NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lebih Dekat

Jam dijital di dasbor menunjukkan pukul 04:33. Mobil yang dikendarai Yones baru saja memasuki pelataran parkir galangan kapal pribadi milik ayahnya. Di sampingnya Yunus duduk dengan senyum yang lebar. Yunus tampak bersemangat dan berseri-seri. Sejak semalam ia sudah menantikan hari ini.

"Ih, Ayah kenapa, sih? Beda banget, nggak kayak biasanya," Yones berkomentar. Ia jarang sekali melihat ayahnya begitu antusias seperti pagi ini.

"Ah, bisa aja kamu. Nggak ada yang beda, kok. Apa, coba?" tanya Yunus, masih berusaha menekan rasa berkobar-kobar dalam dadanya. Hari ini ada tur studi lanjutan dari anak-anak sekolah yang tempo hari datang. Kelompok yang sama. Anak-anak yang sama. Artinya hari ini dia punya kesempatan bertemu dengan anak itu lagi. Rani. Remaja putri itu entah mengapa memiliki tempat tersendiri dalam hati dan pikirannya.

Mungkin karena jarang ada anak perempuan yang tertarik dengan kapal. Tidak hanya soal desain luarnya yang beragam dan megah, khususnya untuk kapal-kapal pesiar, tetapi juga detail badan kapal serta mesin-mesinnya, teknis pembuatannya, jenis bahannya, dan aneka detail lainnya.

Hanya Rani yang seperti itu. Begitulah di mata Yunus, Rani menjadi anak perempuan yang istimewa. Fobia Rani terhadap api menjadi catatan plus bagi Yunus, bukannya menjadi kekurangan atau dianggap sebagai kerugian.

"Tuh 'kan? Tuh, iya, 'kan?" Yones menegur ayahnya sambil tersenyum lebar.

"Apa, sih, Nak? Apa?" Yunus bertanya tapi tetap saja gagal menyembunyikan senyumannya. Senyum yang tak dapat ditahan. Seakan ada tombol otomatis dalam otaknya untuk menarik kedua sudut bibirnya ke atas setiap kali memikirkan kemungkinan bertemu kembali dengan Rani.

'Astaga, memangnya anak itu seberapa istimewa, sih, Nus?'

Sudahlah! Yunus saja belum mampu menjawab pertanyaan itu terhadap dirinya sendiri. Bagaimana dia dapat memberi jawaban yang jelas dan memuaskan kepada anak laki-laki kesayangannya?

Keduanya masih duduk di dalam mobil. Mesin mobil telah dimatikan. Yones sengaja hanya membuka jendela sesedikit mungkin. Angin pagi yang bertiup di sekitar kawasan galangan itu kadang terasa begitu dingin. Kadang juga kencang.

Lagipula hari masih pagi. Belum ada matahari. Ia tidak ingin ayahnya kedinginan hingga terkena flu atau masuk angin gegara terlalu lama kena angin pagi. Meski yakin ayahnya masih bugar, tak dapat dipungkiri usia Yunus kini sudah kepala 5. Sudah bukan usia yang prima untuk menantang angin yang dinginnya kadang menusuk tulang.

"Eh, udah, dong, Yah! Masa dari tadi ayah senyum-senyum sendiri? Apa, sih, yang akan terjadi hari ini? Ada agenda apa? Ayah mau ketemu siapa? Atau, ahhh! Jangan-jangan Ayah mau ketemu calon ibu buatku? Iya?" Yones menebak-nebak. Yunus malah tertawa terbahak-bahak.

"Ngaco, kamu, Nak! Salah!"

"Lha, terus, yang benar apa, dong, Yah? Serius, ah, ada alasan, nih, hari ini?" Yones semakin ingin tahu.

"Hari ini ayah bisa ketemu lagi sama anak perempuan yang fobia api itu. Ingat, nggak? Ayah pernah cerita, lho," ingat Yunus. Putranya tertawa.

"Yaelah, Ayah! Cuma mau ketemu sama anak sekolah aja se-hepi ini? Siapa namanya? Rani, ya?"

"Betulll! Ayah nggak sabar kepingin ngobrol panjang lebar lagi sama dia. Hari ini dia janji mau bawain ayah buku sketsanya. Dia bilang dia sering bikin sketsa kapal. Sering dilombakan juga dan kadang menang. Nah, ayah jadi penasaran."

"Ooh, gitu? Terus jadinya dia lolos kualifikasi sebagai adikku, nggak, Yah?"

Yunus tertawa menyeringai sok galak. "Lihat nantilah. Kamu kerja, sih. Kalau enggak 'kan kita bertiga bisa ngobrol bareng," sesal Yunus.

