Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 32
"Mana kak Reno ya? Bukannya tadi dia setuju ngasi waktu untuk aku bicara dengannya," ucap Lula sambil celingak-celinguk mencari keberadaan Reno.
Saat tidak menemukan apa yang ia cari, Lula melanjutkan pencarian ke ruangan sebelah. Dari kamar ganti, dia malah mendengarkan orang yang sedang berdebat. Rasa penasaran Lula akhirnya timbul. Kaki ia langkahkan menuju ruangan tersebut dengan langkah pelan.
Tiba di depan pintu ruang ganti, suara orang yang ada di dalam sana semakin terdengar jelas. Lula pun semakin mendekatkan kupingnya ke pintu ruang ganti tersebut.
"Kamu dan aku bukan siapa-siapa, Reno! Jangan lupakan akan hal itu."
"Aku sudah berusaha keras, Sika. Kenapa kamu malah tidak pernah mendengarkan penjelasan yang aku jelaskan padamu? Semua hanya salah paham. Aku berusaha mencari kamu sekuat tenaga. Sebisa aku. Tapi kamu tidak pernah aku temukan."
"Kenapa kamu tega, Sika? Kamu buat aku hidup dalam bayang-bayangan mu selama beberapa tahun setelah kepergian mu."
Sika malah tertawa. "Omong kosong apa itu, tuan muda Sanjaya? Kamu hidup dalam kesepian? Sungguh? Bukannya kamu hampir menikah dengan seorang perempuan jika bukan karena sebuah kenyataan yang terungkap?"
Reno langsung membulatkan mata. "Kamu ... tahu soal aku yang gagal menikah, Sika? Bagaimana mungkin kamu tahu?"
"Tunggu! Apa jangan-jangan, kamu selama ini mengawasi aku, Sika? Kamu masih peduli padaku, bukan?" Nada bicara itu terdengar penuh semangat.
Sebaliknya, Sika malah memutar bola mata malas. Lima tahun yang lalu, mereka pernah punya hubungan. Sayangnya, Sika melihat Reno berjalan dengan perempuan lain. Patah hati, Sika malah langsung meninggalkan Reno setelah mengatakan kata putus di depan wajah Reno sendiri.
Sebaliknya, Sika tidak sedikitpun memberikan Reno waktu untuk menjelaskan apa yang terjadi. Karena bagi Sika, apa yang telah ia lihat di depan mata itu adalah kenyataan yang sesungguhnya. Tidak perlu di jelaskan. Karena matanya sendiri tidak akan membohongi dirinya.
Setelah kejadian itu, Reno berusaha mencari Sika. Sayang, semua informasi tentang Sika hilang begitu saja. Tidak ada sedikitpun info yang bisa Reno dapatkan. Usahanya gagal total. Bertahun-tahun berlalu, bayangan Sika masih ada dalam ingatan Reno.
Saat bertemu Mirna juga Reno masih terbayang Sika. Bahkan, Mirna ia jadikan sebagai pengganti untuk mengisi kekosongan hatinya. Karena Mirna memang sedikit mirip Sika ketika bicara. Hanya itu saja, tapi sudah mampu membuat Mirna Reno pertahankan bahkan siap untuk ia nikahi jika bukan karena kebohongan Mirna yang terungkap.
"Sika."
"Jangan pernah ungkit masa lalu, Reno. Semua sudah berlalu dan aku pun sudah melupakannya."
"Tapi aku tidak bisa melupakan kamu, Sika."
"Bohong! Jika kamu tidak bisa melupakan aku, bagaimana mungkin kamu berencana untuk menikah dengan perempuan itu?"
"Dan, ingatlah kalau aku sedikitpun tidak pernah mengawasi kamu. Data mu aku temukan karena ketidaksengajaan belaka. Hatiku juga tidak pernah menyimpan nama kamu lagi di dalamnya."
"Sika. Jangan bicara begitu. Aku berencana menikah dengan Mirna karena aku merasa kalau dia mirip kamu. Aku hanya menjadikan dia sebagai pengganti saja."
"Lalu? Bagaimana dengan mbak Zura? Kamu juga sedang berusaha mengejarnya, bukan?"
Reno terdiam. Saat ini ia baru ingat akan keberadaan Zura. Namun, hatinya cukup terkejut dengan penuturan Sika yang ternyata tahu banyak tentang dia. Bahkan, Sika juga tahu kalau dirinya sedang berusaha mengejar Zura.
