untuk berhenti tertarik pada gadis menyedihkan itu!”
Simon tetap berjalan dengan tenang, begitu hampir melewati sang tunangan, ia berujar pelan. “Jangan berteriak, kamu akan menjadi duchess nantinya.”
Charlotte mengertakkan giginya, dengan penuh emosi ia meraih lengan pria itu yang segera ditepis.
“Apa?” Charlotte tak memercayai apa yang baru saja Simon lakukan dan dengan dinginnya pria itu bahkan menganggapnya tidak ada.
“Ikut saya, Olivia,” pinta Simon dengan lembut di hadapan Olivia. Gadis itu masih mematung di tengah keributan yang terjadi.
Melihat sikap Simon dan semua perhatian yang pria itu berikan pada gadis itu, gumpalan air terkumpul dengan cepat di pelupuk mata Charlotte, dapat ia rasakan sakit yang luar biasa di dadanya.
“Seperti katamu, aku yang akan menjadi duchess dan bukan dia. Lantas dengan alasan apa lagi kamu masih memilihnya ketimbang diri—“
“Karena saya memilihnya.” Simon berbalik untuk mengatakannya dengan jelas pada wanita itu. “Saya tidak pernah memilihmu untuk menjadi wanita saya, tapi saya memilihnya. Apakah sudah menjawab pertanyaanmu?”
Simon kembali menatap Olivia, ia meraih telapak tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. “Ayo, Olivia.”
Kepala Olivia seakan kosong, hanya kabut tebal yang memenuhinya. Hal itu juga yang membuat gadis itu mengikuti Simon.
Langkah panjang yang biasa diambil Simon setiap kali ia berjalan, kini dengan Olivia di belakangnya ia sengaja memendekkannya. Sepasang kaki panjangnya terpaksa berjalan dengan lambat.
Begitu kepergian keduanya diikuti suara pintu tebal yang tertutup, Charlotte menyadari posisi dirinya di mata Simon.
Sungguh sebuah ironi bahwa air mata Olivia yang terjatuh karenanya malah menjadi senjata makan tuan.
Charlotte membanting gelas wine di tangannya. Bersamaan dengan pecahan gelas itu berhamburan di lantai, air matanya pun turun dengan derasnya.
Wanita itu tertawa sarkas, merasa sangat lucu bagaimana air mata Olivia ternyata membuatnya ikut menangis.
♧♧♧
“Kamu harus berganti pakaian.” Simon mendudukkan Olivia di tepi ranjangnya.
“H-hng?” Tatapan Olivia mengatakan semuanya, bahwa gadis itu bahkan tidak menyadari bagaimana ia bisa berakhir di kamar tidur sang duke, terlebih lagi di atas ranjangnya.
Simon menghela pelan. Ia menundukkan tubuh untuk sejajar dengan wajah Olivia. “Bajumu basah dan terkena noda. Harus segera diganti.”
Untuk beberapa alasan, perkataan itu dan betapa dekatnya wajah Simon di depannya membuat Olivia kembali sadar. “T-tidak perlu.”
Simon mengernyit samar. Olivia mulai bergerak serampangan. “Saya akan pulang saja, Yang Mulia—“
“Tidak akan saya biarkan.” Simon mengentak bahu gadis itu menghentikan pergerakannya.
Olivia mencari jawaban dari kedua mata Simon yang hanya membuatnya semakin bingung. “S-saya tidak perlu berganti pakaian. Saya hanya ingin pulang.”
"Apakah kamu tahu cara membersihkannya?" tanya Simon.
Olivia mengangkat wajahnya menatap Simon sedikit kebingungan. "S-saya hanya harus mencucinya sampai bersih."
"Sampai kapanpun, noda wine di kain tidak akan bisa hilang," Simon menjeda perkataanya untuk menelisik dalam ke kedua mata cokelat milik Olivia. Ia menarik napas cukup dalam sebelum menghela, "Mau bagaimana pun kamu mencoba, nodanya hanya tidak mau hilang."
Kedua mata Olivia yang terbuka lebar. Sungguh berharap dirinya bisa mendapatkan kesimpulan dari semua sikap aneh sang duke yang sampai saat ini masih tidak dapat ia mengerti.
Sensasi dan semua perasaan yang Simon rasakan. Keheningan ini, penantiannya yang mulai terasa seperti neraka, membuatnya kehilangan kesabaran.
"Kamu tetap akan pulang, saya sendiri yang akan mengantarmu, tapi tidak dengan gaun itu. Jadi, biarkan saya melakukannya untukmu jika kamu tidak mau."
...♧♧♧...
^^^^^^*** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.^^^^^^
Tapi aku juga mau Paul berhak mendapatkan kehidupan yang adil, dan biarkan Simon yang menanggung karma atas perbuatan nya, contohnya seperti 'rencananya untuk memisahkan Olip dan Paul justru menjadi pedang yang telah ia tempah susah payah namun dia gunakan untuk menggorok lehernya sendiri'
ga peduli guwaa!!!
Jeez, of course she just sarcastic, my dear
ahh pake tanda sesuatu donggt/Grimace/
tapi lu kelewatan batas sampe raba2 ke atas bawah