"Yang ada nanti dia sama teman-temannya nggak jadi tur studi, Yah. Ngobrol ngalor-ngidul aja sama kita. Hayo, emang boleh kayak gitu? Ntar ngasih nilainya gimana coba, sama anak-anak itu? Tur studi dinilai juga, 'kan?" Yones balik menggoda.

Suasana hati ayahnya sedang sangat baik pagi ini. Itu bagus, pikir Yones. Setelah perbincangan tidak menyenangkan lewat telepon dengan perempuan bernama Ida tempo hari, akhirnya semangat ayahnya kembali. Jadi berlipat-lipat, malah. Ini semua karena peserta tur studi yang unik bernama Rani.

"Ayo, kita sarapan dulu, Yah," ajak Yones. Ia mengambil sebuah tas bekal berukuran sedang. Lalu dua kotak bekal diperlihatkan Yones kepada sang ayah. Sengaja ia menyiapkan bekal sarapan untuknya dan Yunus ketika sang ayah mandi. Satu termos berisi teh melati lengkap dengan dua cangkir kecil juga hadir menemani dua kotak bekal itu. "Mau makan di mobil atau di ruangan Ayah?"

"Tapi masih jam segini, Nak," protes Yunus.

"Kalau nggak sekarang, nanti Ayah malah nggak sarapan. Ayo, jadinya mau di mana? Pokoknya sarapan sekarang. Nggak nanti-nanti."

Yunus tersenyum. "Oke, deh, Tuan Muda!"

...*...

"Kamu kelihatannya senang banget, Dik, bisa ke galangan kapal lagi?" Gunung tak henti mengamati anak bungsunya. Dari balik kemudi ia bisa menangkap antusiasme putri kecilnya yang beranjak remaja. Kapal. Lagi-lagi soal kapal. Kalau sudah menyangkut yang satu itu, mood si bungsu bisa dipastikan bagus.

"Galangan itu keren, Pak. Pokoknya kalau ada kesempatan, aku mau magang di sana. Syukur bisa kerja beberapa tahun di sana. Jadi, aku dapat ilmu dan keterampilan, baru deh, pindah." Rani menerangkan sekalian mengungkapkan niatnya kepada bapaknya.

"Emang kayak apa, sih, galangan yang kamu bilang keren itu?" pancing Gunung.

"Oh nanti aku kasih lihat foto-fotonya ya, Pak. Lupa, yang tur studi pertama padahal udah kufoto banyak, lho. Belum kubagi ke nomor Bapak aja. Habisnya sepulang tur studi aku 'kan dapat banyak tugas."

Tersungging senyuman lebar pada wajah Gunung. "Tapi kamu baik-baik aja, 'kan? Ada risiko lihat percikan atau bakaran api, nggak, Dik?" Tentu saja Gunung cemas soal itu. Tidak hanya dirinya, orang satu rumah pun mencemaskan fobia Rani yang satu itu. Masalahnya jadi panjang ketika fobia akut Rani terpicu dan kambuh.

"Bapak tenang aja soal itu. Dijamin, aman, Pak. Lagian aku kemarin udah sempat ngobrol sama Kepala Galangan-nya. Beliau juga udah tahu aku fobia api. Aku juga cerita, sih, Pak, ke Beliau."

"Oh ya? Yakin, kamu ngobrol dan cerita tentang fobiamu sama Kepala Galangan?" Gunung hampir tidak mempercayai yang didengarnya. Anak bungsunya barusan bilang dirinya ngobrol dengan pejabat tinggi Galangan? Masa?

"Iya, Pak. Aku udah cerita belum, sih, ternyata Kepala Galangan juga jadi relawan di panti asuhan Om Dion," tanya Rani memastikan. Bapaknya kaget, heran.

"Gimana? Relawan di panti Om Dion? Tahu dari mana?"

"Ya tahulah. Orang pas di panti asuhan itu kami ketemu. Pertama kali ketemu ya di panti, Pak. Nah, pertemuan ke dua baru deh, di Galangan. Ternyata Bapak itu adalah pemilik sekaligus pengelola galangan," kata Rani menerangkan.

"Wah, tambah lancar nih, kayaknya, acara lobi-melobi urusan magang di Galangan," goda Gunung.

"Makanya, Bapak dukung Rani, dong. Doakan Rani biar komunikasi sama Pak Kepala Galangan lancar jaya. Biar boleh magang, Pak. 'Kan lumayan kalau bisa dilobi. Syukur lagi kalau habis lulus nanti aku direkrut kerja di situ."

Gunung tertawa. "Ya, ya, oke. Amin. Bapak dukung. Nanti tinggal bikin naskah preambule sama Ibu, biar kamu diizinkan magang dan kerja di Galangan Kapal."

"Aseeek! Bener, lho, Pak! Doain dan dukung penuh niat Rani."

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!