"Itu ... soalnya Zura dan Mirna adalah dua hal yang berbeda, Sika. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Zura adalah desainer ternama kelas dunia. Aku merasa rendah diri duluan untuk mengejarnya."
Sika langsung memutar bola matanya dengan malas. "Alasan yang tidak masuk akal."
"Percaya aku, Sika. Itu bukan alasan. Itu adalah kenyataan. Kamu adalah wanita yang paling aku inginkan. Aku tidak akan mengejar Zura lagi sekarang. Karena saat ini, aku sudah menemukan Sika ku. Sika yang selalu aku impikan kehadirannya."
Ucapan demi ucapan yang Lula dengar membuat hatinya tiba-tiba terasa perih. Perlahan, pelupuk matanya terasa hangat. Buliran bening pun jatuh seketika. Hati Lula saat ini terasa sakit bukan kepalang. Cintanya kandas sebelum berkembang.
Isak tangis ia tahan kan. Tangan pun tak lupa ia genggam dengan erat. Langkah besar Lula gerakkan untuk membawa tubuhnya menjauh meninggalkan ruangan tersebut. Sungguh, dunia yang baru saja indah ia rasa kini telah runtuh tak tersisa.
Lula membawa diri menepi ke sudut taman dari gedung besar yang berdiri megah tempat acara diadakan. Sungguh, rasanya ia ingin berteriak. Jika saja teriakan itu tidak akan menarik perhatian orang lain. Sayangnya, sedikit saja ia mengeluarkan suara, maka dirinya akan langsung dijadikan pusat perhatian.
Lula menduduki pantatnya ke atas kursi kayu di bawah pohon kecil dari sudut taman tersebut. Isak tangis ia tahan dengan menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Hatinya pun langsung berkata membenarkan apa yang Zura katakan sebelumnya.
'Kamu benar, mbak. Sangat-sangat benar. Jatuh cinta itu menyakitkan. Cinta itu tidak akan membahagiakan. Aku sudah merasakannya sekarang. Rasanya sangat sakit sampai aku berniat tidak ingin memulai lagi,' kata Lula dalam hati sambil terus mengisak pelan.
Namun, isak tangis pelan dari Lula ternyata mampu menarik Adya mendekat. Kebetulan, setelah Angga tinggalkan, Adya malah memilih berkeliaran di sekitaran taman tersebut sambil menunggu orang untuk datang menjemput.
Melihat Lula yang menangis, Adya sangat tertarik untuk mendekat. Bahkan, tangannya malah reflek gitu aja untuk mengulurkan sapu tangan yang ia miliki pada perempuan tersebut Terlepas dari rasa kesal yang ada dalam hatinya atas sikap galak Lula waktu itu, sekarang ia malah merasa sangat iba akan keadaan gadis galak itu sekarang.
Uluran sapu tangan membuat Lula berhenti terisak. Dia angkat wajahnya sambil meraih sapu tangan yang Adya berikan padanya.
"Kamu?"
"Iya, aku. Boleh aku duduk?"
Lula hanya menjawab dengan anggukan pelan pertanyaan yang Adya berikan. Sementara Adya, setelah melihat anggukan dari Lula, dia langsung menduduki pantatnya di samping Lula tanpa membuang waktu lagi.
"Kalau boleh aku tahu, kenapa menangis?"
"Jika aku menangis, itu tandanya, hatiku terluka. Kenapa harus kamu tanyakan lagi? Harusnya kamu tahu kenapa orang bisa menangis, bukan?"
Rasanya agak kesal juga dalam hati Adya setelah menerima jawaban yang panjang lebar dari si galak yang sungguh tidak peka ini. Bukannya bersahabat, atau merasa terhibur, eh ... malah bikin kesal atas usaha susah payah dari Adya yang ingin menghibur dirinya.
Namun, Adya cukup terkenal dengan kesabarannya. Dia yang sudah biasa menghadapi sikap random dari Angga sebelumnya, cukup memahami sikap galak dari Lula saat ini. Ia pun malah tersenyum lebar yang pada akhirnya membuat Lula jadi sedikit kesal, tapi juga langsung berubah tenang.
"Apa-apaan sih? Kok malah tertawa? Apanya yang lucu?"
"Tidak ada yang lucu, nona. Hanya saja, sedikit membuat aku geli hati. Oh iya, siapa namanya kamu? Kalau aku, Adya."
"Lula."
"Lula. Nama yang cukup indah."
"Hm, cukup indah? Hanya cukup?"
"Iya ... baiklah. Nama yang sangat indah, oke?"
"Terserah saja."